KULIT BIA merupakan alat transaksi dalam kehidupan orang Moni atau Suku Moni yang terus ada dan dipergunakan dalam politik tradisional. Suku Moni sendiri merupakan suku terbesar di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua. Sejak dahulu hingga saat ini kulit bia masih dapat digunakan oleh suku Moni sebagai alat pembayaran maskawin, untuk keperluan hidupnya. Kulit bia tidak hanya digunakan oleh suku Moni sebagai alat pembayaran alat kuno selain uang yang digunakan sebagai alat pembayaran alat modern. Tidak diketahui secara pasti tentang asal-usul kulit bia yang sudah sedang dan akan digunakan oleh suku Moni tersebut. Karena kulit bia hanya terdapat di daerah pesisir pantai. Anehnya dipengunungan terdapat kulit bia yang tak terhitung jumlahnya.
Kulit bia yang dimaksud itu pun ada keterbatasannya. Dan juga dalam budaya orang migani kulit bia itu sendiri ada tingkatan dan juga ada nama tersendiri. Yakni nama-nama kulit bia itu yang lebih besar nilainya beda juga dengan kulit bia yang tak ada nilai sama-sekali. Nama kulit bia dengan harga satu Miliyar yaitu disebut dengan Mbujumaga & Nangga baga.
Sistem pembayaran dalam suku Moni selalu dipatokan dengan cara pembayaran ibu dari anak perempuan yang hendak mau diminta atau dituntut oleh pihak perempuan, berapa besar tingkatan tetap ditentukan oleh pihak perempuan. Sehingga pihak laki-laki mau dan tidak mau harus memberikan / membayar apa yang menjadi tuntutan dari pihak perempuan.
Sistem di atas sudah dianggap sudah menjadi ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan budaya suku migani atau suku moni. Cara membayarnya itu ikut sesuai dengan "tubuh manusia" bukan beli manusianya tetapi cara membayarnya hampir mirip dengan tubuh manusia.
Tingkatan nilai kulit bia yang digunakan untuk menbayar itu pun tergantung pada ketentuan dari pihak perempuan. Sampai saat ini dalam kehidupan suku Moni tingkat nilai kulit bia mencapai dua belas (12) tingkat. Dua belas tingkat sama sama dengan nilai uang seratus juta dan seterusnya sampai tingkat yang paling rendah dengan senilai Rp.100.000 dan lainnya dapat disesuaikan dengan ketentuan dan kesepakatan.
Orang Moni/Migani yang memiliki kulit bia banyak gampang sekali menindas kaum lemah dengan cara monopoli kekayan orang lemah dengan janji-janji palsu. Jika janjinya tidak terpenuhi berarti akan terjadi perang dengan orang yang pernah membuat perjanjian palsu untuk menganti rugi. Jika hal tersebut tidak terpenuhi berarti akan muncul perang. Perang adalah salah satu cara yang paling terbaik untuk mencari solusi untuk menyelesaikannya. Namun, setelah Injil dan Pemerintah masuk sudah tidak terjadi demikian.
Orang Moni/Migani mengangap kulit bia sebagai kebun (Indo). Kulit bia sebagai kebun dan dianggap sebagai alat transaksi dalam perdangan termasuk pembayaran maskawin. Orang yang memiliki kulit bia sebagai salah satu benda budaya yang dapat mengerakkan orang Moni/Migani untuk berjuang dan bersaing mengumpulkan uang sebagai harta kekayan. Kulit bia digunakan dalam berbagai kesempatan untuk transaksi dan bisa pula usaha barter.
Dibahwa ini beberapa contoh kulit bia (alat barter) yang berputar di Kabupaten Intan Jaya yang kini masih dilakukan di kalangan kepala suku (sonowi). Nilai harga kulit bia dan nama kulit bia yang di sepakati dalam MUSPAS (Musyawarah pastorlar) yang di tulis oleh Pastor Domokikus Hodo. Pr. Keuskupan Timika.
Nama Kulit Bia Dan Nilai Harga Kulit Bia
Persoalan yang di hadapi ketika bisnis kulit bia diperlakukan. Orang Moni memandang manusia dari kelas kehidupan. Para kepala suku dalam melakukan lobing/muna-muna sering meyepelekan hak orang lain. Hal ini merupakan tindakan tidak menghargai manusia sebagai sesama saudaranya tetapi dihambakan dan dibudakkan oleh para zonowi. Umpamanya: hamba dikerjakan di lading/kebunnya dengan alasan, akan mengkawinkan dengan prempuan ini dan itu atau akan membayar harta maskawin ibu/ibunya sampai selesai dengan kulit bia maka sebagai tembusannya balas budinya nanti pihak laki-laki akan dibayarkan maskawin tersebut, menuruti semua apa yang diperintahkan semua kepadanya. Ini sebuah janji dan janji ini kadang ditepati dan kadang tidak ditepati tergantung orang yang hatinya sungguh-sungguh mau membayar harta maskawinnya.
Faham tuan dan hamba seperti yang disebutkan diatas tentang kulit bia menyihir manusia Migani. Sehingga muncurlah konsep sonowi, mbogowi, kogo dan deba. Kita dapat melihat secara terperinci terhadap masing-masing makna sebagai berikut :
Dengan demikian pemahaman konsep seperti di atas terjadi kepemimpinan dan penguasan dalam pola kehidupan yang sudah tertata rapih. Pembedaan itu terjadi dan terus terjadi karena adanya sebab maka ada akibat atau ada akibat maka ada sebab terjadinya pembedaan zonowi, mbogowi, kogo dan deba. Perbedaan itu terlihat dari hal kekayaan yang dihimpun dan termasuk binis kulit bia berhasil dan memiliki beberapa tingkatan yang berbeda-beda dalam jumlah yang banyak.
Sumber :
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja