Kua Siga Wunga adalah seorang pemuda tampan dan sakti mandraguna penjelmaan seekor burung rajawali merah. Suatu malam, ia masuk ke dalam mimpi seorang putri cantik bernama Bue Gae. Ajaibnya, hanya putri cantik yang memimpikannya itu menjadi hamil. Peristiwa itu kemudian menyebabkan sang putri harus diusir dari kampungnya karena dianggap telah melakukan perbuatan laa sala (melanggar hukum). Bagaimana nasib Bue Gae dan bayi dalam kandungannya selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Kua Siga Wunga berikut ini!
Alkisah, di Kampung Ngada Kepulauan Flores, ada seorang gadis cantik keturunan bangsawan bernama Bue Gae. Ia seorang putri yang cantik nan rupawan, sederhana, dan baik hati. Suatu malam, sang putri terjaga dari tidurnya dan sulit untuk memejamkan matanya kembali. Ia baru saja bermimpi bertemu dengan seorang pemuda perkasa dan tampan saat ia hendak mengambil air di pancuran bambu di dekat rumahnya. Pemuda yang murah senyum itu kemudian mengambilkannya air di pancuran bambu tersebut. Kemurahan hati pemuda itu benarbenar memikat hati sang putri.
“Siapa pemuda itu? Kenapa aku sulit melupakannya?” gumam Putri Bue Gae. Hati sang putri sangat gelisah karena senyum menawan pemuda itu selalu terbayangbayang di pelupuk matanya.
“Ah, ini hanya mimpi. Aku harus melupakan pemuda itu,” sang putri kembali bergumam. Dua bulan kemudian, Putri Bue Gae mengetahui dirinya sedang hamil. Ia sendiri heran karena dirinya selama ini tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun. Sang putri bermaksud merahasiakan hal itu kepada kedua orang tuanya, namun rahasia tersebut tak dapat ia simpan lama karena perutnya semakin hari semakin membesar sehingga menimbulkan kecurigaan bagi kedua orang tuanya.
“Hai, Putriku? Kenapa perutmu besar begitu?” tanya sang ayah curiga, “Wah, janganjangan kamu
hamil.” Putri Bue Gae dengan malumalu mengaku bahwa dirinya memang sedang hamil. Mendengar jawaban itu, sang ayah pun menduga bahwa putrinya telah melanggar hukum adat.
“Putriku, siapakah ayah dari anak yang kamu kandung itu? Katakanlah!” desak sang ayah. Putri Bue Gae hanya terdiam sambil menunduk. Setelah beberapa saat merenung, ia kemudian menjawab bahwa dirinya tidak pernah sama sekali berhubungan dengan seorang lakilaki.
“Tapi bagaimana mungkin kamu bisa hamil jika tidak pernah berhubungan dengan seorang lakilaki?” sanggah sang ayah
“Maafkan Putri, Ayah! Putri juga heran dengan kejadian ini. Putri hanya pernah bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah perkasa dua bulan yang lalu. Tapi, Putri tidak tahu siapa dia dan berasal dari mana,” ungkap sang putri sambil meneteskan air mata. Melihat putri semata wayangnya menangis, sang ibu pun ikut meneteskan air mata dan segera memeluknya. Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga itu.
“Putriku, Ayah dan Ibumu mungkin bisa mengerti dan percaya pada perkataanmu itu. Tapi bagaimana dengan penduduk di sini? Apakah mereka juga akan mengerti dan mempercayaimu?” kata sang ayah.
“Lalu, bagaimana caranya kita meyakinkan mereka?” sahut sang ibu.
“Satusatunya yang dapat kita lakukan adalah putri kita harus menyatakan kebenaran yang ia yakini di hadapan seluruh warga. Namun, saya tidak yakin kalau cara ini dapat berhasil. Oleh karena itu, putri kita harus bersiapsiap untuk meninggalkan kampung ini,” ujar sang ayah. Keesokan hari, sidang adat pun dilaksanakan di Balai Desa untuk mengadili Putri Bue Gae. Dalam persidangan itu, sang putri menyampaikan pembelaannya dengan bersumpah secara adat.
Aku yang sejati
Seperti hitamnya jelaga parapara
Aku yang sejati
Ibarat keringnya serpihan bulubulu pegunungan
Aku yang berada di sini
Pada kandang kebenaran
Aku yang berada di sini
Pada rumah kebaikan
Aku bersumpah
Dari kedalaman hati yang bening
Tak siapa yang mendekatiku
Tak siapa yang memegangku
Aku yang sejati seperti hitamnya jelaga parapara
Aku yang sejati ibarat keringnya serpihan bulu pegunungan
Berawal dari petuah Leluhurku
Bermula dari teladan Leluhurku
Lantaran kehendak Dewata di langit tinggi
Yang melindungi
Segala makhluk berperasaan
Di atas alam raya
Meskipun Putri Bue Gae telah menyampaikan sumpahnya, namun sidang adat tetap memutuskan bahwa kebenaran masalah tersebut akan diserahkan pada hukum alam. Berdasarkan keputusan tersebut, maka sang putri pun harus diusir dari kampung itu.
Pada esok harinya, Putri Bue Gae diarak sampai ke ujung kampung menuju arah matahari terbenam. Selanjutnya, putri cantik yang malang itu berjalan menyusuri hutan belantara bersama anjing kesayangannya yang bernama Dala Kuwe. Setelah sampai di tempat pengasingan di tengah hutan, sang putri tinggal bersama anjingnya di dalam sebuah gua yang cukup luas dan nyaman untuk didiami. Beberapa bulan kemudian, Putri Bue Gae pun melahirkan seorang bayi lakilaki. Bersamaan dengan lahirnya bayi tersebut muncul seberkas cahaya yang disertai dengan bunyi suara seperti berikut.
Berbapakan Angkasa putra Matahari
Alan seperti api matahari
Yang bercahaya menggapai Dewata
Yang menerangi sesama manusia
Yang membuat siang segala yang bernama
Mendengar suara tersebut, Putri Bue Gae pun semakin yakin bahwa anak yang dilahirkan bukanlah anak haram dan anak manusia biasa, tetapi berbapak angkasa dan putra matahari. Anak itu seperti api matahari yang memancarkan cahaya dan kelak akan menerangi semua manusia. Sang putri pun merawat bayinya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi anak yang pemberani. Saat berusia tujuh tahun, anak itu sudah mahir berburu dan mengiris tuak. Suatu hari, ketika hendak mengiris tuak, anak itu mendapati bambu penyimpanan tuaknya tidak berisi air tuak setetes pun.
“Hai, siapa yang mencuri air tuakku?” gumamnya, “Aku harus menangkap pencuri itu.” Keesokan hari, anak itu bersama anjingnya pagipagi sekali bersembunyi di bawah pohon tuak itu. Pada saat tengah hari, datanglah seekor burung rajawali merah hinggap di atas pohon itu. Tanpa diduga, burung rajawali itu tibatiba diselimuti awan putih, lalu berubah wujud menjadi seorang bayi, kemudian seorang remaja, lalu seorang pemuda dewasa, lantas seorang lakilaki setengah baya yang berwibawa, dan terakhir sebagai seorang kakek yang berjanggut putih. Ketika kakek itu mencelupkan janggutnya ke dalam bambu tuak yang berlubang, kilat bocah lelaki yang pemberani itu dengan secepat kilat menangkap janggut si kakek sehingga terjadilah tarikmenarik di antara mereka. Walaupun sudah tua, kakek itu ternyata masih memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga tarik menarik tersebut berakhir dengan tercabutnya pohon tuak. Keduanya pun melayanglayang di angkasa. Setelah mereka mengitari matahari hingga tiga kali, sang kakek pun menyerah.
“Hai, bocah perkasa! Kakek mengakui keperkasaanmu. Akulah yang mencuri tuakmu,” aku kakek itu,
“Hukumlah aku!”
“Tidak, Kek! Karena Kakek telah jujur, maka saya tidak akan menghukum Kakek. Saya lebih suka
perdamaian,” kata anak itu.
“Wah, kamu memang anak yang berhati mulia dan bijaksana. Kakek bangga padamu,” puji kakek itu,
“Berbahagialah Ibu yang telah melahirkan dan membesarkanmu.”
“O, ya, Kek! Kalau boleh saya tahu, Kakek siapa dan berasal dari mana?” tanya anak itu. Kakek tersenyum lebar seraya berkata kepada bocah itu.
“Kalau kamu ingin tahu tentang diri Kakek, tunggulah dua hari lagi. Kakek akan datang menemui ibumu dan pada saat itu juga Kakek akan memberimu hadiah sejenis binatang yang akan muncul dari dalam lubang pohon tuak itu. Binatang itu harus kamu beri nama kaba (kerbau) karena ia muncul pada saat kita kabau (makan makanan persembahan),” ujar kakek itu. Usai berkata demikian, kakek itu tibatiba kembali berubah menjadi burung rajawali merah lalu terbang ke arah matahari terbenam. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia sempat berpesan kepada anak itu.
“Wahai, cucuku. Segeralah kamu tinggalkan tempat ini! Sebentar lagi matahari akan terbenam,” ujarnya. Dua hari kemudian, anak itu bersama ibu dan anjing kesayangan mereka menunggu kedatangan sang kakek di loka tua (tempat tuak). Ketika hari beranjak siang, burung rajawali itu pun datang dari arah matahari dan segera hinggap di loka tua. Beberapa saat kemudian, awan putih menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga terjadilah proses penjelmaan. Ketika Putri Bue Gae menyaksikan proses penjelmaan burung rajawali merah itu menjadi seorang pemuda, jantung sang putri langsung berdetak kencang dan darahnya mengalir sangat cepat.
“Pe… pe… Pemuda itu. Pemuda itu yang pernah hadir dalam mimpiku,” ucap Putri Bue Gae dengan
gugup. Usai berkata demikian, sang putri tibatiba jatuh pingsan. Melihat hal tersebut, lakilaki penjelmaan rajawali merah yang sebatas sebagai pemuda gagah perkasa itu segera menghampiri dan menyentuh kening sang putri. Sungguh ajaib! Putri Bue Gae langsung siuman dan memeluk pemuda perkasa itu. Ia telah menyadari bahwa pemuda itu adalah ayah dari anaknya. Keduanya kemudian menjelaskan hubungan mereka kepada anak mereka. Pertanyaan bocah itu tentang siapa ayahnya pun sudah terjawab. Ternyata, ayahnya berasal dari langit perkasa yang bernama Kua Siga Wunga. Untuk merayakan kebahagiaan tersebut, mereka membuat perjamuan sebagai tanda syukur dan perdamaian dengan memotong seekor kerbau. Setelah genap masa pembuangannya, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya kembali ke perkampungan. Namun, sebelum diterima sebagai warga kampung yang sah, mereka harus melalui sebuah ujian yakni menapaki laja sue (anakanak tangga yang terbuat dari pedang yang sangat tajam). Jika mereka berhasil menapaki laja sue itu tanpa terluka sedikit pun, keluarga dan keturunan mereka berhak memperoleh status Gae Meze (bangsawan). Sebaliknya, jika terluka, mereka akan mendapat status Azi Ana (hamba sahaya). Alhasil, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya berhasil menapaki laja sue tersebut satu per satu tanpa terluka sedikit pun sehingga mereka diterima kembali menjadi warga kampung yang sah dan seluruh keluarganya mendapat status Gae Meze.
Demikian cerita Kua Siga Wunga dari daerah Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat jujur sebagaimana yang ditunjukkan oleh si kakek penjelmaan burung rajawali merah. Karena kejujurannya mengakui kekhilafannya mencuri tuak anak itu, ia terbebas dari hukuman.
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/223-Kua-Siga-Wunga
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja