Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Maluku Pulau Seram
Kisah Petualangan Empat Kapiten dari Maluku
- 17 Mei 2018

Empat Kapiten Maluku adalah empat bersaudara yang merupakan pemimpin Negeri Nusa Ina di Pulau Seram, Maluku. Keempat kapiten tersebut memiliki kegemaran berpetualang ke daerah-daerah pelosok untuk membuka daerah baru. Suatu hari, mereka berpetualang menyusuri Sungai Tala yang kaya akan sumber alamnya. Namun, petualangan mereka kali ini amat berat dan membutuhkan perjuangan keras karena Sungai Tala terkenal ganas. Airnya sangat deras dan terdapat banyak batu besar di sepanjang alirannya. Bagaimana perjuangan mereka? Simak kisahnya dalam cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku berikut ini!

* * *

Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri itu dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury, Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka tersebar di berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa saling membantu dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama-sama.

Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti bekal makanan dan minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa (rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah yang akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.

Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas sebagai pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa burung nuri kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam tempat sirih pinang.

Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan-lahan, Kapitan Wattimury mengarahkan gusepa ke tengah sungai dengan menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah sungai, gusepa itu pun meluncur dengan cepat terbawa arus sungai yang sangat deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama Batu Pamali, gusepa yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik. Mereka pun panik. Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak dan menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.

Talakuang!” serunya. Kata tersebut artinya “tikam dan tahan gusepa!” Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah itu kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata rumah atau marga Talakua di Negeri Portho. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih pinangnya. Namun, tempat sirih pinang itu tiba-tiba terjatuh dan burung nurinya pun terbang entah ke mana. Kejadian itu benar-benar membuat hati Kapitan Wattimena kecewa dan mengucapkan sumpah.

“Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang!” ucap Kapitan Wattimena.

Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan perjalanan menuju daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian membuat batu perjanjian yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat nanti mereka berpisah atau tercerai-berai, hubungan persaudaraan harus tetap berbina. Mereka harus tolong-menolong dalam segala hal dan selalu saling mengunjungi satu sama lain.

Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai kelelahan sehingga mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa hari. Suatu ketika, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di darat, sedangkan Kapitan Nanholy dan Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa. Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan berteriak meminta tolong.

“Tolong… Tolong…!” seru Kapitan Nanlohy meneriaki kedua saudaranya yang sedang tidur di darat. Mendengar teriakan itu, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat kedua saudara mereka hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong, namun kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah laut. Kapitan Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke sebuah tempat. Tempat itu kemudian diberi nama Nanuhulu yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di daerah tersebut. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut hingga melewati Tanjung Uneputty dan terdampar di Teluk Pulau Saparua. Di situ, ia membangun negeri yang diberi nama Portho.

Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung Sanuhu. Keduanya pun hidup saling tolong-menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar kabar bahwa kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari kampung sebelah.

“Apa yang harus kita lakukan, Wattimena?” tanya Kapitan Wattimury bingung.

“Kita harus segera meninggalkan kampung ini dan mencari tempat persembunyian yang aman,” kata Kapitan Wattimena,

Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu. Akhirnya, kedua orang bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang aman dari kejaran musuh. Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit didapatkan. Kapitan Wattimury kembali dilanda kebingungan.

“Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk diminum saja susah,” keluh Kapitan Wattimury.

Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung mengambil sebuah tombak lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun menyembur keluar dengan sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai kenyang. Tempat itu kemudian mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan. Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka bersepakat untuk membuka daerah baru di tempat lain.

Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri daerah Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth. Namun, hingga malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada malam yang gelap gulita itu, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.

“Hai, kenapa berhenti, Wattimena?” tanya Kapiten Wattimury heran.

“Kita beristirahat sejenak di sini,” ujar Kapitan Wattimena, “Sudah jauh kita berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menetap.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kapitan Wattimury bingung.

“Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam, maka di situlah kita menetap,” ujar Kapitan Wattimena.

Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu sebagai tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.

Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud untuk pindah ke daerah lain.

“Saudaraku, perkenankanlah aku untuk mencari daerah lain untuk membangun negeri sendiri,” pinta Kapiten Wattimury.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa dengan ikrar yang pernah kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling mengunjungi,” ujar Kapitan Wattimena.

“Tentu, Wattimena,” jawab Kapitan Wattimena.

Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia pun menamai tempat itu dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi Ruta.

* * *

Demikian cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku, Provinsi Maluku. Cerita di atas merupakan cerita legenda yang menceritakan beberapa nama tempat yang ada di daerah Maluku seperti Mahariki, Amahai, Hule, Luhu, Portho, dan sebagainya. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hubungan tali persaudaraan haruslah senantiasa dijaga kapan dan di mana pun kita berada.

Sumber: https://histori.id/kisah-petualangan-empat-kapiten-dari-maluku/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Kertodadi
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Cepet Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Potro
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev