Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Dongeng Bali Bali
Kisah Leela dan Dewi Saraswati
- 28 Oktober 2017
Pada suatu waktu di bumi ini hidup seorang raja yang bernama Padma yang teramat bajik dalam segala perilakunya. Istri beliau bernama Leela, dan ratu ini bersifat sangat luhur, mereka saling sayang-menyayangi satu dengan yang lainnya. Pada suatu hari ratu melaksanakan sebuah yajna demi Dewi Saraswati agar suaminya dikaruniai dengan keabadian.
 
Sang ratu kemudian berpuasa berat dan memohon dua hal kepada sang dewi, yaitu pertama : Setelah meninggalnya sang raja maka jiwanya akan selalu tinggal di istana, dan yang kedua : sang ratu memohon dharsana dari sang dewi Saraswati. Dewi Saraswati mengabulkan kedua permohonan tersebut, dan konon sang raja pada suatu saat terbunuh di dalam suatu laga dan jasadnya disemayamkan di istana. Sang ratu meratap tanpa henti-hentinya, dan pada saat tersebut Dewi Saraswati menunjukkan dharsananya dan berkata : “janganlah bersedih, karena semua ini adalah sesuai dengan permintaanmu, jiwa suamimu akan senantiasa hadir di istana ini. Taburkanlah bunga-bunga di atas jasad suamimu, dan semua bunga ini akan tetap segar sampai saatnya dikau menemuinya lagi”. 
 
 
Sang ratu melaksanakan pesan tersebut dan kemudian bermeditasi di dekat jasad suaminya. Pada tengah malam sang dewi hadir lagi dan berkata : “Wahai ratu yang agung, apapun yang dikau saksikan ini adalah ilusi. Janganlah berfikir bahwasanya semua ini sebagai kenyataan namun bersikaplah dalam kedamaian”. Leela bertanya kepada sang dewi dimanakah suaminya berada, apa saja yang telah terjadi dengannya dan apakah boleh menemuinya. 
 
Dewi Saraswati menjelaskan : “Ada tiga jenis akash, yaitu masing-masing bhutakash (ruang, spasi elemen), chitakash (spasi mental, pikiran) dan chidakash (spasi pengetahuan). Bhutakash ditunjang oleh chitakash, chitakash ditunjang oleh chidakash. Setelah meninggalkan bhutakash maka suamimu pada saat ini tinggal di chitakash. Karena chitakash ditunjang oleh chidakash, maka sewaktu dikau mencapai chidakash dikau akan mampu menyaksikan seluruh kosmos, dengan kata lain dikau dapat merasakan seluruh ciptaan sebagai bayangan-bayangan di chidakash. Sewaktu dikau sampai di chidakash dikau akan menyaksikan suamimu dan seluruh dunia ini. Potensi pemahaman di dalam chitta bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat lain dalam waktu yang amat singkat. Mendasari daya kekuatan ini adalah spasi (tahap) yang dialami (anubhawa-akash). Di chidakash dikau akan menyaksikan suamimu. Chitakash bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya dan tidak pernah mencapai keseimbangan. Hal tersebut dikatakan sebagai sphurna atau sankalpa (pemahaman pikiran). Bhutakash adalah bumi ini di mana semua raga (yang dapat binasa) bersemayam. Sewaktu alam-semesta menghilang maka yang tersisa adalah chidakash dan tahap ini adalah tahap yang mulia dan agung yang dicapai melalui disiplin yang berkesinambungan. Wahai Leela, akan kuanugerahkan agar dikau mampu mencapai tahap ini, agar dikau lepas dari berbagai pemahaman pikiran dan mencapai ketenangan”.
 
Setelah menyatakan demikian Sang Dewipun menghilang. Mengikuti petunjuk sang dewi, maka sang ratupun mencapai tahap keseimbangan tersebut dan kemudian ibarat seekor burung, sang ratu terbang ke alam chidakash dan di tahap ini beliau dapat menyaksikan sang raja dan ibukotanya (di mana sang raja berkuasa dengan nama Raja Widuratha). Di sana sang ratu menyaksikan setiap hal sama persis seperti yang pernah eksis di kerajaannya dalam bentuk kasar di bumi. Beliau terpana, tak lama kemudian dia melihat para punggawa berlari-larian masuk ke balairung istana menginformasikan kepada sang raja akan serangan para musuh dari kerajaan-kerajaan lain. Para punggawa memohon sang raja agar mencari perlindungan dengan segera. Sang ratu takjub dengan apa yang disaksikannya, karena tepat seperti yang terjadi di bumi, di istananya. “Apakah yang binasa itu hanya sang raja atau juga seluruh kerajaannya?”, tanya beliau kepada dirinya sendiri. 
 
Beliau segera turun ke bumi dan mendekati jasad suaminya yang masih dalam keadaan terbaring di istananya. Kemudian sang ratu memanjatkan doa ke dewi Saraswati. Segera sang Dewi berkenan hadir, setelah memohon maaf sang ratu bertanya kepada dewi akan hal-hal yang telah disaksikannya di kedua alam tersebut...... yang manakah yang nyata, yang di bumi atau di alam sana. 
 
Dewi Saraswati bersabda bahwasanya jawaban tersebut akan diberikannya kemudian. Ratu Leela berkata : “Aku memahami bahwa dunia yang kami tinggali ini tidak memiliki penyebabnya, ataukah semua ini karena sankalpa, padahal alam suamiku memiliki penyebab. Karena alam tersebut adalah alam yang kosong, maka kekosongan tersebut adalah penyebab alam tersebut”. 
 
Sang Dewi menjawab : “Demikian sebab, demikian juga akibatnya. Seperti yang baru saja dikau katakan, alam sana adalah hasil dari kekosongan, jadi seyogyanyalah alam tersebut juga kosong statusnya. Yang nyata menghasilkan, yang tidak nyata tidak dapat ditransformasikan ke yang nyata dan begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu alam suamimu tersebut mirip dengan alam di bumi ini, atau alam tersebut hanyalah konsep pemahaman pikiran saja (sankalpa)”. 
 
Leela berkata : “Akibat itu bisa saja jauh dari sebab. Ibarat tanah lempung (liat) yang tidak dapat menampung air, namun setelah tanah liat itu dibentuk menjadi tempayan, maka iapun sanggup menampung air, demikianlah sebab dapat jauh dari akibat”.
 
Sang Dewi menjawab : “Akibat bisa berdampak lain dari sebab, hanya kalau ada faktor penunjangnya. Tetapi bagaimana hal tersebut mungkin terjadi kalau faktor penunjangnya tidak hadir?, Alam-semesta yang dirasakan oleh suamimu tidak memiliki sebab, karena jiwanya sama dengan unsur akash yang tidak memiliki materi penyebab...... yaitu unsur-unsur penyebab, yang menyebabkan, atau alasan khusus, jadi alam suamimu itu tidak memiliki penyebab. Seandainya alam semesta ini diciptakan oleh seseorang, kita mungkin dapat menerima penyebabnya, namun karena semesta ini tanpa bumi dan elemen-elemen lainnya, dan merupakan salah satu aspek kekosongan (Akash-rupa)......hanya konsep pemahaman pikiran semata...... maka tidak memiliki unsur penyebab. 
 
Sang Ratu kemudian bertanya apakah konsep pemahaman memori adalah penyebab alam-semesta tersebut. 
 
Sang Dewi menjawab : “Memori bukanlah suatu unsur; memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran (sankalpa), dan merupakan salah satu aspek akash atau jalan pikiran. Memori tidak memiliki daya yang bebas, memori hanyalah sebuah refleksi (sankalpa)”..
 
Leela berkata : “Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam-semesta ini yang merupakan tempat tinggalku dan tinggalmu, pastilah sankalpa juga”. Sang Dewi berkata : “Sekarang dikau memahami dengan benar. Aku, engkau, ini dan itu, seluruh alam-semesta ini adalah kekosongan (akash-rupa). Semua ini dirasakan berdasarkan ilusi, tetapi tidak diciptakan. Bagaimana mungkin memori akan alam-semesta yang tidak nyata menjadi nyata?”.
 
Sang Ratu bertanya : “Bagaimana sampai suamiku yang seharusnya berbentuk jiwa lembut (tubuh halus), dan tidak berbentuk mampu menyandang raga dan bagaimanakah ia merasakan alam-semesta ini?”. 
 
Dewi Saraswati menjawab : “Kedua dunia tersebut bersifat ilusi. Seandainya dunia ini nyata maka memoripun akan bersifat nyata. Di dunia ini, hal tersebut telah diciptakan di dalam sebuah atom yang bersifat pemahaman pikiran yang ilusif di dalam chidakash. Pada suatu masa hiduplah seorang brahmana yang bernama Vasishtha, beliau sangat religius namun beliau belum mencapai gyana. Istrinya bernama Arundhata. Suatu hari sang brahmana, dari sebuah puncak bukit, menyaksikan sepasang suami-istri keturunan ningrat bersafari ke hutan. Langsung saja Vasishtha menginginkan hal yang sama terjadi dengan dirinya. Keinginan untuk hidup sebagai pasangan ningrat dengan istrinya, makin hari makin meningkat di dalam dirinya. Tidak lama kemudian beliau meninggal dunia dan sang istri memujaku seperti yang pernah dikau lakukan, dalam hal yang samapun terjadi dengannya. Di kehidupan selanjutnya sang brahmana memvisualisasikan kehidupannya sebagai seorang pangeran. Arundhatapun menyusul suaminya ke alam baka dan jiwanya bersatu dengan jiwa suaminya. Leela, dengarkanlah lebih lanjut, baru delapan hari berlalu semenjak meninggalnya, maka ia telah hadir sebagai Raja Padma dan Arundhata menjadi dirimu. Langit, bumi, bukit-bukit, samudra dan tiga alam yang dikau visualisasikan, semuanya berlokasi di ujung rumah brahmana ini. Baru delapan hari berlalu, dan keluargamu juga belum selesai dengan upacara kematianmu, dan di alam ini dikau telah berkuasa selama empatpuluh ribu tahun. Aku telah menjelaskan perincian kelahiranmu. Semua manifestasimu ini adalah ilusi. Dunia yang dikau rasakan dan alami ini adalah delusi yang berasal dari ilusi. Sebenarnya tidak ada yang telah diciptakan. Dunia ini tidak nyata, lalu bagaimana mungkin memorinya dapat berwujud nyata?”.
 
Leela terus bertanya : “Wahai Dewi yang mulia, aku tidak berani mengatakan bahwasanya kata-katamu tidak benar, namun aku bingung sekali akan pernyataanmu yang menyatakan bahwa jiwa sang brahmana tersebut beserta keseluruhan gunung, sungai, hutan dsb. berada di sudut rumah sang brahmana ini. Bagaimanakah semua itu dapat dimungkinkan, ibarat sesuatu yang besar diikatkan ke sesuatu yang kecil, hal tersebut terkesan tidak mungkin”,
 
Sang Dewi bersabda : “Kata-kataku tidak pernah akan jauh dari Kebenaran. Semua pengalaman ini ibaratnya seseorang yang mengalami tiga tahap sang waktu di dalam mimpinya. Begitu sadar dari mimpinya semua ini menghilang. 
 
Sang ratu masih saja kurang yakin, iapun berkata : “Baru delapan hari berlalu setelah bramana Vasishtha meninggal dunia, dan kami telah menjalani 60 ribu tahun dalam waktu yang sesingkat itu, aku masih tidak mampu memahaminya”. 
 
Dewi Saraswati menjawab : “Sudah kujelaskan kepadamu, bahwa berdasarkan sankalpa maka waktu yang panjang tersebut dapat dialami dalam waktu yang singkat. Semua yang dikau saksikan termasuk aku dan dirimu sendiri adalah ilusi. Sewaktu seseorang meninggal dunia maka iapun masuk ke tahap tidak sadar, dan setelah kesadarannya kembali ia merasakan raga, keluarga, rumah, semesta, dan lain sebagainya, semuanya berada dihadapannya. Semua ini adalah pemahaman akan pikirannya yang memungkinkan waktu yang panjang dirasakan di dalam waktu yang singkat, karena semesta itu sendiri adalah modifikasi dari pemahaman pikiran-pikiran ini. Sebenarnya tidak ada yang lainnya selain Brahm. Seseorang yang faham akan kebenaran ini tidak akan berilusi lagi dan akan menghasilkan Sang Atman semata."
 
Sang ratu bertanya : “Bagaimana aku dapat menyaksikan alam-semesta di mana Sang Brahmin meninggal dunia delapan hari yang lalu?”.
 
Dewi Saraswati menjawab : “Alam-semesta tersebut diciptakan di chidakash, dan kalau dikau sampai ke sana melalui upaya yoga, maka dikau akan menyaksikan semesta tersebut. Semesta tersebut tercipta akibat sankalpa orang-orang yang lain, dan seandainya dikau berhasil dengan upaya yogamu, maka dikau akan mampu memasuki sankalpa manusia lain, untuk itu dikau harus mencapai strata lembut (halus) agar dapat menyaksikan semua itu. Pada saat ini dikau masih terikat oleh raga kasarmu, lepaskanlah dulu ilusi kasarmu ini dan masuki daya lembut yang disebut chidakash ini. Setelah mencapai tersebut seperti halnya dengan aku, maka dikaupun akan sanggup mencapai apa saja yang dikau sukai, tanpa banyak berusaha”. 
Leela bertanya : “Seandainya Sang Atman yang non-dualistik ini bersifat maha hadir, lalu apakah sankalpa ini yang membingungkan setiap manusia?”. 
 
Dewi Saraswati menjawab : “Ibarat tali yang terkesan sebagai ular di dalam kegelapan, begitupun sankalpa ini terkesan sebagai sesuatu yang tidak jauh dari Sang Atman yang non-dualistik ini. Semua nama dan bentuk yang dialami di dalam sang Atman adalah ilusi belaka”. 
 
Sang Ratu : “Seandainya yang hadir hanyalah Sang Atman, lalu mengapa aku telah kesana-kemari selama ini?”. 
 
Dewi Saraswati : “Wahai Leela, perjalananmu ini terjadi karena non-kontemplasi (awichar) dan ilusi. Semua itu bisa dihapus dengan berfikir secara benar dan menyatu dengan Sang Atman. Pada saat ini unsur-unsur wichar dan awichar, gyan dan agyan terkumpul di dalam dirimu. Jadi dikau harus memfokuskan perhatianmu ke gyana (pengetahuan Ilahi), agar hilang bentuk-bentuk ilusimu, atau dikau dapat mencapai Atman. Dengan jalan ini seluruh ilusimu akan sirna. 
 
Leela berkata : “Wahai Dewi yang mulia, dikau telah berbaik hati dengan semua yang dikau berikan kepadaku. Sekarang sudilah memberi tahu kepadaku yoga tersebut agar aku dapat mencapai tahap Atmik tersebut”. 
 
Dewi Saraswati : “Upaya ke arah Brahm (Brahm-abhayasa) terdiri dari :
1. Mengingat akan Sang Atman secara konstan. 
2. Japa demi sang Atman. 
3. Atma-bodh (Satsangh). 
4. Pranayama dengan pemusatan ke Sang Atman. 
5. Merefleksikan diri ke tahap Atmik. 
 
Semua ini adalah wujud dari ajaran Brahm-abhayasa. Perinciannya adalah sebagai berikut : Ajaran-ajaran yang diterima dari para guru akan Sang Atman disebut Atma-chintan. Menerangkan hakikat Sang Atman ke orang lain disebut Atma kathan. Diskusi (satsangh) disebut Atma-bodh. Mengingat sabda guru atau guru-mantra melalui pranayama disebut mengingat Sang Atman. Menerima Sang Atman sebagai satu-satunya unsur disebut Atma-manan. Semua ini seandainya dilaksanakan penuh disiplin disebut Brahm-abhayasa dan mereka-mereka yang telah terserap kepada-Nya disebut Brahm-abhayashi. 
 
Para peniti jalan ke Brahm dibagi dalam tiga kategori : ....... tinggi............medium............rendah (pemula). Mereka yang pemahamannya telah benar (bodh-kala) dan beriman teguh mencapai tahap non-eksistensi dari semesta ini, mereka disebut sishya-sishya yang tinggi kategorinya; mereka-mereka yang beriman seperti di atas namun masih belum mencapai bodh-kala, disebut sishya dengan kategori medium, dan yang pemula adalah mereka yang masih meniti. Leela, telah kuterangkan kepadamu berbagai disiplin ini, dengan mengikutinya dikau akan bersatu dengan tahap yang mulia dan agung tersebut. ibarat tanduk menjangan betina, maka semesta ini sebenarnya tidak eksis. Sesuatu yang tidak eksis pada mula dan akhirnya, namun dapat dirasakan di tahap tengah, sifatnya tidak nyata (asat)”. 
 
Leela segera memahami ajaran Dewi Saraswati dan iapun segera memahami unsur non-eksistensi raganya ini termasuk semesta, ia lalu bersama-sama sang Dewi Saraswati menyatu ke akash. Melalui tubuh lembutnya ia mampu mencapai chidakash, iapun mampu mencapai sistem solar (mentari dan planet-planet yang mengelilinginya), mencapai loka-loka yang unik, misalnya ke semesta yang tidak memiliki mentari dan rembulan, namun penuh dengan makhluk-makhluk astral yang mengapung. Leela juga mampu menyaksikan penciptaan dan pralaya. Setelah melalui berbagai loka, maka mereka berdua kembali ke lokasi dimana sang brahmana meninggal dunia. Di lokasi ini mereka menyaksikan keluarga Leela di masa yang lampau masih berkabung dan meratap. Leela merasa bahwa ia dan dewi Saraswati hanya menunjukkan diri mereka agar seluruh ratapan dan kesedihan ini dapat diakhiri. Melalui daya yang mereka miliki maka keluarga brahmana yang sedang berkabung ini mampu menyaksikan kehadiran Leela dan Dewi Saraswati. Putra Leela, dari kelahirannya yang dahulu yang bernama Jyeshta Sharma segera memuja mereka berdua, dan seluruh keluarga akhirnya mendapatkan karunia dari kedua dewi ini. 
 
Mengapa Leela tidak menunjukkan dirinya dalam wujud aslinya yang lalu di hadapan keluarga ini? Leela telah mencapai tahap kesadaran murni, di dalam tahap ini tidak diperlukan nama dan bentuk, karena ilusi dan kebodohan telah sirna di tahap ini. Demikianlah kemudian kedua dewi ini sirna dari pandangan keluarga tersebut. 
 
Dewi Saraswati kemudian berkata kepada Leela : “Dikau telah melihat dan melaksanakan sesuatu yang layak, sekarang mohonlah sesuatu dariku “. 
 
Leela bertanya : “Sewaktu aku berkunjung ke raja Viduratha, ia tidak sanggup menyaksikanku, namun bagaimana caranya Jyesta Sharma sanggup menyaksikanku melalui kemauanku? 
 
Dewi Saraswati : “Pada saat mengunjungi Viduratha dikau belum mencapai tahap non-dual. Pada saat ini dikau telah menyatu dengan Sang Atma dan tidak bersifat non-dual lagi. Dikau telah mencapai sankalpa yang benar. Seandainya dikau mengunjungi Viduratha sekali lagi, maka ia akan sanggup menyaksikanmu”. 
 
Leela : “Pada saat ini aku sudah tidak berminat lagi terhadap hal-hal yang lainnya dan hanya akan melakukan yang dikau perintahkan”. 
 
Dewi Saraswati : “Leela, dikau memiliki kelahiran dengan berbagai suami yang tak terhitung banyaknya, aku dapat membawamu pergi ke mereka ini sesuai dengan kehendakmu. Semesta yang terasa dekat bagimu pada tahap ini sebenarnya berlokasi jutaan tahun dari tahap ini. Ibarat di dalam sebuah mimpi, kesadaran pengalaman (anubhawa chaitanya) ini bermanifestasi sebagai alam-semesta, demikian juga Atma-satta memanifestasikan Dirinya sebagai bumi, unsur-unsur, berbagai benda dan lain sebagainya. Sesungguhnya Atam-satta tegar di dalam dirinya sendiri, tidak ada yang pernah diciptakan”. 
 
Leela : “Melalui karuniamu, aku telah mencapai tahap Atmik, aku sudah tidak memiliki hasrat apapun lagi.” 
 
 
Di kutip dari terjemahan kitab Vasistha Yoga.
http://ceritadewata.blogspot.co.id/2013/07/kisah-leela-dan-dewi-saraswati.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline