Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Timur Surabaya
Kisah Jaka Berek ‘Sawunggaling’
- 10 Juli 2018

Ceritanya, dahulu kala tersebutlah seorang anak bernama Jaka berek. Setiap hari ia selalu diejek dan dikatakan anak haram oleh teman-temannya karena ia tidak mempunyai ayah yang lainnya.

Suatu hari Jaka Berek baru saja pulang dari bermain dengan teman-temannya. Hatinya marah, penasaran bukan kepalang. Sesampainya di rumah Jaka Berek segera menjumpai ibunya. Saat itu ibunya tengah berkumpul dengan kakek dan neneknya.

“Ibu, aku tak tahan lagi,?” ujar Jaka Berek.

“Ada apa, anakku? Kenapa wajahmu cemberut begitu” tanya ibu Jaka Berek, Dewi Sangkrah.

“Biyung harus menjelaskan, siapa sebenarnya ayahku? Kalau sudah mati, di mana kuburnya biar aku mengirim doa di pusaranya, dan jika masih hidup, sudilah ibu menunjukkan tempatnya padaku!” rengek Jaka Berek kepada ibunya.

Hati Dewi Sangkrah berdebar. Ibu Jaka Berek sudah menduga hal ini akan terjadi. Suatu saat setelah dewasa, Jaka Berek anaknya pasti akan menanyakan siapa ayahnya. Dia harus menjawabnya dengan gamblang. Cerita rakyat Jawa Timur ini masih berlanjut dengan percakapan Jaka Berek dan ibunya.

“Anakku Jaka Berek, karena kamu sudah dewasa, sudah sepatutnya kamu bertanya tentang ayahmu. Ketahuilah anakku, ayahmu adalah seorang Adipati di Kadipaten Surabaya. Namanya Adipati Jayengrana. Bila kamu ingin bertemu dengannya, datanglah ke sana.”

Kisah legenda Sawunggaling

Jaka Berek segera mencari tahu asal-usul dirinya. Dengan berbekal seadanya, Jaka Berek berangkat ke Kadipaten Surabaya untuk menjumpai ayahnya. Ketika hendak memasuki pintu gapura kadipaten, Jaka Berek dicegat oleh seorang prajurit yang sedang berjaga.

“Berhenti kamu!” teriak prajurit itu. “Mau apa kamu berani datang ke kadipaten ini?”

“Saya ingin bertemu dengan sang Adipati!” kata Jaka Berek dengan lugu wajahnya polos sebagaimana kebanyakan pemuda desa.

“Anak muda ketahuilah aku adalah prajurit yang sedang berjaga. Kamu tidak boleh masuk ke kadipaten. Kamu harus pergi dari sini sebelum kuusir!” bentak prajurit itu.

“Aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Adipati Surabaya yang bernama Adipati Jayengrana,” jawab Jaka Berek.

Prajurit penjaga pintu gapura itu jengkel melihat Jaka Berek yang tak mau pergi dari kadipaten. Maka dia segera menyerang Jaka Berek agar Jaka Berek pergi. Tetapi Jaka Berek bukannya pergi, malah melawan dengan berani.

Untunglah perkelahian itu diketahui oleh dua orang putra Adipati Jayengrana yang bernama Sawungsari dan Sawunggrana. Oleh mereka perkelahian itu dilerai. Prajurit yang berkelahi dengan Jaka Berek segera ditanya.

“Maaf, Pangeran, pemuda ini hendak memaksa masuk kadipaten. Saya halang-halangi, tetapi dia malah menawan”, lapor prajurit itu. Mendengar laporan dari prajuritnya, kedua anak Adipati Jayengrana itu pun segera bertanya pada Jaka Berek.

“Maaf, siapakah Saudara dan ada keperluan apa hendak memaksa masuk ke kadipaten?” tanya Sawungrana.

“Aku hendak menghadap Adipati Jayengrana. Ada yang ingin kusampaikan kepada Beliau.”

“Tak ada orang luar yang boleh menemui ayahku. Sebaiknya kamu pulang saja atau aku yang memaksamu pulang?” kata Sawungsari.

“Aku tetap pada pendirianku, mau menemui Adipati Jayengrana!” tegas Jaka Berek.

Melihat kenekatan Jaka Berek, kedua putra Adipati Jayengrana itu pun segera mengeroyok Jaka Berek. Dengan tangkas, Jaka Berek melayani Sawungrana dan Sawungsari.

Belum lama perkelahian itu berlangsung, Adipati Jayengrana melihatnya. Adipati Surabaya itu pun segera menghampiri mereka yang sedang berkelahi. “Hei hentikan perkelahian ini!” teriaknya.

Setelah perkelahian berhenti, Adipati Jayengrana segera menanyakan hal ihwal terjadinya perkelahian itu. Kedua putranya menjelaskan secara terperinci.

“Kamu yang bernama Jaka Berek yang mau menemuiku. Sekarang katakan apa perlumu?” tanya Adipati.

“Hamba hanya ingin mencari ayah hamba yang menjadi Adipati di sini, namanya Adipati Jayengrana. Kalau memang tuan orangnya, tentu tuanlah ayah hamba!” kata Jaka Berek.

“Nanti dulu. Siapa nama ibumu, dan apa buktinya kalau kamu anakku?” tanya Adipati.

“Hamba adalah putra dari Biyung Dewi Sangkrah. Sebagai bukti bahwa hamba memang anak Dewi Sangkrah, ibu memberi hamba sebuah selendang Cinde Puspita ini!” jawab Jaka Berek.

Jaka Berek mengeluarkan Selendang Cinde Puspita dari bungkusan yang dibawanya. Ternyata benar selendang itu adalah Selendang Cinde Puspita yang dulu oleh Adipati Jayengrana diberikan kepada Dewi Sangkrah yang dicintainya.

“Kalau begitu kamu memang anakku!” kata Adipati dengan rasa haru.

Adipati Jayengrana memeluk Jaka Berek. Demikian pula Jaka Berek, dia memeluk erat ayahnya yang telah lama tak dijumpainya. Kemudian Jaka Berek diperkenalkan pada saudaranya, Sawungrana dan Sawungsari.

Jaka Berek disuruh tinggal di kadipaten dan namanya diubah menjadi Sawunggaling.

Demikian asal-usul nama Jaka Berek yang berubah menjadi Sawunggaling. Sawunggaling tinggal di kadipaten Surabaya bersama ayahnya yang merupakan seorang Adipati.

Cerita dongeng Sawunggaling

Kisah dongeng Sawunggaling berlanjut. Pada suatu hari kadipaten Surabaya kedatangan kompeni Belanda yang dipimpin oleh Kapten Knol yang membawa surat dari Jenderal De Boor yang isinya mengatakan bahwa kedudukan adipati di Surabaya akan dicabut karena Adipati Jayengrana tak mau bekerja sama dengan kompeni Belanda.

Tetapi pada saat itu ada pengumuman bahwa di alun-alun Kartasura akan diadakan sayembara sodoran. Sodoran adalah perang tanding prajurit berkuda dengan bersenjatakan tombak dengan memanah umbul-umbul yang bernama Umbul-Umbul Tunggul Yuda.

Adipati Jayengrana yang sudah dipecat itu pun menyuruh kedua anaknya agar giat berlatih untuk mengikuti sayembara itu. Pemenang dari sayembara itu akan diangkat menjadi adipati di Surabaya.

Pada hari sayembara diadakan tanpa memberitahu Sawunggaling, Jayengrana dan kedua putranya pergi ke Kartasura. Tanpa sepengetahuan mereka diam-diam Sawunggaling juga pergi ke Kartasura. Sebelum berangkat Sawunggaling pulang ke desa meminta doa restu dari ibu, kakek dan neneknya.

Sayembara memanah umbul-umbul itu ternyata hanya diikuti oleh Sawungrana dan Sawungsari. Tetapi keduanya gagal, tak bisa menjatuhkan umbul-umbul Tunggul Yuda yang dipasang di antara Menara Galah.

Karena tak ada pemenangnya, Sosro Adiningrat yang bertindak sebagai panitia pelaksana lomba, segera mengadakan pendaftaran lagi. Pada saat itu muncul pemuda yang mengacungkan tangannya. Ternyata dia adalah Sawunggaling.

Sawunggaling inilah yang dengan tepat dapat menjatuhkan Umbul-Umbul Tunggul Yuda. Dengan kemenangan itu, selain diangkat sebagai Adipati di Surabaya, Sawunggaling pun mendapat hadiah dari putri Amangkurat Agung di Kartasura yang bernama Nini Sekar Kedaton.

Keberhasilan Sawunggaling itu telah menimbulkan keirian dari dua saudaranya, yaitu Sawungrana dan Sawungsari. Keduanya ingin mencelakakan Sawunggaling. Pada waktu pesta besar-besaran untuk merayakan pengangkatan Sawunggaling sebagai adipati di Surabaya, secara diam-diam Sawungrana dan Sawungsari memasukkan bubuk racun ke dalam gelas air minuman Sawunggaling.

Namun perbuatan itu diketahui oleh Adipati Cakraningrat dari Madura. Ketika minuman yang ada racunnya itu disodorkan ke Sawunggaling, Adipati Cakraningrat pura-pura menubruk Sawungrana yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi minuman yang telah diberi racun. Melihat hal itu, Sawungrana sangat marah.

“Dinda Sawunggaling, lihatlah ulah adipati dari Madura itu. Dia tidak menghormatimu karena minuman yang kusodorkan kepadamu dijatuhkannya. Ini penghinaan!” kata Sawungrana.

Mendidih darah Sawunggaling karena dihina oleh Adipati Cakraningrat. Dengan cepat disambarnya tangan Adipati Cakraningrat dan ditariknya keluar dari kadipaten.

“Mengapa Paman Adipati Cakraningrat menghina diriku di hadapan para tamu. Apakah Paman akan menantangku berkelahi?” tanya Sawunggaling.

“Tenang, Anakku, ketahuilah bahwa minuman yang hendak kau minum tadi sebenarnya telah diberi racun oleh Sawungrana. Aku melihatnya. Oleh karena itu aku segera bertindak menyelamatkan nyavvamu!” ucap Cakraningrat dengan tenang.

Sawunggaling merasa menyesal karena telah tergesa-gesa menuduh Adipati Cakraningrat yang bukan-bukan. “Dan semua itu memang telah direncanakan oleh para kompeni Belanda busuk itu, Anakku. Kedua kakakmu telah bergabung dengan para kompeni Belanda karena menginginkan kedudukan sebagai Adipati di Surabaya!” jelas Adipati Cakraningrat.

“Oh, Paman…” Sawunggaling merasa menyesal. “Maafkan kecerobohanku.”

Sejak itu Sawunggaling membenci kompeni Belanda. Dengan hati bulat dia bertekad memerangi Belanda. Dia selalu menambah kekuatan laskarnya untuk mengusir Belanda. Pertempuran berkobar di seluruh daerah Surabaya.

Dalam suatu peperangan yang sengit Sawunggaling berhasil membunuh Jenderal De Boor. Akhirnya karena menderita sakit parah, Sawunggaling meninggal dunia di daerah Kupang dan dimakamkan di daerah Lidah Wetan, Surabaya.

Pesan moral yang terkandung dalam kisah legenda Sawunggaling adalah setiap manusia tidak boleh putus asa dalam hidupnya. Terusnya berusaha memperbaiki nasib menjadi lebih baik.

Amanat cerita rakyat Jawa Timur ini adalah kebaikan akan memberikan kebaikan bagi pelakunya. Sebaliknya, perilaku jahat akan membawa pelakunya pada keburukan hidup.

 

Artikel ini dikutip FaktualNews.co dari http://agussiswoyo.com/cerita-rakyat/cerita-legenda-asal-usul-sawunggaling-dari-surabaya-jawa-timur/

Sumber: https://faktualnews.co/2018/03/31/cerita-rakyat-kota-surabaya-kisah-jaka-berek-sawunggaling/74355/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline