Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Riau Riau
Kisah Awan Garang Panglima Bermata Satu
- 16 Mei 2018

Alkisah, beberapa abad yang lalu, di sebuah daerah di pesisir Riau, hiduplah seorang pemuda miskin yang bernama Awang Garang. Kegiatan sehari-harinya menangkap ikan di karang pantai. Sejak kecil, ia bercita-cita ingin menguasai laut. Untuk meraih cita-citanya itu, ia rela menjadi tukang masak pada sebuah kapal layar, meskipun tidak dibayar, agar dapat ikut berlayar mengarungi selat dan lautan di sekitar Kepulauan Segantang Lada. Sifatnya yang rajin, membuat para Datuk dan Batin sayang kepada Awang Garang. Ia bahkan dipercaya menjadi pembantu tukang kapal.

Suatu hari, Sultan Riau memerintahkan para Datuk dan Batin untuk membuat penjajap.Pembuatan penjajap itu Sultan mempercayakannya kepada tujuh Datuk dan Batin di Temiang, Moro Sulit, Sugi, Bulang, Pekaka, Sekanan, dan Mepar. Tidak ketinggalan pula Awang Garang dalam kegiatan itu. Tempat pembuatannya disepakati bersama di sebuah pulau antara Bulang Rempang dan Bintan.

Sudah tiga bulan pembuatan kapal itu berlangsung, namun tidak ada tanda-tanda kapal itu akan berbentuk. Bahan kayu sudah berkali-kali diganti, dari kayu medang tanduk berganti kayu medang tembaga, namun tetap juga tidak menampakkan hasil. Para Datuk dan Batin mulai cemas. Mereka khawatir Sultan akan murka mendengar kegagalan tersebut.

Di tengah rasa cemas itu, tiba-tiba Awang Garang angkat bicara. “Maaf, Tuan-tuan! Sepengetahuan saya, pembuatan kapal perang itu harus memakai tiga jenis kayu untuk satu kapal,” ucapan Awang Garang mengejutkan semua Datuk dan Batin. “Hai Awang, janganlah asal bicara! Apakah kata-katamu itu dapat dipertanggungjawabkan?” tanya seorang Datuk. “Apabila kata-katamu tidak terbukti, maka hukuman berat akan kamu terima,” sambung seorang Batin dengan nada mengancam. “Baiklah, Tuan-tuan. Akan saya buktikan bahwa perkataan saya benar,” kata Awang Garang dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, para tukang sibuk mempersiapkan tiga jenis kayu seperti yang diusulkan oleh Awang Garang. Papan kapal mereka buat dari kayu medang sirai. Kerangka dalam perahu yang berbentuk seperti gading, mereka buat dari kayu penaga. Sementara lunas kapal itu mereka buat dari kayu keledang. Setelah tiga bulan, pembuatan kapal itu tampak mendekati selesai. Sultan yang menerima kabar itu sangat senang dan melipatgandakan pembayarannya. Tukang-tukang pun semakin giat bekerja.

Pada suatu hari, ketika Awang Garang sedang mengawasi tukang yang sedang memotong kayu, tiba-tiba tatal kayu terlempar dan mengenai mata kanannya. “Ya, Allah, pecah bola mataku,” jerit Awang Gerang menahan sakit. Tanpa disadari, tiba-tiba ia berkata dengan nada kesal, “Dasar kapal sial, kusumpah kapal ini tidak bisa diturunkan ke laut!”

Mata kanannya yang buta itu ia tutupi dengan penutup mata berwarna hitam. Awang Garang pun pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu tukang penjajap. Ia kembali ke desanya menjalani kehidupannya seperti semula yaitu menangkap ikan di karang pantai.

Dua bulan setelah ditinggalkan Awang Garang, pembuatan penjajap itu pun selesai. Akhirnya tibalah saatnya untuk diturunkan ke laut. Seluruh tukang telah dikerahkan untuk menurunkannya ke laut, namun penjajap itu tidak bergeser sedikit pun. Jangankan penjajap itu bergeser, bergerak pun tidak. Sementera Sultan telah bertitah agar penjajap itu harus segera melaut untuk menumpas para lanun yang semakin merajalela di perairan Riau. Para Datuk dan Batin mulai gelisah. Mereka khawatir mendapat murka dari Sultan.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba seorang Batin berbicara, “Sebaiknya kita harus memanggil Awang Garang. Ia pernah menyumpahi kapal itu sebelum meninggalkan pulau ini beberapa bulan yang lalu. Barangkali ia memiliki cara lain untuk menurunkan kapal itu ke laut.” Usulan Batin itu diterima oleh para Datuk dan Batin yang lainnya. Maka, diutuslah salah seorang Datuk untuk mencari Awang Garang dan memintanya datang ke pulau itu.

Sesampainya di rumah Awang Garang, Datuk itu mendapati Awang Garang sedang duduk di depan pintu rumahnya. “Hai, Awang Garang! Bukankah telah engkau sumpahi kapal itu agar tidak bisa melaut?” tanya Datuk kepada Awang Garang. “Kamu harus menurunkan kapal itu. Kalau tidak, hukuman berat akan kamu terima!” tambah Datuk mengancam.

 “Baiklah, Datuk! Saya bersedia menurunkan kapal itu, asalkan Datuk memenuhi persyaratannya,” jawab Awang Garang tenang. “Ya, kami bersedia memenuhi apapun persyaratan yang kamu minta,” kata Datuk dengan mantap tanpa bertanya terlebih dahulu mengenai persyaratan yang akan diajukan Awang Garang.

Mendengar persetujuan dari Datuk, Awang Garang pun segera mengajukan persyaratannya. “Dengar, Datuk! Saya mempunyai tiga persyaratan yaitu pertama, berikan tiga puluh tujuh pemuda pembantu, lengkap dengan perkakasnya. Kedua, semua Datuk dan Batin harus menyaksikan penurunan kapal itu dengan kedua mata tertutup. Ketiga, siapkan tujuh wanita yang sedang mengandung anak sulung, dan berpakaian tujuh warna. Tujuh wanita itu harus anak atau kerabat dari Datuk dan Batin sendiri.”

Setelah mengetahui persyaratan yang diajukan Awang Garang, Datuk itu pun segera melaporkannya kepada Datuk dan Batin lainnya. Oleh karena terdesak waktu dan takut mendapat murka dari Sultan, para Datuk dan Batin pun bersedia menerima syarat-syarat tersebut, meskipun mereka rasa sangat janggal dan berat.

Setelah persyaratan dilengkapi, maka pada saat purnama, ketika air laut pasang, semua hadirin telah datang dan ditutup kedua mata mereka dengan kain. Kemudian Awang Garang membisiki tiga puluh tujuh pemuda tersebut untuk melakukan sesuatu yang tidak diketahui oleh para Datuk dan Batin. Menjelang malam tiba, terdengar bunyi peralatan berlepuk-lepuk diiringi jerit dan raung tujuh wanita yang mengandung sulung tersebut. “Tolooong… ! Jangan lindas perut kami! Tolooong…!” tangis para wanita itu. Para Datuk dan Batin yang tertutup matanya menjadi cemas, ngeri dan gelisah mendengar suara tangis tersebut.

Di tengah suasana gaduh itu, tiba-tiba Awang Garang berteriak lantang, “Semua pergi ke lambung kapal… Siaaap! Dorooong!” pekik Awang Garang. “Rrr… Rrr…,” suara lunas kapal bergeser. “Kwaaak…! Kwaaak…! Kwaaak!” terdengar tangis bayi. “Byuuur…,” terdengar suara kapal tercebur ke laut.

Para Datuk dan Batin yang masih tertutup matanya merasa penasaran ingin menyaksikan apa sebenarnya yang terjadi. Maka dibukanya tutup mata mereka. “Oh, rupanya Awang Garang memakai pohon yang dikupas kulitnya. Pakai galang kayu licin. Rupanya harus pakai galang,” kata para Datuk dan Batin bergantian.

Sementara ketujuh wanita yang mengandung sulung tersebut melahirkan anak-anak mereka dengan selamat. Mereka tidak digilas kapal seperti perkiraan para Datuk dan Batin, melainkan hanya dibaringkan di dalam lubang yang digali di bawah kapal.

Konon, delapan belas tahun kemudian, ketujuh bayi tersebut menjadi panglima penumpas lanun yang berkeliaran di perairan Riau. Mereka diberi gelar sesuai dengan warna pakaian ibu mereka pada saat melahirkan, yaitu Panglima Awang Merah, Panglima Awang Jingga, Panglima Awang Kuning, Panglima Awang Ungu, Panglima Awang Hijau, Panglima Awang Biru, dan Panglima Awang Nila.

Di bawah pimpinan Awang Garang yang bergelar Panglima Hitam Elang di Laut Bermata Satu, ketujuh panglima tersebut menjadi satu kekuatan dalam menumpas para lanun. Sejak saat itu, tidak ada lagi lanun yang berani berkeliaran di perairan Riau.

Kamus kecil :

Lanun : bajak laut, perompak laut.
Penjajap : kapal perang
Lunas : balok memanjang di dasar perahu/kapal
Berlepuk-lepuk : meletuk-letuk.

* * *

Cerita rakyat di atas merupakan cerita legenda yang berkembang di kalangan masyarakat Riau yang mengisahkan tentang asal-mula nama Palau Galang. Konon, nama pulau ini diambil kata “pakai galang”, yaitu kata-kata yang diucapkan oleh para Datuk dan Batin ketika menyaksikan Awang Garang berhasil menurunkan kapal ke laut dengan memakai galang dalam cerita rakyat di atas.

Pulau Galang merupakan sebuah daratan dalam gugusan kepulauan “Barelang” (Batam-Rempang-Galang) terletak di Desa Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam. Hingga kini, Pulau Galang dikenal sebagai bekas perkampungan pengungsi Vietnam (Kamp Sinam). Masyarakat Vietnam mengungsi ke Pulau Galang, karena terjadi perang saudara antara Vietnam Utara (berhaluan komunis) dengan Vietnam Selatan (berhaluan kapitalis). Pada tanggal 30 April 1975 Vietnam Utara berhasil menguasai Vietnam Selatan, sehingga banyak masyarakatnya yang memilih mengungsi ke negara lain dengan menggunakan perahu kayu, sehingga mereka dikenal dengan “manusia perahu” (boat people).

Sejak tahun 1975 hingga 1996, tercatat ribuan pengungsi dari Vietnam memasuki wilayah Indonesia. Atas permintaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang Pengungsi United Nation High Commision Refugees (UNHCR) kepada pemerintah Indonesia, agar menyediakan tempat penampungan sementara untuk para pengungsi, maka Palau Galang dipilih sebagai penampungan itu dan semua biaya ditanggung oleh UNHCR.

Pada tanggal 2 September 1996, PBB memulangkan para pengungsi ke negaranya, Vietnam, secara besar-besaran. Namun, terhitung tahun 1997, atas dasar kesepakatan international di bawah koordinasi PBB, UNHCR tidak mampu lagi menanggung biaya pengungsi. Maka, pemerintah Indonesia turun tangan memulangkan 5.000-an pengungsi yang masih tersisa ke negeri asalnya, Vietnam, melalui kegiatan operasi laut menggunakan sejumlah kapal perang. Pemulangan itu sendiri dilakukan setelah perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan dianggap mereda.

Sejak ditinggal oleh para penghuninya (para pengungsi), Pulau Galang atau eks Kamp Sinam telah menorehkan sebuah sejarah penting tragedi kemanusiaan di jagat raya yang bernama Indonesia. Kesediaan Indonesia menerima dan menyiapkan tempat tinggal para pengungsi Vietnam tersebut menunjukkan sikap penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM), yang berhak hidup secara layak dan damai di muka bumi. Walaupun demikian, UNHCR tetap memiliki peran yang sangat penting bagi pengungsi tersebut, yang telah menyediakan rumah, tempat ibadat, jalan, kamp atau barak-barak penampungan, sekolah, rumah sakit dan sebagainya di Pulau Galang.

Kini, kawasan Pulau Galang berubah menjadi objek wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Nilai historis yang ada di Pulau Galang terlihat dari peninggalan-peninggalan bekas pengungsi Vietnam, seperti makam pengungsi, youth center, dan beberapa tampat ibadah serta patung raksasa Dewi Kwan Im atau Quan Nam Im.

Sumber: https://histori.id/kisah-awan-garang-panglima-bermata-satu/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya