×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Barat

Mundinglaya Dikusumah

Tanggal 06 Aug 2018 oleh OSKM18_16718344_Fathoni .

Pangeran Mundinglaya Dikusuma adalah putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Ibunya bernama Padmawati. Ketika masih dalam kandungan, Ibu Padmawati mengidam buah Honje yang terkenal sangat masam. Maka raja mengutus Ki Lengser untuk memetik buah Honje. Sayangnya di seluruh negeri tak satu pun pohon Honje sedang berbuah. Ki Lengser sangat kebingungan. Lalu ia pergi ke hutan. Di sana ia menemukan pohon Honje yang berbuah sebanyak 8. Tetapi seluruh buah itu sudah dipetik oleh utusan raja dari Kerajaan Muara Beres. Sebab di negeri itu pun permaisurinya yang bernama Gambir Wangi tengah mengandung dan menginginkan buah Honje. Karena diminta tak boleh, terjadilah perebutan buah Honje. Sampai mejelang malam, tak ada yang kalah ataupun menang. Lalu kedua utusan raja ini bersepakat meminta petunuk dari Kahyangan. Maka turunlah Sunan Ambu yang meminta agar mereka berhenti berkelahi dan mulai berbagi, 4 buah untuk Ki Lengser dari Pajajaran. Dan 4 buah lainnya untuk Ki Lengser dari Muara Beres. Beberapa bulan kemudian Ibu Padmawati melahirkan seorang putra yang dinamai Mundinglaya. Sedangkan Ibu Gambir Wangi melahirkan seorang putri yang diberi nama Dewi Asri. Mengingat cerita tentang buah Honje di masa lalu, kedua orangtua dari masing-masing itu bersepakat menjodohkan Mundinglaya kepada Dewi Asri.

 

Mundinglaya tumbuh besar, tampan, dan baik hati. Banyak orang sayang kepadanya. Pada suatu hari seorang kerabat istana yang iri hati menuduh Mundinglaya telah berbuat jahat kepada putri-putri di istana. Prabu Siliwangi menjadi murka. Tanpa diperiksa Mundinglaya segera dihukum penjara. Sedih sekali hati Ibu Padmawati mendengarnya. Ada yang setuju Mundinglaya dihukum, ada juga yang tidak. Maka Kerajaan Pajajaran menjadi terpecah-pecah. Keputusan raja yang kurang bijaksana itu pun mengundang banyak bencana alam.

 

Pada suatu malam Ibu Padmawati mendapat pesan dari mimpi bahwa kerajaan akan kembali tenteram bila seorang ksatria mendapatkan pusaka Lalayang Salaka Domas dari Kahyangan. Keesokan harinya digelarlah rapat kerajaan, siapa kiranya yang mau diutus raja untuk mendapatkan pusaka Lalayang Salaka Domas. Namun tak seorang pun berani karena untuk mendapatkan pusaka itu harus terlebih dahulu berhadapan dengan raksasa yang ganas penjaga jalanan ke Kahyangan bernama Jonggrang Kalapitung. Setelah beberapa saat, Patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkta, “Setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangern Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar Pangeran Mundinglaya dibawa menghadap.

 

Kemudian raja berkata: “Mundinglaya, maukan ananda mengambil pusaka Lalayang Salaka Domas yang berada di Kahyangan demi keselamatan negeri? Jika ananda berhasil, kebebasan sebagai hadiahnya.” Demi keselamatan negeri Pangeran Mundinglaya bersedia.

 

Pagi-pagi benar, pergilah Mundinglaya ke kahyangan. Tetapi di tengah jalan ia harus lebih dulu bertempur dengan raksasa dan mengalahkannya. Demikian pun setibanya di kahyangan ia kembali bertempur dengan tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural ang menjaga Lalayang Salaka Domas. Kali ini Mundinglaya kalah dan mati. Segera setelah itu, muncullah Dewi Wiru Mananggay dari Kahyangan yang tak lain adalah nenek sang pangeran. Ia meniup ubun-ubun sang pangeran dan menghidupkannya. Kemudian Pangeran Mundinglaya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang. Tetapi tak perlu lagi ada pertempuran karena Pangeran Mundinglaya telah mempertunjukan keberanian dan ketulusan hatinya. Akhirnya Lalayang Salaka Domas diberikan kepada Mundinglaya untuk mengatasi masalah-masalah di negeri Pajajaran. Sedangkan Sang Guriang Tujuh berubah menjadi raksasa dan menjadi pengawal Pangeran Mundinglaya.

 

Sumber

Clara, Amanda. 2008. Cerita Rakyat dari Sabang sampai Merauke. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
 

#OSKMITB2018

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...