Tahun 1942 adalah masa awal penjajahan "saudara tua," Jepang cebol kepalang yang hanya seumur jagung. Masyarakat Indonesia mulai dari kota besar sampai di pelosok-pelosok desa terpencil mengalami penderitaan yang luar biasa beratnya. Kemerdekaan mereka semakin terampas, kurang sandang, kurang pangan, dan yang lebih menyedihkan lagi wabah penyakit melanda di mana-mana.
Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, kesusahan luar biasa digambarkan dengan makan bonggol pisang dan pakaian karung goni. Kalau ada di antara penduduk yang meninggal kain kafannya terbuat dari tikar atau sama sekali tidak dikafani secara layak.
Untuk merefleksikan keadaan yang sangat menyedihkan itu, masyarakat pedesaan di kawasan Gunung Kuncir, Perbukitan Menoreh, bilangan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta menciptakan sebuah bentuk kesenian yang disebut Kethoprak Lesung. Kethoprak yang menggunakan lesung (perangkat penumbuk padi) sebagai tetabuhan pengganti gendhing yang biasa digunakan dalam kesenian rakyat.
Seperti halnya teater tradisional lainnya, Kethoprak Lesung inipun mengembangkan unsur-unsur cerita, nyanyi dan lawak yang disampaikan secara bersamaan antara satu sama lainnya. Sedang musik pengiring menggunakan gegojekan lesung sehingga diambillah nama lesung untuk membedakan dengan kesenian tradisional konvensional.
Setelah mengalami masa keemasan yang cukup panjang, Kethoprak Lesung mulai mengalami masa penurunan, hal ini terjadi pada awal dasawarsa tahun 1960-an. Untuk mempertahankan keberadaan Kethoprak Lesung ini masyarakat pendukungnya telah melakukan berbagai upaya, antara lain: pada tahun 1960-an, mereka mencampur alat musiknya dengan gamelan besi, terbang (1970-an), gambang kayu (1960-an), angklung Jathilan (1980-an akhir) dan gambang bambu (1990-an).
Pada tahun 1999 mereka mulai melengkapi peralatan musiknya dengan gamelan bambu. Pada tahun ini pula Lephen seorang pekerja seni yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap seni tradisi menamakan Kethoprak Lesung dari Gunung Kucir itu dengan sebutan Kethoprak Thung-Klik.
Kata Thungklik itu sendiri sebenarnya berasal dari Thung dan Klik, yaitu bunyi atau suara yang dihasilkan alat musik yang ditabuh para Niyaga, selanjutnya, seorang pinisepuh desa tokoh utama penjaga tradisi di Gunung Kucir, Mbah Atmoiyono (1919), memberi arti bahwa Thung adalah besar dan menggambarkan laki-laki, sedangkan Klik berarti kecil dan menggambarkan sosok perempuan.
Secara umum Kethoprak Thung-klik tidaklah jauh berbeda dengan Kethoprak-kethoprak lainnya, artinya sama-sama berunsurkan tari, musik, lakon, nyanyian, dan lawakan yang disampaikan secara seimbang dan tak terpisahkan. Yang agak unik adalah seperangkat gamelan bambu dan lesung yang ditata di atas pentas, sekaligus berfungsi sebagai back ground pertunjukan.
Bahasa yang disampaikan para pemain adalah bahasa Jawa sehari-hari, terkadang diselingi humor-humor ringan yang "menyerempet-nyerempet" bahaya. Rias dan busana pun ada upaya untuk mendekati setting cerita (waktu, tempat kejadian), meskipun tidak terlalu ketat dan serba mutlak.
Upaya menarik animo dan perhatian penonton melalui adegan-adegan spektakuler (istilah teknisnya specktackle) dilakukan dengan menampilkan berbagai binatang dan genderuwo, bahkan mereka juga berani menampilkan ayam sungguhan dan adegan-adegan perkelahian yang cukup memikat.
Kethoprak Tung-klik umumnya memainkan cerita mengenai kehidupan masyarakat desa sehari-hari dan legenda raja-raja Jawa. Di samping sebagai hiburan setelah penat bekerja di siang hari, Kethoprak Tung-klik juga berfungsi sebagai media ritual masyarakat pendukungnya. Ia sering ditampilkan dalam upacara ritual seperti tolak bala, sedekah bumi, memenuhi nazar/haul, dan sebagainya.
Salah satu upacara ritual yang paling penting dalam tradisi masyarakat Gunung Kucir, Menoreh, Kulon Progo adalah Baritan. Kata baritan sendiri berasal dari kata bar-rit-ritan, yang berarti usai (bubar) menuai padi. Usai panen padi, masyarakat setempat melakukan upacara tasyakuran dengan berkumpul bersama kenduri dan menyiapkan berbagai panganan lengkap dengan ingkung, ayam panggang.
Di beberapa tempat di sekitar Kulon Progo ditandai dengan upacara yang malam harinya disemarakkan dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Masyarakat memberi apresiasi antusias dengan berbagai kegiatan yang menyertainya. Dengan demikian bergantian di sejumlah dusun, berturut-turut menggelar serangkaian pertunjukan wayang kulit dan berbagai bentuk kesenian rakyat.
Sumber: www.hupelita.com
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja