Penggunaan keris mungkin merupakan pengaruh bangsa melayu/jawa dan bangsa Moro yang memasuki Kalimantan. Ada kisah cerita Damang Bahandang balau di desa Dadahup yang berperang melawan bangsa buaya dengan menggunakan keris berlekuk tiga.
Konon ceritanya di daerah perkampungan Suku Dayak yang disebut Kampung Dadahup, termasuk daerah aliran sungai Barito dan masyarakatnya pada waktu itu masih belum mengenal dunia luar. Memang mereka pada asal mulanya berasal dari Tumbang Kapuas dari Betang Sei Pasah yang didirikan sekitar tahun 1836, sehingga dari keluarga Damang Bahandang Balau berangsur-angsur pindah dan bermukim / mendirikan suatu perkampungan yang disebut Kampung Dadahup.
Disinilah timbul legenda Damang Bahandang Balau yang artinya seorang Damang yang berambut warna merah memang sejak dari lahir. Damang Bahandang Balau adalah seorang petapa berambut panjang hingga kurang lebih 3 meter dan ia berilmu tinggi. Ia mempunyai Keris Pusaka kelok 3 berwarna keemasan pemberian orang gaib pada waktu bertapa, yang keampuhannya adalah bisa bernapas didalam air beberapa hari sesuai dengan keinginan yang dikehendakinya.
Disuatu hari pernah terjadi hal yang nyata pada waktu perkawinan Adik Damang Bahandang Balau yang bernama Nyai Mating seorang yang berparas cantik. Selesailah acara perkawinannya pada sore hari. Sore itu warna langit berwarna kekuning-kuningan. Turunlah mempelai perempuan (Nyai Mating) dari dalam rumah, karena dia telah mendengar suara memanggil-manggil namanya, seakan-akan dirinya telah terkena sirep(pengaruh) yang tidak wajar, dia keluar dari dalam rumah padahal sebelum diadakan perkawinan Adiknya, Damang Bahandang Balau sudah berpesan kepada adik dan iparnya, kata Damang Bahandang Balau “Jika telah selesai perkawinan nanti sebelum saya datang, supaya jangan sama sekali keluar dari dalam rumah”.maka gemparlah seisi rumah setelah mengetahui Nyai Mating menghilang.
Bersamaan dengan kejadian tersebut, seakan-akan Damang Bahandang Balau sudah mengetahui apa yang terjadi kepada adik kandungnya (Nyai Mating) maka dengan wajah yang tenang, Damang Bahandang Balau langsung mengeluarkan keris pusakanya serta mengangkat tangan dan kerisnya kearah dimana adiknya Nyai Mating itu menghilang, dan Damang Bahandang Balau langsung dengan keris pusakanya yang mengeluarkan sinar keemasan, menyelam kedalam air dan disaksikan oleh sanak saudaranya yang seakan-akan terbelah dua air yang dipijaknya.
Selama 3 hari 3 malam berada dialam gaib dibawah air. Disitulah Damang Bahandang Balau melihat mahluk air semacam manusia tetapi berkepala buaya serta kerajaan buaya yang Rajanya memakai pakaian berwarna keemasan.
Bersamaan hal itu Damang Bahandang Balau melihat adiknya dalam dekapan Raja Buaya yang memakai mahkota serta dikelilingi oleh Prajuritnya.
Dengan baik-baik Damang Bahandang Balau meminta adik kandungnya kepada Raja Buaya, karena tidak dituruti maka dengan geramnya Damang Bahandang Balau mengamuk dan membantai ratusan prajurit buaya. Melihat hal demikian maka Raja Buaya melerai para prajurinya dan berhentilah pertempuran tersebut. Maka berbicaralah Raja Buaya kepada Damang Bahandang Balau dan langsung menyerahkan adiknya kepada Damang Bahandang Balau, “Cuma saya minta supaya dari anak cucu kita nanti jangan sampai bermusuhan”. Kata Raja Buaya.
Setelah pembicaraan dan permintaan Raja Buaya selesai, tanpa banyak bicara Damang Bahandang Balau langsung membawa adiknya (Nyai Mating) keluar dari dalam air atau alam gaib dibawah air dan munculnya tepat ditempat asalnya turun. Melihat kembalinya Damang Bahandang Balau dan adiknya, sanak saudaranya menyambut dengan rasa gembira .
Setelah dialam manusia, terkejutlah Damang Bahandang Balau dan adiknya ketika melihat banyaknya bangkai buaya, kemudian diperintahkannya ipar dan saudar-saudaranya untuk membuat lubang yang cukup besar, ke arah hulu dari Kampung Dadahup, tempat menguburkan bangkai-bangkai buaya. Setelah selesainya penguburan itu dan berangsur-angsur pula saudara-saudara Damang Bahandang Balau berminat untuk mendirikan satu perkampungan yang dinamakan oleh mereka yaitu Kampung Tambak Bajai, sehingga sampai Zaman sekarang telah menjadi sebuah Desa Tambak Bajai.
Dalam bukti legenda tersebut, terdapat suatu peninggalan berupa rambut 7 helai yang panjangnya 3 meter berwarna merah, bukti tersebut masih ada dari turunan Damang Bahandang Balau yang disimpan oleh warga Telekung Punei yang termasuk dalam wilayah Dadahup Kec.Kapuas Murung Kab.Kapuas (Kalteng), konon cerita dari rambut tersebut diambil dari dalam kuburan Damang Bahandang Balau tepatnya pada waktu mengadakan Ritual Tiwah setelah pembongkaran kuburan Damang Bahandang Balau.
Pada saat pembongkaran, papan-papan kuburannya yang terbuat dari kayu pantung atau jelutung yang sudah bertahun-tahun dalam keadaaan tidak rusak, namun anehnya semua tulang-tulang yang akan diambil menggaib, hanya tersisa rambut sebanyak 7 helai saja dan letaknya pun seperti diatur terlebih dulu, dan hingga sampai sekarang barang bukti tersebut masih ada. (Nara sumber : Duyen Apil Alm)
Keris dayak berdasarkan beberap penemuan sedikit berbeda dengan keris Jawa yang kecil, bilah kerisnya besar seperti pedang ini mirip dengan Soendang atau Keris Bangsa Moro. Saya belum banyak menemukan literature bagaiman bentuk keris yang digunakan bangsa dayak pada masa lalu.
Sumber: https://folksofdayak.wordpress.com/2013/09/06/senjata-khas-dayak-part-2/
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.