Kentau adalah jenis kidung Kenyah yang dibawakan untuk menghibur hati. Kentau dapat diuraikan melalui dua aspek. Pertama, dilihat dari situasi pada saat kentau dibawakan; dan, kedua, dari cara melantunkan sebuah kentau.
Situasi Saat Kentau Dilantunkan
Kentau dapat dikelompokkan berdasarkan situasi pada saat kentau dilantunkan. Istilah yang digunakan untuk subklasifikasi kentau adalah dayung 'lagu”. Jenis dayung yang ditemui pada saat penelitian ini adalah :
Apabila kita merujuk kembali kepada keterangan mengenai kreativitas dan kemampuan improvisasi pembawa kentau, maka kita akan melihat bahwa sebuah Dayung Ajau akan dapat dikenali dari nyekilunnya, tetapi untuk setiap kesempatan yang berbeda akan muncul mipet Dayung Ajau yang berbeda, bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi pembawa kentau pada saat sayung itu dilantunkan. jadi, kita tidak akan menemui mipet dayung syair lagu” yang standar atau yang sama. Di samping dayung-dayung di atas, mungkin masih ada dayung-dayung lain dalam khsanah kentau suku bangsa Kenyah ini. Untuk dapat mengungkapkan hal ini dibutuhkan peneltian lebih lanjut. Hal lain yang masih dapat diteliti lebih lanjut adalah sejauh mana sebuah dayung merupakan subklasifikasi dari kentau.
Cara Melantunkan Kentau
Setiap kentau dilantunkan dengan cara yang berbeda. Yang dimaksudkan dengan cara melantunkan kentau adalah suasana yang melatarbelakangi suatu kentau, bagaimana cara kentau itu dibawakan oleh masyarakat. Masing-masing jenis dayung dibawakan dengan cara yang berbeda.
1. Dayung Arui. Dayung ini dilantunkan pada saat memanggil orang-orang dalam umaq dadoq 'rumah panjang”. Isi mipet adalah ajakan untuk bergabung. Biasanya para wanita mengelilingi rumah panjang sambil mengajak orang untuk berkumpul di usei, serambi'. Orang-orang akan keluar dari amin mereka masing-masing dan ikut dengan barisan yang melantunkan Dayung Arui itu. Setelah cukup banyak orang bergabung, mereka duduk di usei dan mulia dengan hiburan lainnya. Hal ini mencerminkan nilai budaya kebersamaan. Semua penghuni amin diajak untuk berpartisipasi dalam acara ini. Dayung Arui ini dinyanyikan bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang penyanyi solo yang disebut julong 'di muka, di depan”. Julong ini berfungsi memimpin dan menetapkan mipet yang akan dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi lainnya (koor). Kebiasaan seperti ini, mencerminkan nilai budaya kebersamaan, gotong royong dan juga kerukunan dan ketertiban. Koor mencerminkan keber samaan dan gotong royong sedangkan kebiasaan untuk menaati tanda-tanda yang diberikan oleh julong mencerminkan kerukunan dan ketertiban.
2. Dayung Badetiang. Dayung ini dibawakan setelah semua orang berkumpul dan biasanya juga mengiringi tari-tarian. Isi mipet berbagai macam bergantung pada situasi dan kondisi. Ada 3 dayung untuk menyambut tamu, ada dayung untuk bersuka ria karena ada anggota umaq dadoq yang menikah, dan lain-lain. Dayung ini pun dipimpin oleh seorang juloq dan diiringi koor. Seperti dalam Dayung Arui, kegiatan dalam Dayung Badetiang mencerminkan nilai budaya kebersamaan, kerukunan, ramah-tamah, gotong-royong, dan tertib. Nilai budaya ramah-tamah tercermin dalam dayung yang dilantunkan untuk menyambut tamu. Bergantung dari isi dayung, tercermin pula nilai kesetiaan senioritas dan malu.
3. Dayung Ajau. Dayung dibawakan pada saat orang-orang sedang istirahat sehabis mengerjakan ladang mereka. Isi mipet merupakan semacam evaluasi mengenai hasil pekerjaan mereka pada saat itu. Di Apo Kayan, tanah asal suku bangsa Kenyah, dayung ini merupakan kegiatan komunikasi antarladang. Dalam mipetnya para peladang saling menceritakan hasil pekerjaan mereka saling menanyakan hasil pekerjaan yang telah dicapai oleh peladang lainnya. Dayung ini dibawakan secara bersahut-sahutan. Oleh sebab itu, dibutuhkan seorang juloq yang bersuara lantang dan nyaring, di samping, tentunya merdu. Semakin jelaslah di sini, bahwa meskipun nyekilun daru dayung ini sama, mipet dari masing-masing peladang akan berbeda bergantung pada kondisi ladang masing masing. Sekarang, kegiatan melantunkan Dayung Ajau ini sudah jarang dilakukan. Dalam dayung ini tercermin nilai budaya kebersamaan dan kerajinan. Nilai budaya kebersamaan terungkap dari keinginan mereka untuk mengadakan evaluasi hasil kerja peladang lain. Perbedaan hasil akan memacu semangat mereka untuk menghasilkan kerja yang baik. Peladang yang cepat kerjanya akan bekerja lebih cepat supaya selalu unggul, peladang yang tertinggal akan berusaha untuk menyamai hasil peladang yang unggul. Dalam hal ini, nilai budaya lain yang juga tampil adalah kerajinan.
4. Dayung Pesalau Anaq. Dayung ini dibawakan pada saat ibu atau ayah menidurkan anaknya. Isi mipet pada zaman dahulu adalah agar anak tidur sementara orang tua akan menghadapi musuh yang menyerang desa mereka. Sekarang isi mipet biasanya berupa doa orang tua untuk anaknya. Cara membawakan Dayung Pesalau Anaq tersebut adalah dengan meletakkan anak dalam abanbaq ‘gendongan anak’,dan digendong di punggung orang tuanya. Kemudian, sambil mengayunkan tubuhnya ke depan, selawan anaq 'membuai anak’, sang ibu atau ayah melantunkan Dayung Pesalau Anaq. Dayung ini tidak dibawakan oleh julong. Nilai budaya tidak terlihat dari cara dayung ini dibawakan, melainkan lebih dalam isi dayung.
5. Dayung Pesun Bali. Pada saat dayung ini dibawakan, dibutuhkan perlengkapan upacara seperti gong kecil, telur ayam, nyanting bambu yang dibelah tipis sepanjang kurang-lebih 18 cm'. Pembawa kentau ini adalah seseorang yang berfungsi sebagai dukun. Seperti dalam Dayung Peselau Anaq, nilai budaya tidak tercermin dalam cara dayung ini dibawakan melainkan dari kandungan dayung itu sendiri. Dalam penelitian ini, tidak berhasil direkam jenis dayung ini. Hal ini terjadi karena, pertama, pada saat penelitian ini dilaksanakan tidak ada penduduk yang sakit parah dan, kedua, pengaruh agama Kristen melarang diadakannya kegiatan per dukunan. Praktek pengobatan yang dijalankan adalah praktek pe ngobatan modern.
Berikut ini, kita dapat melihat contoh sebuah kentau, yaitu Dayung Arui yang diikuti oleh terjemahan secara harafiah dan terjemahan secara bebas.
arui nelan arui arui
nelan arui arui name nelan jengan
he amai
nei hem telu menoq
ini amai singket lepoq
ini amai abong ayan
he amai
ini niaq ameq ubaq
amai ubaq name kengelinga dau tira
kem amai nang kampung uweq
he amai
kudaq nameq nengayat
adding amai ngugun tuket amai neput bulan
Terjemahan harfiahnya sebagai berikut:
Arui yang sebenarnya arui
Yang sebenarnya arui kamu sebenarnya Lelah
Hai bapak
Datang kalian banyak pengunjung
Ini bapak setiap kampung
Ini bapak abong ayan (pembentuk ritme)
Hai bapak
Ini yang kamu kehendaki
Bapak kehendaj kita semakin mendengarkan suatu nasehat
Kalian bapak dengan kampung ibu
Hai bapak
Berapa kamu kemampuan
Terlebih dahulu bapak menopanmgh tiang tuket bapak bagian
Dinding yang terujung rumah kami
Terjemah bebasnya sebagai berikut:
Meskipun kami lelah
Kami merasa bahagia menerima kunjungan bapak-bapak ke
Kampung kami
Dan kami semua berkumpul disini
Untuk mendengrkan nasehat bapak
Karena dalam kenyataannya
Apalah daya kami untuk menunjang kelangsungan hidup
Kampung kamu ini
Justru nasehat daru bapak inilah yang kami perlukan
Sumber: Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur – Edi Sedyawati, EKM. Masinambow, Gunawan Tjahyono
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.