Di suatu daratan tinggi sekitar 300 kilometer dari ibukota Sulawesi Selatan, kota Makasar, terdapat sekelompok masyarakat yang memiliki sebuah keunikan. Keunikan tersebut merupakan sebuah pandangan yang mengubah sebuah hal negatif menjadi hal yang positif. Keunikan tersebut adalah pandangan rakyat Tana Toraja terhadap kematian. Saat seseorang yang kita kasihi meninggalkan kita, tentu kita akan merasa sedih. Kita sendiri, bersama orang lain, akan berduka atas meninggalnya orang tersebut. Namun di Tana Toraja, kematian dipandang sebagai sebuah kejadian yang layak diraya dengan jiwa yang positif.
Biasanya jika ada yang meninggal, jenazah dikubur dalam waktu yang singkat, yang didampingi oleh ibadah, dengan hati yang berduka. Tetapi orang Toraja memiliki ritual yang berbeda. Ada banyak keluarga yang masih menyimpan jenazah anggota keluarga mereka di rumah mereka dalam waktu yang lama setelah meninggalnya orang tersebut. Bahkan penyimpanan mayat ini bisa mencapai beberapa tahun lamanya. Orang Toraja akan menjaga dan mengurus mayat tersebut dengan cara memberinya pakaian, menaruhnya di kamarnya tersendiri, bahkan menghidangkan makanan dan minuman. Mayat dianggap dan diperlakukan seperti orang yang masih hidup Untuk mencegah mayat agar tidak membusuk, mayat disuntik dengan formalin, sebuah jenis pengawet. Menurut beberapa warga disana, jika mayat dikubur secara langsung, mereka akan merasa lebih sedih. Mereka melakukan tradisi ini untuk menyesuaikan diri dengan perpisahan dengan orang yang telah meninggal.
Tidak hanya menyimpan mayat, ritual pemakaman juga dikenal dari Tana Toraja. Kebanyakan pemakaman memiliki suasana yang sedih, namun di Toraja, pemakaman menjadi sesuatu yang dirayakan oleh banyak orang dengan suasana yang lebih bahagia dan positif. Pemakaman juga menjadi kesempatan dimana anggota keluarga atau warga yang tinggal sangat jauh bisa datang dan bertemu dengan orang lain. Sebuah perayaan pemakaman bisa mengambil waktu beberapa hari hingga beberapa tahun, tidak hanya satu hari secara langsung. Awalnya, mayat dibawa dengan sebuah peti mati dengan bentuk yang tradisional dan memiliki motif khas Toraja. Peti mati tersebut bisa disimpan dalam sebuah Tongkonan - rumah tradisional Toraja - untuk beberapa hari sebelum dikubur. Tongkonan menjadi sesuatu yang sering bermunculan dalam proses pemakaman ini. Di keliling Tongkonan terdapat beberapa jenis hewan, terutama kerbau dan babi. Babi seringkali akan menjadi makanan bagi tamu acara pemakaman tersebut. Kerbau menjadi elemen yang sangat penting dalam budaya Toraja, termasuk dalam sebuah pemakaman. Kerbau juga bisa melambangkan kekayaan dan tingkat kepentingan dari orang yang telah meninggal. Karena kerbau adalah hewan yang sangat mahal, jika ada banyak kerbau dalam sebuah pemakaman, bahwa dapat dikatakan bahwa orang yang meninggal tersebut adalah orang yang kaya atau orang yang sangat penting.
Walaupun perayaan untuk sebuah pemakaman adalah hal yang sangat penting bagi orang Toraja, perayaan tersebut mengambil banyak biaya. Beberapa keluarga bahkan harus menabung bertahun-tahun hanya untuk mengadakan sebuah pemakaman. Ini tidak hanya terjadi kepada orang-orang yang mengadakan pemakaman tersebut, tetapi bisa terjadi kepada tamu - keluarga atau teman - yang mendonasikan seekor hewan untuk acara yang dikunjunginya. Rupanya, sebuah donasi atau hadiah harus dibalas dengan sesuatu yang lebih baik atau lebih besar lagi. Jika tidak mampu, maka akan ada beban kepada generasi yang mendatang.
Jadi kematian di Tana Toraja tidak dipandang sebagai sesuatu yang sedih, tetapi sesuatu yang pantas dirayakan dengan baik dan memerlukan banyak pengorbanan, biaya, dan sumber daya dengan jumlah yang tidak sedikit.
#OSKMITB2018
Sumber:
https://www.nationalgeographic.com/magazine/2016/04/death-dying-grief-funeral-ceremony-corpse/
https://www.remotelands.com/travelogues/torajaland-bringing-the-world-of-the-dead-to-life/
https://guardian.ng/life/tana-toraja-the-land-where-the-dead-are-fed-and-clothed/