Tana Towa Kajang Ammatoa – Bulukumba
Tana Toa adalah nama perkampungan di Kajang yang dipercayai sebagai awal mula timbulnya sebuah negeri. Desa Tana Toa merupakan salah satu desa di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukkumba, yang merupakan tempat tinggal orang-orang kajang yang masih bersifat tradisional, mereka pantang larut dalam perkembangan teknologi, listrik, kendaraan, jalan aspal, dan semua yang berbau modern tak boleh masuk ke dalam kawasan itu.
Dalam kawasan Tana Toa tak ada warga yang hidup melarat, mereka menempati rumah panggung dengan mengambil bahan dari alam yang ada diluar kawasan itu. Seperti kayu, bambu, dan daun rumbia yang dijadikan atap rumah. Pekerjaan yang mereka tekuni rata-rata bekerja sebagai petani, dan peternak dan hasil dari pekerjaan mereka itu untuk menghidupi kehidupan mereka sehari-hari.
Memasuki kawasan adat Tana Toa, anda akan berjalan diatas bebatuan yang tidak tersusun secara rapih, anda akan melihat pepohonan yang rindang yang membuat suasana terasa sejuk. Banyak warga yang berlalu lalang membawa hasil dari pertanian mereka menggunakan keranjang ataupun menggunakan kuda. Masyarakat dikawasan adat Tana Toa berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan menggunakan pakaian serba hitam mulai dari sarung, baju, hingga penutup kepala (passapu).
Pakaian serba hitam itu dipakai oleh masyarakat Tana Toa dari dulu hingga sekarang tak lepas dari Pasang ri Kajang. Dalam pakaian hitam yang di pakai oleh masyarakat Kajang ada pakaian putih yang mencampurinya, yakni celana pendeknya berwarna putih, namun celana pendek tersebut tidak terlihat karena tertutupi oleh sarung. Makna hitam dan putih dalam masyarakat Tana Toa bermakna pergantian hari yakni hitam adalah malam dan putih adalah siang yang sudah diatur oleh Tu Riye Akrakna (Allah SWT). Makna dari hitam dan putih itu juga melambangkan biji mata manusia. Mata terdiri dari dua warna yakni bola mata berwarna putih dan korneanya berwarna hitam. Mata dipakai untuk melihat keindahan dunia sebagai ciptaan Allah.
Tak pakai alas kaki juga adalah adat orang Kajang. Saat mereka barjalan mereka tidak menggunakan alas kaki baik itu sendal maupun sepatu. Itu dimaksudkan agar masyarakat Kajang walaupun berjalan harus tetap menyentuh tanah. Makna jalan kaki tanpa alas kaki bukan hanya bermakna filosofi dalam kehidupan, bahwa manusia berasal dari tanah tetapi juga bermakna bagi kesehatan. Tidak pakai alas kaki bukan berarti masyarakat Kajang tidak menjaga kebersihan dirinya. Saat mereka hendak memasuki rumah mereka terlebih dahulu mencuci kaki. Pas didepan tangga naik rumahnya ada gentong yang berisikan air bersih itu digunakan untuk mencuci kaki sebelum memasuki rumah,. Itu merupakan adat atau kebiasaan mereka.
Bentuk bangunan rumah masyarakat Tana Toa Kajang umumnya sama dengan rumah adat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan. Rumah panggung kayu merupakan bentuk rumah masyarakat Tana Toa Kajang. Rumah masyarakat Kajang sengaja di bangun menghadap kearah barat atau menghadap kiblat yang dimaksudkan agar orang selalu mengingat kepada sang pencipta. Di dalam rumah panggu itu terdapat tiga tingkatan yang terdiri dari bagian bawah rumah (kolom rumah) yang biasa digunakan untuk tempat menenun kain khas suku Kajang, bagian tengah (untuk tempat tinggal pemilik rumah), dan bagian atas sekali (atap) yang digunakan sebagai lumbung pangan yang disebut pammakkang atau para. Menurut cerita dari Ammatoa anak gadis yang belum bisa menenun berarti belum bisa menikah. Sebaliknya jika anak gadis itu sudah pandai menenun berarti dia sudah siap untuk dinikahkan. Begitu juga dengan anak remaja laki-laki, mereka diajarkan untuk bercocok tanam, bertani, dan beternak agar mereka bisa membantu orang tuanya. Anak laki-laki yang malas tidak akan mendapatkan pendamping hidup wanita Kajang, sebab semua orang tua yang memiliki anak gadis menginginkan menantu laki-lakinya bisa bekerja dan member makan ke keluarganya dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Demikian juga bagian rumah dari depan hingga belakang tersusun dari tiga bagian ruangan. Bagian depan adalah bagian atau tempat untuk menerima tamu dan sedikit tempat untuk dapur di sudut rumah, bagian tengah untuk ruang keluarga, dan bagian belakang untuk tempat tidur bagi anak gadis. Jika diperhatikan secara keseluruhan rumah masyarakat Tana Toa Kajang berbentuk pergi empat. Tak terlepas dari unsur kejadian manusia yakni unsur tanah, air, api, dan udara.
Ada kaunikan di setiap rumah panggung masyarakat Tana Toa Kajang yakni dapur yang terletak di bagian sudut depan rumah dekat pintu masuk setelah menaiki tangga rumah. Kalo rumah adat suku Bugis Makassar biasanya dapur terletak di bagian belakang rumah. Makna dapur yang terletak di dekat ruang tamu, adalah bentuk transparansi, bahwa tuan rumah selalu siap menjamu tamunya dengan baik, kalau tamunya lapar mereka menyuguhkan tamunya makana dan minuman seadanya yang ada di dapur tanpa menutup-nutupi.
Ada hal menarik yang saya temukan di dalam kawasan adat Tana Toa Kajang, yakni kendaraan yang diparkir di depan gerbang masuk walaupun tidak ada yang menjaga, tetap aman tanpa ada tangan-tangan jahil yang berani mengambil kendaraan itu. Berbeda dengan keadaan perkotaan, barang yang hanya di tinggal sebentar bisa raib dengan sekejap mata.
Adanya sanksi bagi para pelaku kejahatan membuat tingkat kejahatan di kawasan adat Ammatoa sangat jarang ditemukan, sebab bagi pelaku akan di berikan sanksi yang sangat berat agar pelaku jera. Ammatoa menuturkan beberapa jenis hukuman yang bisa mengungkap pelaku kejahatan yang ada di negerinya. Kalau ada pelaku yang tertangkap maka akan diberi hukuman sesuai dengan berat, ringannya kejahatan yang dilakukannya.
Salah satu hukuman adat yang bisa dilakukan adalah jenis hukuman Tuno Panroli. Tuno Panroli yang dimaksud adalah membakar linggis sampai medidih, kemudian masyarakat yang dicurigai melakukan kejahatan di undang, lalu semua undangan dipersilahkan memegang linggis yang sudah mendidih tersebut. Jikalau orang tersebut bukan yang melakukan kejahatan, maka tangan orang itu tidak akan merasakan panasnya linggis yang mendidih. Sebaliknya jika orang tersebut yang merupakan pelaku utama kejahatan, maka tangan orang itu akan langsung lengket ke linggis itu dan merasakan panasnya linggis yang mendidih sampai dia mengakui kejahatannya.
Pasang ri Kajang merupakan peraturan yang diturunkan secara turun temurun oleh para leluhur untuk masyarakat Tana Toa Kajang. Peraturan itu ada sejak pemerintahan Bohe Mula Tau. Pasang ri Kajang hingga kini masih di patuhi dan dijaga dari generasi ke generasi. Pasang inilah yang merupakan pandangan hidup masyarakat Tana Toa dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Kehidupan masyarakat Tana Toa Kajang dari dulu hingga sekarang masih hidup secara tradisional, Mereka masih kokoh memegang nilai-nilai tradisional yang mereka anut. Masyarakat Ammatoa sangat mudah dikenali karena memiliki ciri khas yang berbeda dengan mayarakat lainnya, mereka menggunakan pakaian serba hitam, dan masih menggunakan peralatan pertanian serba tradisional.
Memegang teguh Pasang atau pesan/amanat/perintah/aturan , itulah prinsip utama bagi masyarakat Tana Toa. Salah satu Pasang menyebutkan bahwa “jangan merusak hutan sebab kalau hutan sudah rusak maka rusak pulalah kehidupan manusia”. Itulah sebabnya masyarakat Tana Toa Kajang melarang alat teknologi masuk kenegerinya, karena alat teknologi itu akan mempercepat perusakan hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. Dalam kehidupan masyarakat Tana Toa, menjauhkan pepohonan dari kehidupan, adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan Pasang ri Kajang. Makanya pohon atau hutan di dalam kawasan adat tidak dapat ditebang secara sembarangan. ( Dhede )
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja