Alat Musik
Alat Musik
Alat Musik Tradisional Jawa Barat Bandung, Tasikmalaya
Karinding "Si Kecil" Yang Kaya Makna
- 17 Agustus 2018
 
Karinding adalah salah satu alat musik tradisional  asli Jawa barat yang terbuat dari bambu.  Walaupun sampai saat ini tidak diketahu pasti asal daerahnya ,  namun karinding cukup berkembang di beberapa daerah di jawa Barat  seperti  di Suku Banduy, Bandung, Banten, Malangbong (Garut), Sumedang,Citamiang, pasir Mukti ( Tasikmalaya)  ,  Cikalong kulon (Cinajur) dan Bogor dengan cirikhas suara masing-masing.  Namun Berapa sumber mengatakan bahwa  daerah lain di Indonesia memiliki alat musik sejenis karinding dengan nama yang berbeda.
Karinding Dulu dan Sekarang
Konon katanya  Karinding sebenarnya telah ada sejak zaman Kerajaan Galunggung. Dari berbagai sumber, keberadaan karinding dipercaya tertulis dalam naskah Amanat Galunggung. Dalam naskah tersebut ditafsirkan kutipan yang menceritakan bahwa  ada suatu alat yang menyerupai karinding tertulis di sana, melalui gambaran Hikayat Amarta Galunggung.  Diceritakan ada seorang pemuda   yang  sedang dalam keadaan putus asa. Pemuda itu menghibur dirinya di sekitar  gunung dengan memainkan alat yang menyerupai karinding. 
 Dulu, karinding dimainkan  sambil menunggu sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit. Suaranya saling bersautan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Karinding juga  dapat  berfungsi mengusir hama, karena  suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan pendengaran  hama tertentu  sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Uara yang dihasilkan biasanya menyerupai suara werwng, belalang, jangkrik, burung dan lain-lain
Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding juga popoler sebagai alat musik pergaulan. Dahulu, jika sang jejaka bertandang ke rumah sang gadis, ia akan mendemonstrasikan permainan karinding untuk memikat sang gadis. Dalam hal percintaan, karinding juga  berkembang dengan kisah-kisah romantis—dan juga tragis—di belakangnya.  
Karinding memiliki cerita lain di masa perjuangan  Belanda dan Jepang.  Cerita ini dituturkan langsung oleh abah berdasarkan pengalaman kakek buyutnya. Orang tua abah menceritakan bahwa di masa penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat termasuk kakek beliau menjadikan karinding sebagai alat komunikasi terutama saat bersembunyi di hutan. Saat itu mereka memiliki kesepakatan bunyi yang dihasilkan dari karinding, seperti morse yang biasa digunakan oleh pramuka. Suara khas yang dihasilkan karinding dapat menyerupai suara binatang yang biasa berada di hutan misalnya tonggeret, atau suara alam seperti angin. Mereka akan membunyikannya secara bersautan. Sungguh suatu   keunikan atau kehebatan para leluhur dalam mengfugsikan karinding sebagai alat komunikasi.  Suara karinding saat itu bahkan  bisa terdengar lebih dari 1 km.   Proses pembuatannyapun berbeda  melalui proses panjang dengan berbagai ritual.   Bahan yang digunakan saat itu adalah pelepah  kawung (pohon aren) bukan bambu seperti sekarang.  Abah  dulu membutuhkan waktu 2 tahun untuk membuat karinding hingga benar-benar menemukan cara menghasilkan karinding dengan suara yang sempurna.  Sekarang karinding lebih difungsikan sebagai alat musik tradisonal.  Diberbagai kesempatan karinding sering dikolaborasikan dengan alat musik modern.
 
Bagian Karinding
Karinding berukuran kurang lebih 15-20cm ini memiliki tiga bagian yaitu,  bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet kucing dalam Bahasa Sunda), pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul (pemukul). Proses keluarnya suara adalah dengan cara ruas bagian tengah  karinding ditempelkan  di ujung bibir, sementara  bagian ujung atau panenggeul dipukul atau ditoel dengn satu jari. Saat itu  bagian jarum akan bergetar dan menghasilkan bunyi yang khas dari karinding. Suara yang dikeluarkan tergantung dari rongga mulut, nafas dan lidah.Terlihat mudah dan simple namun membutuhkan ketrampilan yang harus dipelajari dengan sunguh-sungguh dan penuh kesabaran.  Terkait kesungguhan, kesabaran  ada filisosi yang menarik yang perlu diketahui dari karinding ini.
 
Filosofi dari Karinding
Karinding bukan saja sebuah alat musik namun memiliki filosofi yang merupakan kearifan local, warisan leluhur suku sunda . Seperti telah dijelaskan diatas bahwa Karinding yang memiliki 3 bagian yaitu cecet kucing, pembatas jarum dan panenggeul.  Namun ada filosofi yang menjadi bagian dari karinding. Yaitu bagian panenggeul (pemukul)  terkandung makna sadar, bagian pembatas jarum (bandul  tengah)bermakna sabar dan cecet kucing (pemegang) bermakna   yakin. Jadi  sadar, sabar, dan yakin adalah filosofi yang terkandung dalam karinding. Secara  umum panenggeul (pemukul)  disimbolkan dengan  Sadar .Mengingatkan bahwa   saat memukul karindig harus dimulai dengan kesadaran, yang dalam kehidupan diartikan bahwa memulai sesuatu harus dengan kesadaran.  Dilanjutkan dengan bagian tengah pembatas jarum (bandul tengah)  memiliki makna sabar. Lakukan sesuatu dengan sabar tidak grasa-grusu  atau terburu-buru tanpa perhitungan. Hingga berakhir di cecet kucing (pemegang) yang bermakna yakin. Yakin adalah sebagai pegangan dalam kehidupan.  Keyakinan akan  harus terus kita pegang agar tidak terlepas dai tujuan awal kita.  Bila digabungkan ketiga maknanya adalah, hidup harus dimulai dengan kesadaran, jalankan dengan kesabaran hingga yakin akan berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan. Keyainan tanpa dibarengi kesadaran tidak akan menjadi sesuatu yang berarti. Tanpa kesabaran apa yang kita kerjakan  mungkin saja gagal.  Begitu juga dengan keyakinan harus dibarengi dengan kesadaran Intinya menjalankan suatu tidak boleh lepas  dari rasa sadar. Terlihat sadar, sabar dan yakin adalah tiga hal yang saling berkaitan.  
Dalam bermain karinding diperlukan rasa.  Rasa yang datangnya dari hati. Rasa yang dikeluarkan dngan kesadaran  maka akan  menghasilkan suara yang  indah. Memaninkan  karinding mengutamankan rasa.  Karena karinding adalah  suasana hati atau rasa. 
Filosofi  lain dari karinding adalah keyakinan. Karinding  secara keseluruhan membentuk  huruf alif dengan kujang bagian pemegang. Mengandung makna, kita harus pegang keyakinana  pada yang satu yaitu Allah SWT.  Selain itu juga bermakna  keseimbangan antara  kita dan alam ciptaan Allah swt. Bambu terbuat  dari alam, bemakna   kita harus bisa merasakan alam, bersatu dengan alam.  Bila kita sudah menyatu maka akan  satu arah, saluyu sahate
 
Seperti yang diceritakan oleh Abah Edan kepada penulis, di Bandung 12 Agustus 2018
 
Sumber : 
Abah Edan  “ Mestro”  Karinding asal Bandung. Ditemui di tempat tinggalnya Jalan Kampung  Cipicung RT 04 Babakan Jawa  Cigending Ujung Berung.   Abah Edan merupakan cicit dari pengrajin Karinding yang hidup di jaman penjajahan Belanda dan Jepang.  Bakat yang dimiliki dari garis keturunan  kakek buyutnya ,  membuatnya menekuni alat musik karinding ini.   Berbekal  pengetahuan yang didapatkan dari berbagai daerah di Jawa Barat, dan kecintaanya kepada alat musik karinding membuatnya terus mengembangkan dan menjaga kelestarian  alat musik tradisonal ini dengan melakukan berbagai sosialisai, pertunjukan hingga memproduksi  sendiri karinding .  Saat ini Abah telah mendirikan  komunitas yang bernama Pangraut, yang telah memiliki angota yang cukup banyak.
 
#OSKMITB2018

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline