Karinding adalah salah satu alat musik tradisional asli Jawa barat yang terbuat dari bambu. Walaupun sampai saat ini tidak diketahu pasti asal daerahnya , namun karinding cukup berkembang di beberapa daerah di jawa Barat seperti di Suku Banduy, Bandung, Banten, Malangbong (Garut), Sumedang,Citamiang, pasir Mukti ( Tasikmalaya) , Cikalong kulon (Cinajur) dan Bogor dengan cirikhas suara masing-masing. Namun Berapa sumber mengatakan bahwa daerah lain di Indonesia memiliki alat musik sejenis karinding dengan nama yang berbeda.
Karinding Dulu dan Sekarang
Konon katanya Karinding sebenarnya telah ada sejak zaman Kerajaan Galunggung. Dari berbagai sumber, keberadaan karinding dipercaya tertulis dalam naskah Amanat Galunggung. Dalam naskah tersebut ditafsirkan kutipan yang menceritakan bahwa ada suatu alat yang menyerupai karinding tertulis di sana, melalui gambaran Hikayat Amarta Galunggung. Diceritakan ada seorang pemuda yang sedang dalam keadaan putus asa. Pemuda itu menghibur dirinya di sekitar gunung dengan memainkan alat yang menyerupai karinding.
Dulu, karinding dimainkan sambil menunggu sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit. Suaranya saling bersautan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Karinding juga dapat berfungsi mengusir hama, karena suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan pendengaran hama tertentu sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Uara yang dihasilkan biasanya menyerupai suara werwng, belalang, jangkrik, burung dan lain-lain
Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding juga popoler sebagai alat musik pergaulan. Dahulu, jika sang jejaka bertandang ke rumah sang gadis, ia akan mendemonstrasikan permainan karinding untuk memikat sang gadis. Dalam hal percintaan, karinding juga berkembang dengan kisah-kisah romantis—dan juga tragis—di belakangnya.
Karinding memiliki cerita lain di masa perjuangan Belanda dan Jepang. Cerita ini dituturkan langsung oleh abah berdasarkan pengalaman kakek buyutnya. Orang tua abah menceritakan bahwa di masa penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat termasuk kakek beliau menjadikan karinding sebagai alat komunikasi terutama saat bersembunyi di hutan. Saat itu mereka memiliki kesepakatan bunyi yang dihasilkan dari karinding, seperti morse yang biasa digunakan oleh pramuka. Suara khas yang dihasilkan karinding dapat menyerupai suara binatang yang biasa berada di hutan misalnya tonggeret, atau suara alam seperti angin. Mereka akan membunyikannya secara bersautan. Sungguh suatu keunikan atau kehebatan para leluhur dalam mengfugsikan karinding sebagai alat komunikasi. Suara karinding saat itu bahkan bisa terdengar lebih dari 1 km. Proses pembuatannyapun berbeda melalui proses panjang dengan berbagai ritual. Bahan yang digunakan saat itu adalah pelepah kawung (pohon aren) bukan bambu seperti sekarang. Abah dulu membutuhkan waktu 2 tahun untuk membuat karinding hingga benar-benar menemukan cara menghasilkan karinding dengan suara yang sempurna. Sekarang karinding lebih difungsikan sebagai alat musik tradisonal. Diberbagai kesempatan karinding sering dikolaborasikan dengan alat musik modern.
Bagian Karinding
Karinding berukuran kurang lebih 15-20cm ini memiliki tiga bagian yaitu, bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet kucing dalam Bahasa Sunda), pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul (pemukul). Proses keluarnya suara adalah dengan cara ruas bagian tengah karinding ditempelkan di ujung bibir, sementara bagian ujung atau panenggeul dipukul atau ditoel dengn satu jari. Saat itu bagian jarum akan bergetar dan menghasilkan bunyi yang khas dari karinding. Suara yang dikeluarkan tergantung dari rongga mulut, nafas dan lidah.Terlihat mudah dan simple namun membutuhkan ketrampilan yang harus dipelajari dengan sunguh-sungguh dan penuh kesabaran. Terkait kesungguhan, kesabaran ada filisosi yang menarik yang perlu diketahui dari karinding ini.
Filosofi dari Karinding
Karinding bukan saja sebuah alat musik namun memiliki filosofi yang merupakan kearifan local, warisan leluhur suku sunda . Seperti telah dijelaskan diatas bahwa Karinding yang memiliki 3 bagian yaitu cecet kucing, pembatas jarum dan panenggeul. Namun ada filosofi yang menjadi bagian dari karinding. Yaitu bagian panenggeul (pemukul) terkandung makna sadar, bagian pembatas jarum (bandul tengah)bermakna sabar dan cecet kucing (pemegang) bermakna yakin. Jadi sadar, sabar, dan yakin adalah filosofi yang terkandung dalam karinding. Secara umum panenggeul (pemukul) disimbolkan dengan Sadar .Mengingatkan bahwa saat memukul karindig harus dimulai dengan kesadaran, yang dalam kehidupan diartikan bahwa memulai sesuatu harus dengan kesadaran. Dilanjutkan dengan bagian tengah pembatas jarum (bandul tengah) memiliki makna sabar. Lakukan sesuatu dengan sabar tidak grasa-grusu atau terburu-buru tanpa perhitungan. Hingga berakhir di cecet kucing (pemegang) yang bermakna yakin. Yakin adalah sebagai pegangan dalam kehidupan. Keyakinan akan harus terus kita pegang agar tidak terlepas dai tujuan awal kita. Bila digabungkan ketiga maknanya adalah, hidup harus dimulai dengan kesadaran, jalankan dengan kesabaran hingga yakin akan berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan. Keyainan tanpa dibarengi kesadaran tidak akan menjadi sesuatu yang berarti. Tanpa kesabaran apa yang kita kerjakan mungkin saja gagal. Begitu juga dengan keyakinan harus dibarengi dengan kesadaran Intinya menjalankan suatu tidak boleh lepas dari rasa sadar. Terlihat sadar, sabar dan yakin adalah tiga hal yang saling berkaitan.
Dalam bermain karinding diperlukan rasa. Rasa yang datangnya dari hati. Rasa yang dikeluarkan dngan kesadaran maka akan menghasilkan suara yang indah. Memaninkan karinding mengutamankan rasa. Karena karinding adalah suasana hati atau rasa.
Filosofi lain dari karinding adalah keyakinan. Karinding secara keseluruhan membentuk huruf alif dengan kujang bagian pemegang. Mengandung makna, kita harus pegang keyakinana pada yang satu yaitu Allah SWT. Selain itu juga bermakna keseimbangan antara kita dan alam ciptaan Allah swt. Bambu terbuat dari alam, bemakna kita harus bisa merasakan alam, bersatu dengan alam. Bila kita sudah menyatu maka akan satu arah, saluyu sahate
Seperti yang diceritakan oleh Abah Edan kepada penulis, di Bandung 12 Agustus 2018
Sumber :
Abah Edan “ Mestro” Karinding asal Bandung. Ditemui di tempat tinggalnya Jalan Kampung Cipicung RT 04 Babakan Jawa Cigending Ujung Berung. Abah Edan merupakan cicit dari pengrajin Karinding yang hidup di jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Bakat yang dimiliki dari garis keturunan kakek buyutnya , membuatnya menekuni alat musik karinding ini. Berbekal pengetahuan yang didapatkan dari berbagai daerah di Jawa Barat, dan kecintaanya kepada alat musik karinding membuatnya terus mengembangkan dan menjaga kelestarian alat musik tradisonal ini dengan melakukan berbagai sosialisai, pertunjukan hingga memproduksi sendiri karinding . Saat ini Abah telah mendirikan komunitas yang bernama Pangraut, yang telah memiliki angota yang cukup banyak.
#OSKMITB2018