Di lingkungan masyarakat Indonesia yang masih kental dengan nilai-nilai kehidupan agraris, seni pertunjukannya memiliki beragam fungsi yang bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup yang dianggap penting seperti kelahiran, potong gigi, potong rambut, pernikahan, kematian, dan berbagai kegiatan yang dianggap penting seperti menanam atau memanen padi.
Sama halnya dengan seni pertunjukan pada umumnya, karinding mempunyai beragam fungsi di berbagai daerah di Jawa Barat, di antaranya sebagai instrumen yang dimainkan pada waktu luang, pengusir hama, alat musik pergaulan, bahkan menjadi instrumen utama dalam sebuah kelompok musik.
Tahun 2008 menjadi titik tolak hidupnya kembali karinding karena pada tahun yang sama para seniman karinding mulai agresif dalam mengeksplorasi instrumen karinding menjadi sebuah kemasan pertunjukan baru. Lingkungan komunitas musik indie khususnya ranah musik metal Kota Bandung yang terbuka dalam menerima sebuah kebudayaan baru menjadi akses bagi karinding dan penyebarannya ke beberapa daerah di luar Kota Bandung.
Informasi tentang karinding yang notabene merupakan alat musik langka dan pernah dikabarkan hilang beberapa ratus tahun yang lalu menjadi suatu nilai eksotis tersendiri bagi komunitas tersebut dan masyarakat penikmat karinding sekarang. Ketertarikannya itu akhirnya mereka realisasikan dengan membuat kelompok musik karinding yang bernama “Karinding Attack”. Bersama beberapa rekan seniman lainnya Man Jasad (founder) mencoba mengembangkan musik karinding yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Kemasan pertunjukan, komposisi, style (fashion) yang dikemas sedemikian rupa agar lebih dapat diterima oleh anak muda zaman sekarang.
Beragam bentuk karinding dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti Ciramagirang, Cineam, Parakan Muncang, dan Kota Bandung.
1. Karinding di Ciramagirang
Menurut Hendrik (2009: 51) penduduk Ciramagirang percaya bahwa asal-usul karinding di Ciramagirang dimulai ketika Embah Congkrang Buana (CB) dan Embah Kair Panawungan (KP) mengadakan adu tanding ayam (ngadu hayam) yang diiringi oleh karinding dan celempung.
Masyarakat ini percaya bahwa instrumen karinding mulai ada sekitar tahun 1908, tepatnya pada hari Jumat tanggal 7 bulan 7 tahun 1908. Penamaan karinding berasal dari orang yang pertama kali membuat dan memainkan karinding. Orang tersebut bernama Kari yang pekerjaan sehari- harinya ngangon munding (menggembala kerbau). Karena setiap ngangon munding Kari selalu memainkan instrumen tersebut, maka masyarakat sekitar menamakannya karinding yang berasal dari kata Kari- ngangon munding, akhirnya menjadi kirata karinding.
Karinding Ciramagirang terbuat dari pelepah kawung yang berukuran 15 cm s/d 20 cm, dengan lebar 1 s/d 2 cm. Memiliki empat bagian yaitu paneunggeul (bagian yang dipukul), dua buntut lisa (bagian yang bergetar), pembatas lidah getar (bandul tengah), dan panyekel (bagian ujung karinding). Pohon kawung saeran (enau) dianggap bahan paling baik karena suara yang diproduksi akan nyaring juga mempunyai daya tahan yang kuat.
2. Karinding Sekar Komara Sunda Tasikmalaya
Hampir semua keberadaan karinding yang berkembang di masing- masing daerah di Jawa Barat selalu didampingi oleh cerita rakyat. Kisah Kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya menjadi salah satu sumber lisan yang tetap dipegang oleh tokoh kesenian karinding di Tasikmalaya. Karinding merupakan instrumen yang diciptakan sebagai simbol perlawanan terhadap tradisi pingit (gadis yang sudah beranjak dewasa tidak boleh pergi ke mana saja jika tidak ditemani oleh orang tua atau saudaranya) di Tasikmalaya dan tatar Sunda umumnya.
Tokoh yang tanpa lelah melestarikan karinding di Cineam, Tasikmalaya adalah Oyon Naroharjo. Ia mulai mengenal karinding dari sang ayah sejak masih kecil. Bersama kawan-kawannya semasa sekolah sekitar tahun 1940an Bah Oyon mulai memainkan karinding sebagai alat permainan. Semakin seringnya Bah Oyon memainkan alat ini akhirnya minat akan instrumen ini semakin meningkat di Tahun 1955 dan sejak itu ia membuat sebuah grup yang bernama Sekar Komara Sunda. Bentuk awal karinding di Cineam hanya mempunyai satu lidah getar, namun karena kebutuhan pertunjukan, juga ditunjang oleh kurangnya faktor teknologi (belum adanya microphone) akhirnya Bah Oyon mengembangkannya dengan membuat karinding dengan dua buntut lisa (lidah getar) dengan tujuan meningkatkan volume suara instrumen karinding tersebut.
3. Karinding di Parakan Muncang Sumedang
Perjalanan karinding di wilayah lain juga menunjukkan perkembangan berarti. Salah satunya di Desa Parakan Muncang, Sumedang. Jejak instrumen karinding di Parakan Muncang dapat ditelusuri berkat adanya Entang Sumarna. Informasi di atas diperkuat oleh penuturan Bah Olot (putra Bah Entang) bahwa sejak dulu karinding dimainkan dalam upacara-upacara seperti panen hasil tani, khitanan, sukuran 40 hari anak yang baru lahir.
Menurut Bah Olot secara etimologis karinding berasal dari dua kata yakni ka yang berarti lanceuk (kaka), indung (ibu), atau yang awal (pertama) dan rinding yang dapat berarti suara atau seni. Jadi, karinding dapat diartikan suara yang pertama atau bahkan alat musik pertama di tatar Sunda atau Jawa Barat. Karinding ternyata memuat kearifan lokal yang dapat dijadikan tuntunan oleh kita sebagai manusia.
Bentuk karinding di Parakan Muncang yang terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu pancepengan, cecet ucing, dan paneunggeulan. Ketiga bagian karinding tersebut memuat nilai filosofis yang sarat akan makna dan nilai yang cukup tinggi
Sebagai pewaris karinding di Parakan Muncang, maka Bah Olot selalu melakukan upaya konservasi dengan melakukan workshop dan pameran di Jawa Barat dan sekitarnya. Atas upayanya tersebut eksistensi karinding di Cicalengka menjadi lembaran awal karinding menjadi sebuah kesenian populer.
4. Karinding Towel (Karto) dari Bandung
Keberadaan karinding di Kota Bandung sudah tidak bisa dianggap sebagai instrumen tradisional yang sederhana. Karinding telah reinkarnasi menjadi kesenian populer dalam sebuah komunitas (masyarakat) yang sarat akan pengaruh asing. Kepopuleran karinding ini ternyata membawa pengaruh positif terhadap perkembangan bentuk. Beragam bentuk sudah dapat ditemukan hari ini di Kota Bandung, dan salah satunya ialah: karinding towel (disingkat karto) yang ditemukan oleh Asep Nata.
Karto mempunyai bentuk yang lebih sederhana. tidak terdapat paneunggeul (bagian yang dipukul) karena karena karto dimainkan dengan cara ditoel. Bambu surat merupakan bahan utama dalam pembuatan karto, karena mudah didapat dan dibentuk. Beberapa inovasi lahir berkaitan dengan keterbatasan nada dalam karinding. Dari mulai single note karinding sampai dengan karinding yang dapat memainkan nada satu oktaf.
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.