Konon menurut cerita yang dimitoskan oleh masyarakat Yogyakarta Selatan, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menakjubkan. Yakni terjadinya sungai Gajah Wong pada zaman kerajaan Mataram yang diperintah oleh Raja Sultan Agung.
Kali Gajah Wong adalah sebuah kali yang terletak ditengah-tengah kota kecamatan Kotagede. Panjang kali ini tak lebih dari 20 kilometer.
Pada abad ketujuhbelas, kali ini merupakan kali yang kecil. Masyarakat di situ menyebutnya sebuah kalen, yang artinya kali kecil. Dan kebetulan airnyapun hanya gemercik mengalir sedikit sekali.
Pada suatu hari Sultan memanggil seorang Pawang Gajah.
“Pawang, cobalah kau mandikan gajah itu hingga bersih”.
“Oh…. hamba akan kerjakan kehendak Gusti Sultan,” jawab Pawang.
“Di kali sana, yang airnya bening sekali,” sabda Sultan lagi.
“Demi Sultan, akan segera kukerjakan perintah ini”.
Tetapi mana mungkin, kali ini sangat sedikit airnya. Tak dapat untuk memandikan gajah yang besar itu. Pawang termenung sejenak sebelum turun ke kali kecil itu. Tetapi apalah daya, tak mungkin Pawang ini menolak kehendak Gusti Sultan. Dan dia segera turun ke kali bersama gajahnya. Air kali itu hanya dapat membasahi kuku gajah dan tumit Pawang. Dengan segala cara Pawang tak berhasil memandikan gajahnya, karena air yang gemercik tak cukup untuk mengguyur seluruh tubuh gajah. Pawang mulai panik. Mulai risau. Takut akan mendapat amarah dari Sultan. Dia segera memutuskan untuk pulang, untuk menghadap Gusti Sultan. Dia berharap, kiranya Gusti Sultan tak akan marah.
“Ampun beribu ampun Gusti Sultan, hamba telah bardosa tidak dapat menunaikan perintah Gusti Sultan. Hukumlah hamba ini atas kesalahan hamba. Hamba tak dapat memandikan gajah dengan bersih. Karena air kali cuma sedikit sekali. Dan rasanya tidak mungkin hamba dapat memandikannya,” hatur Pawang dengan gemetar.
“Tidak, aku tidak akan menghukummu Pawang, sebelum kau mencoba dengan sebaik-baiknya. Cobalah sekali lagi kau bawa ke kali, gajah yang kau mandikan tadi. Kalau dengan sabar, aku yakin, pasti kau akan dapat melakukannya dengan baik. Pergilah sekarang juga.”
Tanpa membantah Pawang segera pergi ke kali dengan gajahnya. Melihat air kali yang semakin sedikit itu, Pawang semakin gelisah. Kemudian dia bersama gajahnya menuruni kali.
Dia memutar otaknya, bagaimana cara yang paling baik agar gajah dapat dimandikan.
“O, sungai membuatku celaka ! Airnya tak cukup untuk mengguyurku. Apalagi untuk memandikan gajah,” katanya sendirian sambil mengusap tubuh gajah dengan air itu.
“Hentikan saja airmu ini wahai kali, daripada engkau membuatku celaka. Keringlah kau air, daripada menambah sedihku. Habislah kau air !” kata Pawang dengan geram.
Tiba-tiba saja air kali kecil itu mendadak banjir. Banjir besar sampai melanda daerah sekeliling kali itu. Pawang tidak dapat menguasai diri. Air kali itu menghanyutkan Pawang dan gajahnya.
Pada akhirnya Gusti Sultanpun mendengar berita tentang Banjir itu. Gusti Sultan sangat terkejut mendengarnya. Dan untuk kenang-kenangan, kali itu disebut kali ‘Gajah Wong”, karena kali telah menghanyutkan gajah dan orang (Pawang).
Sampai kinipun di desa Wonokromo Kecamatan Pleret masih terdapat bukit kecil, yang letaknya di pinggir kali Gajah Wong, yang dimitoskan warga, bahwa bukit itu adalah makam seorang Pawang dan gajahnya.
Sumber: http://www.cerita-anak.com/asal-usul-kali-gajah-wong.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja