Kain karawo dibuat dengan teknik sulam. Mengutip situs resmi Pemerintah Gorontalo, kain karawo dikerjakan pada kain dengan menggunakan benang polos maupun warna-warni.
Proses pembuatan dengan cara mengiris dan mencabut benang dari serat kain yang sudah jadi. Lalu disulam dengan jarum dan aneka ragam benang sesuai motif yang diinginkan.
"Istilahnya cabut benang. Bisa juga dengan benang emas,"
Istimewanya pembuatan kain ini dilakukan secara manual, dengan menggunakan tangan. Tak heran jika dalam pembuatannya memakan waktu yang lama.
Selain waktu, pengerjaan kain karawo juga membutuhkan banyak tenaga. Paling tidak diperlukan tiga orang dengan tugas yang berbeda.
Orang pertama bertugas membuat pola. Caranya dengan menggambar di atas kertas grafik. Kemudian orang kedua bertugas sebagai pengiris atau pengurai benang pada kain yang akan dibuat sulaman karawo. Ini dilakukan sesuai pola yang diinginkan.
Sementara itu, orang ketiga bertugas sebagai penyulam kain yang sudah diurai benangnya. Jika pola yang diinginkan begitu rumit, pembuatannya bisa memakan waktu sebulan.
Saat ini di Gorontalo ada dua jenis karawo. Ada sulaman karawo biasa dan sulaman karawo ikat. Biasanya harga karawo ikat lebih mahal.
Sebenarnya sudah jarang masyarakat yang melakukan kegiatan sulam karawo di Gorontalo.
Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang pembuatannya merupakan hasil kerajinan tangan. Tak ada kain karawo yang bukan hasil kerajinan tangan. Karawo merupakan Bahasa Gorontalo yang artinya sulaman dengan tangan, Orang-orang di luar Gorontalo mengenalnya dengan sebutan Kerawang.
Karawo lahir dari proses panjang yang merupakan buah dari ketekunan para perajin. Seni membuat Kerawang atau Karawo disebut “Makarawo”. Seni ini telah diturunkan dari generasi ke generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo masih berjaya. Keindahan motif, keunikan cara pengerjaan, dan kualitas yang bagus membuat Kerawang atau Karawo bernilai sangat tinggi. Maka tak mengherankan jika keunikan dan kualitas tersebut diminati oleh banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Produksi Kain Kerawang atau Karawo sempat mati suri. Tak banyak perajin yang menekuni dunia ini karena kerumitan yang menyita banyak energi, waktu, dan ketekunan.
Tradisi mokarawo atau membuat sulaman adalah sepenggal sejarah yang pernah diselamatkan kaum perempuan Gorontalo. Dulu Belanda berupaya menghilangkan berbagai tradisi dan identitas lokal. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600-an, jauh sebelum Belanda berkuasa di wilayah ini tahun 1889.
Saat Belanda masuk ke wilayah ini ada dua peristiwa penting yang mewarnai sejarah Gorontalo. Pertama, banyaknya warga masuk dan menetap di hutan dan wilayah terpencil karena enggan membayar pajak kepada Pemerintah Belanda. Keturunan orang-orang ini hingga kini masih berdiam di hutan dan wilayah terpencil, yang oleh warga Gorontalo dikenal dengan sebutan Polahi.
Kedua, upaya penghapusan segala bentuk tradisi, adat, dan hal-hal terkait berkesenian atau kebudayaan yang ada pada masyarakat Gorontalo. Saat itu Belanda melihat kekuatan orang Gorontalo terletak pada adat, budaya, dan tradisi. Karena itu, dilaranglah berbagai aktivitas yang terkait dengan adat dan tradisi.
Hengkangnya Belanda tidak serta-merta membuat karawo keluar dari ”persembunyian”. Situasi saat itu dan trauma membuat tradisi mokarawo tetap dilakukan di dalam ruang tersembunyi. Karawo mulai kembali muncul sekitar akhir tahun 1960-an, tapi belum merupakan produk yang dijual secara bebas seperti barang lain. Saat itu jika ada yang berminat pada karawo, mereka akan datang langsung ke penyulam dan memesan. Karawo kerap dibayar menggunakan uang, kerap pula dibarter dengan barang kebutuhan lain.
Pernah diselamatkan dari ancaman kepunahan saat agresi Belanda dan mengalami masa jaya, kini karawo kembali berada di bawah bayang-bayang kepunahan. Penyebabnya adalah kurangnya generasi muda yang berminat memakai karawo sebagai pakaian, apalagi sebagai penyulam. Saat ini karawo umumnya dilakukan ibu rumah tangga yang menyebar di sejumlah wilayah di Gorontalo. Tercatat saat ini ada sekitar 10.000 ibu rumah tangga yang masih menekuni karawo,
Cara Pembuatan
Penyulaman Kain Karawo
Tahapan pengerjaan sulaman karawo terdiri atas tiga tahap, yaitu iris-cabut, menyulam, dan proses finishing. Dalam proses iris-cabut benang ini batas dan luas bidang yang akan dibentuk berdasarkan pola yang sudah ditentukan. Ketajaman dan kecermatan menghitung benang-benang yang akan diiris dan dicabut sangat menentukan kehalusan sulaman. Tahapan menyulam dilakukan dengan cara menelusurkan benang mengikuti arah jalur benang.
Selanjutnya tahapan finishing dengan cara melilit jalur-jalur benang dengan satu kali lilitan. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat jalur benang yang tidak disulam sehingga hasil akhir sulaman terlihat rapi dan kokoh. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk mengerjakan satu produk sulaman dengan motif besar.
Jenis Karawo
Ada dua jenis karawo yaitu karawo manila dan karawo ikat. Karawo manila dibuat dengan teknik mengisi benang sulam secara berulang sesuai dengan motif yang sudah ada. Adapun karawo ikat dilakukan dengan cara mengikat bagian-bagian bahan yang telah diiris dan dicabut serat benangnya mengikuti motif yang telah dibuat.
Kedua teknik ini sama-sama melalui tiga tahapan, yaitu iris-cabut, menyelam, dan proses finishing. Butuh waktu 10 hari bahkan sebulan untuk membuat satu produk sulaman dengan motif besar.
Sumber
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150511144024-277-52547/mengenal-karawo-kain-khas-gorontalo
https://id.wikipedia.org/wiki/Karawo
https://walidumar.wordpress.com/2016/08/17/inovasi-daerahku-gorontalo/
http://satugorontalo.blogspot.co.id/2015/07/mengenal-karawo-kain-khas-gorontalo.html