Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Bantul
KISAH SYEKH BELABELU YANG RENDAH HATI
- 18 Juli 2018
SYEKH BELABELU atau yang bernama asli JAKA BANDEMadalah seorang bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dari istana ke sebuah bukit di wilayah pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, karena tidak mau dipaksa memeluk agama Islam oleh penakluknya yakni kerajaan Islam Demak.
Dalam pelariannya, ia justru bertemu dengan seorang ulama bernamaSYEKH MAULANA MAGRIBI dan mulai tertarik belajar tentang Islam dan berguru kepadanya. Syekh Belabelu memiliki suatu kebiasaan buruk yang tidak disukai oleh gurunya, yaitu gemar makan nasi dengan jumlah yang banyak. Beberapa kali sang Guru mengingatkannya agar tidak makan nasi secara berlebihan, namun Syekh Belabelu tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya, sang Guru yang merasa ilmunya paling tinggi menantangnya untuk beradu kesaktian dan adu cepat sampai ke Mekah, Arab Saudi.
 


Alkisah, di daerah Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama Raja Hayam Wuruk yang bertahta di Kerajaan Majapahit, dengan gelar Maharaja Sri Rajasangara. Sang Raja mempunyai seorang putri yang lahir dari permaisurinya, bernama Kusumawardani. Ia juga mempunyai seorang putra yang lahir dari selirnya, bernama Wirabhumi. Ketika Raja Hayam Wuruk wafat (1389 M), kedudukannya digantikan oleh menantunya yang bernama Wikramawardhana (suami Kusumawardhani). Sementara itu Pangeran Wirabhumi diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa yang bernama daerah Blambangan, sehingga lahirlah Kerajaan Blambangan yang terletak di sebelah selatan Banyuwangi atau yang lebih dikenal Alas Purwo.

 
Pada mulanya, hubungan antara Wikramawardhana dengan Wirabhumi berjalan harmonis. Wirabhumi tetap mengakui kekuasaan pemerintahan pusat, Kerajaan Majapahit. Namun, ketika Prabu Sri Suhita menjadi raja menggantikan ayahnya Wikramawardhana, Raden Wirabhumi merasa tidak puas dengan penggantian tersebut. Sejak itulah, hubungan kedua kerajaan tersebut menjadi retak, sehingga mengakibatkan terjadinya perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401-1406 M).
 
Menurut cerita, Perang Paregreg tersebut menjadi salah satu penyebab kemunduran Kerajaan Majapahit, sebelum akhirnya runtuh setelah diserang oleh Raden Patah dan pasukannya dari Kerajaan Islam Demak, Jawa Tengah pada 1478 Masehi atau 1400 saka. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan masuknya pengaruh Islam, seluruh rakyat Majapahit yang beragama Hindu menjadi terdesak. Para kerabat dan keluarga Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam meninggalkan istana. Sebagian besar dari mereka menyeberang ke Pulau Bali, dan sebagian yang lain melarikan diri ke Pulau Kalimantan, serta ke pulau-pulau lainnya.
 
Salah seorang kerabat Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam adalah RADEN JAKA BANDEM, putra Prabu Brawijaya terkahir. Hanya saja, ia dan para pengikutnya tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Akhirnya, mereka berjalan menyusuri pantai selatan menuju ke arah barat.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di sebuah pantai yang bernama Parangtritis, yaitu sebuah pantai yang landai, berpasir putih, dan deburan ombaknya yang besar. Di sebelah utara pantai itu terdapat dua bukit kapur yang berdekatan, yaitu Bukit Pemancingan dan Bukit Sentana.
“Wahai, pengikutku! Pengembaraan ini kita akhiri sampai di sini. Saya kira tempat ini sangat bagus dan aman untuk tempat tinggal. Raden Patah dan para pengikutnya tidak akan mungkin menemukan kita di sini!” ujar Raden Jaka Bandem kepada pengikutnya.
Setelah memeriksa keadaan kedua bukit tersebut, akhirnya Raden Jaka Bandem bersama pengikutnya memilih Bukit Pemancingan untuk tempat tinggal. Di atas bukit itu, mereka mendirikan padepokan, dan Raden Jaka Bandem diangkat menjadi ketua padepokan. Mereka kemudian membuka lahan pertanian di sekitar bukit dan memperoleh hasil padi dan pangan lainnya yang melimpah. Keberhasilan Raden Jaka Bandem tersebut mengundang simpati penduduk sekitar yang sering lewat ketika sedang berburu atau hendak menangkap ikan di pesisir Pantai Selatan. Banyak di antara mereka yang datang ke padepokannya untuk belajar cara bercocok tanam yang baik. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tertarik ingin belajar baca tulis dan ilmu bela diri kepadanya. Raden Jaka Bandem pun menerima mereka sebagai murid dengan senang hati.
 
Selang beberapa tahun kemudian, datanglah seorang ulama bernama SYEKH MAULANA MAHGRIBI. Ia adalah utusan RADEN PATAH ATAU PANGERAN SENOPATI PANEMBAHAN JIN BUN yang diperintahkan untuk menyiarkan agama Islam di wilayah itu. Setelah menyaksikan keindahan alam Pantai Parangtritis dan mengetahui bahwa banyak orang yang tinggal di puncak Bukit Pemancingan, ia dan para pengikutnya memutuskan untuk menetap dan mendirikan pondok di atas Bukit Sentana. Setelah pembangunan pondok itu selesai, Syekh Maulana Maghribi mulai mengajak dan menarik sempati penduduk sekitar, terutama Raden Jaka Bandem sendiri yang akhirnya tertarik untuk datang belajar agama Islam di pondoknya, disamping itu juga Raden Jaka Bandem menyadari bahwa tidak mungkin lagi untuk menyingkir atau melarikan diri dan demi keselamatan semua pengikutnya, Raden Jaka Bandem merasa ia tidak bisa menolak dan menampik perubahan kekuasaan yang saat ini dikuasai oleh orang-orang Islam kerajaan Demak .
“Jika aku berhasil mengajak Raden Jaka Bandem masuk Islam, tentu para pengikut dan murid-muridnya akan mengikutinya,” pikir Syekh Maulana Maghribi.
Alhasil, Syekh Maulana Maghribi berhasil menarik simpati Raden Jaka Bandem dan mengangkatnya menjadi murid. Raden Jaka Bandem seorang murid yang cerdas dan tekun, sehingga ia dapat menguasai pelajaran yang didapatkan dari gurunya dengan cepat.
Setelah beberapa lama mendalami ajaran Islam, Raden Jaka Bandem memutuskan untuk masuk agama Islam. Dengan demikian, para pengikut dan murid-muridnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Syekh Maghribi Kemudian Mengganti Nama Raden Jaka Bandem Menjadi Syekh Belabelu dan memperkenankannya mengajarkan agama Islam di padepokannya. Syekh Belabelu pun merubah fungsi padepokannya menjadi pondok. Dalam waktu tak berapa lama, orang-orang pun berdatangan berguru kepadanya.
 
Di sela-sela kesibukannya mengajar di pondoknya, Syekh Belabelu mengisi waktunya dengan bertapa. Namun, cara bertapanya berbeda dari yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya. Ia bukannya menjauhkan diri dari kesenangan dunia dengan cara berpuasa, melainkan lebih mementingkan kepuasan dirinya, terutama pada masalah makan. Sebenarnya, kebiasaan tersebut sudah dilakoni sejak ia masih muda. Tak heran jika seluruh atap dan dinding pondoknya dipenuhi oleh kerak nasi. Semakin hari, ia pun bertambah gemuk.
 
Syekh Maulana Maghribi yang mengetahui hal itu masih memakluminya, karena Syekh Belabelu masih menjalankan kewajibannya, seperti shalat lima waktu. Namun, lama-kelamaan, ia merasa jengkel karena kebiasaan buruk muridnya itu semakin menjadi-jadi. Semakin hari porsi makannya semakin berlebihan. Suatu hari, sang Guru mendatangi pondoknya untuk menasehatinya.
  • “Hai, Belabelu! Hentikan kebiasaanmu makan berlebihan itu!” seru Syekh Maulana Maghribi dengan nada marah.
  • “Begitu pula cara bertapamu berbeda dengan cara yang pernah kuajarkan kepadamu!” tambah Sykeh Maulana Maghribi.
Syekh Belabelu menjawab bahwa setiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri bertapa untuk mencapai tujuannya. Rupanya, ia tetap ingin bertapa dengan caranya sendiri dan tidak mau meninggalkan kegemarannya makan nasi.
“Maaf, Tuan Guru! Aku akan tetap bertapa dengan caraku sendiri,” jawab Syekh Belabelu.
Mendengar jawaban itu, Syekh Maulana Maghribi bertambah jengkel dan menantang muridnya itu untuk saling adu kesaktian.
“Baiklah kalau begitu, Belabelu! Bagaimana kalau kita saling adu kesaktian untuk membuktikan siapakah di antara kita yang paling sakti?” tantang Syekh Maulana Maghribi.
Syekh Belabelu tidak bersedia menerima tantangan gurunya.
“Maaf, Tuan Guru! Jika bertanding hanya untuk mengetahui siapa di antar kita yang terkuat, saya kira tidak ada gunanya, Guru! Bukankah sudah ada yang terkuat, yaitu Allah SWT?” jawab Syekh Belabelu.
Syekh Maulana Maghribi tidak puas dengan jawaban itu. Akhirnya, ia kembali menantang muridnya itu dengan cara yang lain.
“Bagaimana kalau aku tantang kamu berlomba adu cepat?” ajak Syekh Maulana Maghribi.
Syekh Belabelu menerima tantangan itu. Kemudian guru dan murid itu pun bersepakat akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk mengikuti shalat Jum’at. Perlombaan itu baru akan dilaksanakan pada pekan keempat bulan depan, karena keduanya harus mengasah kekuatan mereka dengan cara bertapa selama satu bulan. Guru dan murid itu pun mulai bertapa dengan cara mereka masing-masing.
 
Syekh Maulana Maghribi bertapa dengan cara meninggalkan segala kesenangan dunia, tidak makan dan minum. Sementara Syekh Belabelu melaksanakan tapanya seperti biasanya, yaitu menanak nasi dan makan. Bahkan, ia masih terlihat sibuk menanak nasi hingga hari yang telah ditentukan telah tiba.
“Hai, Belabelu! Apakah engkau sudah lupa bahwa sekarang sudah hari Jum’at? Bukankah pagi ini kita akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk melaksanakan shalat Jum’at di sana?” tanya Syekh Maulana.
Syekh Belabelu hanya tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan nada santai.
“Saya tidak lupa ketentuan itu, Guru! Tapi saya harus menunggu sampai nasiku matang dan makan dulu. Jika Guru tidak keberatan, silahkan berangkat terlebih dahulu, saya akan segera menyusul, dan saya pasti terlebih dahulu tiba di sana!” ujar Syekh Belabelu sambil meneruskan menanak nasi.
Tanpa menghiraukan lagi perkataan sang Murid, Syekh Maulana Mahgribi pun berangkat ke Mekah dengan membawa bekal seperlunya. Ia merasa yakin bahwa dia pasti akan sampai terlebih dahulu di Mekah. Sementara Syekh Belabelu masih asyik menikmati nasinya yang sudah matang. Di wajahnya sama sekali tidak terlihat perasaan cemas atau khawatir akan dikalahkan oleh gurunya.
 
Sementara itu, Syekh Maulana Maghribi telah tiba di Mekah. Ia melihat sudah banyak orang yang datang ke MASJIDIL HARAM hendak menunaikan shalat Jum’at. Ia pun segera masuk ke dalam masjid. Alangkah terkejutnya ia ketika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat duduk, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada seorang jamaah yang sangat dikenalnya.
“Hai, bukankah itu Syekh Belabelu? Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini terlebih dahulu? Bukankah tadi dia masih sibuk memasak nasi ketika aku meninggalkannya?” gumam Syekh Maulana Maghribi dengan heran.
Syekh Belabelu yang melihat gurunya sedang berdiri di antara jamaah segera melambaikan tangan dan memberi isyarat agar sang Guru duduk di sampingnya. Dengan perasaan malu, Syekh Maulana Maghribi pun segera duduk di samping Syekh Belabelu.
  • “Hai, Belabelu! Bagaimana kamu bisa mendahuluiku tiba di sini?” bisik Syekh Maulana Maghribi.
  • “Maaf, Tuan Guru! Tuan Guru berangkat ke sini dengan kekuatan sendiri, sedangkan saya hanya dengan menyandarkan diri kepada kekuatan Allah SWT, karena kekuatan Allah SWT berada di atas segala-galanya,” jawab Syekh Belabelu sambil tersenyum.
Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi menyadari bahwa dirinya mempunyai batas kemampuan dan mengakui keunggulan Syekh Belabelu, meskipun dia adalah muridnya.
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/09/kisah-syekh-belabelu-yang-rendah-hati.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline