Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta
KISAH KI AGENG MANGIR WANABAYA KSATRIA MAJAPAHIT
- 19 Juli 2018
KI AGENG MANGIR WANABAYA
masih keturunan dari raja-raja Majapahit. KI AGENG MANGIR WANABAYA adalah cucu dari Prabu Brawijaya V. KI AGENG MANGIR WANABAYA adalah penguasa daerah Mangir (kini di Kabupaten Bantul, Yogyakarta). Menurut cerita, pangeran yang bernama asli RADEN WANABAYA ini tewas di tangan mertuanya sendiri. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Keraton Kotagede, Yogyakarta. Yang aneh, setengah jasadnya dimakamkan di dalam keraton dan setengah yang lainnya di luar keraton.
 


 

Setelah era Kerajaan Majapahit kemudian Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang berakhir, muncullah Kerajaan Islam Mataram di tanah Jawa yang menjadi penerus garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini dipimpin oleh Panembahan Senopati alias DANANG SUTAWIJAYA, putra Ki Ageng Pemanahan. Panembahan Senopati memiliki seorang putri yang cantik bernama SEKAR PEMBAYUN. Pemerintahan Panembahan Senopati dibantu oleh patihnya, KI JURU MARTANI, yang terkenal sangat cerdas mengatur strategi.
 
Panembahan Senopati berkeinginan menguasai seluruh wilayah Mataram. Sudah beberapa kali Panembahan Senopati berusaha menguasai seluruh wilayah Mataram, namun belum menemui hasil. Rupanya, ada beberapa penguasa wilayah yang belum mau tunduk pada kekuasaannya. Salah satunya adalah RADEN WANABAYA atau KI AGENG MANGIR WANABAYA yang masih merupakan keturunan dari PRABU BRAWIJAYA V Raja Majapahit.
 
Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah seorang penguasa di daerah Mangir. Mangir merupakan sebuah PERDIKAN (desa yang tidak berkewajiban membayar upeti atau pajak kepada Kerajaan Mataram). Desa ini terletak sekitar kurang lebih 30 km dari Mataram, tepatnya berada di dekat pertemuan Sungai Bedok dan Sungai Progo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ki Ageng Mangir Wanabaya merasa berhak untuk tidak tunduk kepada kekuasaan Mataram.
 
Panembahan Senopati menganggap bahwa Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai duri dalam daging yang harus ditaklukkan. Suatu hari, penguasa Mataram itu berunding dengan Ki Juru Martani untuk membuat rencana penyerangan ke Mangir. Namun, patih itu berpendapat lain.
  • “Ampun, Baginda. Bukannya hamba bermaksud merendahkan Baginda,” kata Ki Juru Martani, 
  • “Ki Ageng Mangir bukanlah lawan yang setara buat Baginda. Ia memiliki tombak Kyai Baru Klinthing yang sakti. Di samping itu, sebagai keturunan Majapahit, ia tentu memiliki pengaruh yang sangat kuat di Mangir.”
  • “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Panembahan Senopati.
Ki Juru Martani terdiam sejenak, berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia pun menawarkan sebuah siasat yang lebih halus, tapi licik.
  • “Ampun, Baginda. Untuk menghadapi Ki Ageng Mangir, kita harus menggunakan siasat,” kata Ki Juru Martani.
  • “Siasat apakah itu?” Panembahan Senopati penasaran.
  • “Kita harus menggunakan siasat apus karma atau tipu daya halus. Bukankah Ki Ageng Mangir sangat menggemari tarian ledhek (ronggeng). Jika Baginda berkenan, kita utus putri Baginda, Putri Pembayun, ke Mangir dengan menyamar sebagai penari,” usul Ki Juru Martani, 
  • “Bila terpikat pada kecantikan sang Putri, Ki Ageng Mangir tentu akan menikahinya. Dengan begitu, penguasa Mangir itu sudah pasti menjadi menantu Baginda dan niscaya dia akan menghadap dan menghormati Mataram.”
Panembahan Senopati tertegun. Ia paham bahwa siasat itu bisa mengancam keselamatan putrinya. Namun, demi menjaga kewibawaan Mataram, ia akhirnya setuju. Panembahan Senopati segera membujuk Sekar Pembayun. Sang Putri pun tak kuasa menolak perintah ayahandanya itu.
 
Sebelum berangkat ke Mangir, Panembahan Senopati membentuk kelompok musik ledhek yang terdiri dari para punggawa terkemuka Mataram. ADIPATI MARTALAYA ditunjuk sebagai dalang sekaligus pemimpin kelompok dengan nama samaran DALANG SANDIGUNA.  KI JAYASUPANTA ditunjuk sebagai penabuh gamelan dengan gelar KI SANDISASMITA, dan KI SURADIPA sebagai penabuh gendang. Sementara itu, SEKAR PEMBAYUN berperan menjadi penari sekaligus anak KI DALANG SANDIGUNA yang bernama WARANGGANA, ia dikawal oleh bupati wanita bernama NYAI ADIRASA.
 
Setelah tekun berlatih, grup kesenian ledhek itu pun berangkat ke Mangir dengan membawa peralatan berupa gamelan dan wayang. Selama dalam perjalanan, Sekar Pembayun bersama rombongannya selalu mengadakan pertunjukan di desa-desa yang dilewati hingga mereka pun menjadi terkenal.
 
Suatu hari, rombongan ledhek itu akhirnya tiba di Mangir. Kebetulan, di desa saat itu sedang diadakan acara merti dusun atau bersih desa, yaitu pesta rakyat untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah. Melihat kedantangan grup ledhek itu, Ki Ageng Mangir Wanabaya segera menyambutnya dengan sukacita. Ia kemudian meminta kepada Dalang Sandiguna untuk menggelar pertunjukan ledhek di halaman rumahnya.
 
Ki Ageng Mangir terlihat gembira menyaksikan tarian ledhek. Apalagi ketika melihat gerak tari Sekar Pembayun yang lemah lembut dan suaranya yang merdu. Selama ini, belum ada seorang wanita pun yang mampu memikat hatinya. Namun, ketika melihat kecantikan Sekar Pembayun, ia benar-benar terpesona. Ia pun berniat untuk meminangnya. Usai pertunjukan, penguasa Mangir itu pun menyampaikan niatnya Ki Dalang Sandiguna.
  • “Wahai, Ki Dalang. Siapakah gerangan wanita cantik itu?” tanya Ki Ageng Mangir.
  • “Dia putri hamba, Tuan. Namanya Waranggana,” aku Ki Dalang Sandiguna.
  • “Jika berkenan, izinkanlah aku meminang putri Ki Dalang,” pinang Ki Ageng Mangir.
Ki Dalang Sandiguna tidak perlu berpikir panjang untuk merestui pernikahan mereka. Sebab, memang itulah yang diharapkan. 
 
Akhirnya, Waranggana menikah dengan Ki Ageng Mangir. Sejak itulah, Waranggana menjadi bagian dari keluarga Mangir. Demikian pula sebaliknya, Ki Ageng Mangir telah menjadi bagian dari keluarga Mataram, tanpa disadari oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya sendiri. Sementara itu, Ki Dalang Sandiguna bersama rombongannya yang telah berhasil menyelesaikan tugasnya, akhirnya kembali ke Mataram.
 
Berbulan-bulan sudah Waranggana tinggal di Mangir. Kini, ia sedang hamil tua. Ia merasa bahagia hidup bersama Ki Ageng Mangir yang tampan dan perkasa itu. Putri Panembahan Senopati itu sangat mencintai suaminya. Meski demikian, tetap harus melaksanakan amanat ayahandanya, yaitu membawa penguasa Mangir itu ke Mataram.
 
Suatu malam, ketika Ki Ageng Mangir sedang terlelap, Waranggana mengusap tombak pusaka milik suaminya, tombak Kyai Baru Klinthing, dengan sampur sonder (ikat pinggang untuk menari ledhek). Setelah kesaktian tombak pusaka itu berkurang, ia pun membongkar jatidirinya di hadapan suaminya.
  • “Kanda, Dinda ingin mengatakan suatu hal kepada Kanda. Tapi, Dinda mohon Kanda mau berjanji tidak akan marah setelah mendengarnya,” pinta Waranggana.
  • “Ada apa, Dinda? Katakanlah,” kata Ki Ageng Mangir, 
  • “Kanda berjanji tidak akan marah.”
  • “Sebenarnya, nama Dinda bukan Waranggana, tapi Putri Sekar Pembayun. Dinda adalah putri Panembahan Senopati dari Mataram,” ungkap Putri Pembayun.
Alangkah terkejutnya Ki Agang Mangir mendengar pengakuan istrinya. Ia baru sadar ternyata istri yang amat dicintainya itu adalah putri musuh besarnya. Hati dan pikirannya menjadi tidak karuan. Apalagi ketika Putri Pembayun mengajaknya sowan (menghadap) ke Mataram untuk membuktikan darma baktinya sebagai menantu. Ki Ageng Mangir benar-benar berada di persimpangan jalan. Namun, ia menyadari bahwa semua itu sudah menjadi suratan takdir. Maka, ia pun menerima permintaan istrinya untuk sungkem kepada mertuanya di Mataram.
“Baiklah, Dinda. Demi cintaku pada Dinda dan demi hormatku kepada mertua, Kanda bersedia sowan ke Mataram,” jawab Ki Ageng Mangir.
Keesokan harinya, berangkatlah Ki Ageng Mangir bersama Putri Pembayun ke Mataram dengan disertai sejumlah kerabat dan pengawalnya. 
 
Sebagai seorang KSATRIA MAJAPAHIT yang memiliki harga diri, ia tak lupa membawa tombak pusakanya, Kyai Baru Klinthing. Rombongan Ki Ageng Mangir terus berjalan menuju Mataram yang berpusat di Kotagede. Dalam perjalanan, Ketika sampai di sebuah desa, Ki Ageng Mangir tiba-tiba mendapat bisikan dari tombak pusakanya.
“Kembalilah ke Mangir! Jika Tuan meneruskan perjalanan hingga ke Mataram, nyawa Tuan di pal (pasti) akan melayang,” demikian bisikan pusaka itu.
Bisikan itu rupanya tidak menyurutkan niat Ki Ageng Mangir untuk melanjutkan perjalanan ke utara, walaupun ia tahu bahwa tindakannya itu beresiko. Sebelum meninggalkan desa tersebut, ia menamakan daerah itu PALBAPANG, yaitu berasal dari kata pal atau ngepal.
 
Setelah berjalan beberapa lama, rombongan itu sampai lagi di suatu desa. Mereka berhenti untuk beristirahat. Ki Ageng Mangir tiba-tiba teringat pada pesan tombak pusakanya. Ia pun sadar bahwa Panembahan Senopati adalah musuhnya, tapi ia ngrumangsani (merasa) bahwa dirinya adalah menantu yang harus berbakti kepada mertua meskipun hatinya ngemban mentul (bimbang). Konon, tempat beristirahat Ki Ageng Mangir itu kemudian dinamakan BANTUL, yaitu diambil dari suasana hatinya yang ngemban mentul. Ia akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan.
 
Setiba di Mataram, Ki Ageng Mangir disambut oleh kerabat keraton dengan upacara penyambutan yang disebut ngunduh mantu. Rupanya, upacara itu sudah diatur untuk menjebak Ki Ageng Mangir. Di depan kraton terdapat sebuah bangsal tarub (teraktak) yang dijaga oleh Ki Juru Martani. Ketika Ki Ageng melewati tarub itu, patih itu menghentikannya.
“Maaf, Ki Ageng Mangir! Sungguhlah tidak sopan jika seorang menantu membawa senjata saat sungkem kepada mertuanya,” ujar Ki Juru Martani.
Sebagai menantu yang baik, Ki Ageng Mangir melepas semua senjata yang dibawanya, termasuk Kyai Baru Klinthing. Kemudian, ia bersama istrinya segera sungkem kepada Panembahan Senopati.
 
Sambutan Panembahan Senopati yang begitu ramah dan penuh kasih sayang membuat Ki Ageng Mangir sedikit terlena. Di hadapan mertuanya, ia duduk bersimpuh dan bersembah sebagai tanda penghormatan. Namun, tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Ketika kepala Ki Ageng Mangir hampir menyentuh lantai, Pangeran Senopati langsung meraih kepala menantunya itu dan langsung membenturkannya ke kursi singgasananya yang disebut WATU GILANG. Ki Ageng Mangir pun tewas seketika. Putri Pembayun yang menyaksikan peristiwa itu langsung menangis histeris. Ia amat menyesal berkunjung ke Mataram yang pada akhirnya menjadi malapetaka bagi suami yang amat dicintainya.
 
Jenazah Ki Ageng Mangir kemudian dimakamkan di Keraton Mataram, Kotagede. Oleh karena dianggap separuh jiwanya keluarga keraton dan separuh musuh Mataram, maka separuh jasadnya (bagian atas) dimakamkan di dalam kompleks keraton, sedangkan separuhnya (bagian bawah) berada di luar keraton, atau dimakamkan dengan posisi melintang di antara batas wilayah keraton dengan daerah luar keraton.
 
Sementara itu, Watu Gilang yang merupakan singgasana Panembahan Senopati kini menjadi situs bersejarah Kotagede. Batu yang berwarna hitam dan berbentuk persegi dengan ukuran 2 x 2 meter ini terdapat cekungan pada salah satu sisinya akibat benturan kepala Ki Ageng Mangir.
Situs sejarah ini masih tersimpan di dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di Kampung Kedhaton (Dalem), sekitar 500 meter sebelah selatan Masjid Agung Mataram Kotagede.
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/09/kisah-ki-ageng-mangir-wanabaya-ksatria.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya