- “Saya kira kalian sudah mendengar kabar buruk ini. Apakah kalian sudah siap menghadapi mereka” tanya Raja kepada para peserta sidang.
- “Ampun Baginda! Hamba mendengar Kerajaan Gowa akan mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyerang kita. Mereka juga mempunyai seorang panglima perang yang sangat tangguh dan pemberani. Sementara pasukan yang kita miliki jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan musuh,” jelas salah seorang ponggawa kerajaan kepada Raja.
- “Benar Baginda! Kita harus menambah jumlah prajurit untuk mengimbangi serangan musuh,” tambah salah seorang pembesar kerajaan.
- “Mmm... kalau begitu, bagaimana kalau kita mengadakan sayembara”“ usul sang Raja.
- “Ampun Baginda! Sayembara apa yang Baginda maksud”“ tanya salah seorang pembesar kerajaan lainnya bingung.
- “Sayembara Tobarani (yaitu sayembara para jawara dan pemberani) untuk kita angkat sebagai prajurit kerajaan. Apakah kalian setuju”“ tanya sang Raja.
- “Setuju Baginda!” sahut para ponggawa dan pembesar kerajaan serentak.
- “Wahai rakyatku sekalian! Sebagaimana yang telah kalian ketahui, kerajaan kita akan diserang oleh pasukan Kerajaan Gowa. Mereka ingin menghancurkan dan merebut tanah kelahiran kita. Untuk itulah saya mengundang kalian di tempat ini untuk saya pilih menjadi prajurit guna menghalau serangan mereka,” kata sang Raja.
- “Barang siapa yang mampu menghalau dan menangkap pemimpin pasukan musuh, akan mendapatkan hadiah sebidang tanah sesuai dengan permintaannya,” janji sang Raja memberi semangat kepada rakyatnya.
- “Setuju....!!!” seru para tobarani dengan penuh semangat.
- “Wahai prajuritku! Tanah Mandar Balanipa adalah tanah kelahiran kita. Kita harus berjuang untuk mempertahankan tanah air kita tercinta ini dari serangan musuh,” ujar Raja Balanipa.
- “Hidup Raja Balanipa... !!! Hidup Tanah Mandar... !!! teriak para prajurit serentak dengan penuh semangat.
“Hei, kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari”“ tanya Raja Balanipa.
“Nama saya Kaco”, Puang ! Tapi, orang di kampung lebih akrab memanggil nama hamba I Karake’ lette’. Hamba datang menghadap, karena ingin membantu Puang memenangkan peperangan ini,” jawab laki-laki cacat itu.
“Ha...ha...ha...! Apakah kamu tidak sadar dengan kondisimu itu” Jangankan berperang, berjalan pun kamu tidak mampu,” ucap Raja Balanipa dengan nada merendahkan.
“Insya Allah! Jika Puang mengizinkan, hamba sanggup mengalahkan pasukan musuh,” kata I Karake’lette’ dengan penuh keyakinan.
“Dengan cara apa kamu melawan musuh, I Karake’lette’“ tanya sang Raja penasaran.
“Dengan jeruk nipis, Puang!” jawab I Karake’ lette’.
Puang adalah sapaan untuk para pembesar kerajaan dan orang tua di Mandar.
- “Jika kamu berhasil memenangkan peperangan ini, apa permintaanmu”“
- “Ampun, Puang! Hamba tidak ingin meminta sesuatu apa pun kepada Puang sebelum berhasil mengusir musuh dari tanah Mandar Balanipa ini,” jawab I Karake’ lette’.
“Hei, siapa kamu! Beraninya kamu mengganggu pestaku!” bentak Raja Gowa.
“Tunggu dulu, prajurit! Jangan usir orang aneh itu!” cegah sang Raja.
- “Hei, orang cacat! Siapa kamu ini”“ sang Raja kembali bertanya.
- “Saya adalah utusan dari Kerajaan Mandar Balanipa datang untuk menantang Karaeng ! Tapi dengan syarat, jika Karaeng menang, Kerajaan Mandar Balanipa dan seluruh isinya akan menjadi milik Karaeng. Tapi, jika Karaeng kalah, Karaeng harus meninggalkan tanah Mandar Balanipa ini dan jangan pernah kembali lagi!” jelas I Karake’ lette’ dengan suara lantang.
Karaeng adalah sebutan bagi raja atau orang ningrat di kerajaan Gowa.
- “Bersyahadatlah hei orang cacat, karena sebentar lagi kamu akan mati!” seru sang Raja sambil menghunus badiknya yang terselip di pinggang kirinya.
- “Tahan dulu, Karaeng!” cegah I Karake’ lette’.
- “Saya masih ada satu permintaan lagi,” tambahnya sambil mengeluarkan dua buah jeruk nipis dari sakunya.
- “Apa lagi yang kamu inginkan”“ tanya Raja Gowa tidak sabar ingin menikam I Karake’ lette’.
- “Lihatlah! Di tangan saya ada dua buah jeruk nipis yang menjadi peramal nasib kita. Satu untukmu dan satu untukku,” kata I Karake’ lette’ lalu melemparkan salah satu jeruk itu ke arah Raja Gowa.
- “Untuk apa jeruk ini”“ tanya Raja Gowa bingung.
- “Begini Karaeng! Jeruk yang saya pegang ini saya lemparkan ke arah Karaeng. Kemudian tebaslah jeruk ini dengan sesuka hati sebelum sampai ke lantai. Apapun jadinya jeruk ini nantinya, begitulah nasib saya. Demikian pula sebaliknya, jeruk yang ada di tangan Karaeng lemparkan ke arah saya, dan saya akan berbuat seperti yang Karaeng lakukan. Apapun hasilnya, begitulah nasib Karaeng,” jelas I Karake’ lette’ sambil tersenyum.
- “Mari Karaeng kita mulai permainan ini!” seru I Karake’ lette’.
- “Baik! Aku akan menebas dan mengiris-iris jeruk nipis itu setipis kulitmu,” kata Raja Gowa dengan sombong.
“Lihatlah jeruk itu Karaeng! Nasib Karaeng hari ini akan seperti itu,” kata I Karake’ lette’ dengan nada mengejek.
- “Maafkan aku I Karake’ lette’, karena telah meremehkanmu,” kata Raja Balanipa terharu.
- “Sekarang, katakan apa permintaanmu”“ tanyanya.
- “Hanya ada satu permintaan Hamba, Puang!” jawab I Karake’ lette’.
- “Apakah itu I Karake’ lette’, katakanlah!” desak Raja Balanipa.
- “Hamba mohon ditandu naik ke puncak bukit itu. Hamba ingin berucap rasa syukur kepada Tuhan atas kemenangan ini,” kata I Karake’ lette’ sambil menunjuk ke arah bukit itu yang terletak di sebelah barat kota raja.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati