ABO MAMONGKUROIT adalah seorang lelaki miskin yang tinggal bersama istrinya di sebuah hutan di daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Pada suatu hari, istrinya diculik oleh sesosok raksasa pemakan manusia.
“Istriku! Setiap hari kita bekerja seperti ini, tapi hasil yang kita peroleh terkadang tidak cukup untuk makan sehari-hari. Kalau Adik tidak keberatan, bolehkah Abang pergi merantau untuk memperbaiki nasib kita?” pinta Abo Mamongkuroit kepada Istrinya.
- “Bagaimana dengan aku, Bang?” tanya Putri Monondeaga dengan wajah sedih.
- “Adik di sini saja. Kalau Adik ikut serta, siapa yang akan merawat ayam peliharaan kita,” jawab Abo.
“Baiklah kalau begitu, Bang! Abang boleh pergi merantau asalkan tidak terlalu lama,” kata Putri Monondeaga merelakan suaminya pergi merantau, walaupun dengan berat hati.
“Iya, Istriku. Abang akan segera pulang,” janji Abo kepada istrinya.
- “Sudahlah, Istriku! Abang berangkat dulu. Jaga diri Adik baik-baik! Abang berjanji tidak akan lama di perantauan,” Abo Mamongkuroit berpamitan sambil mencium kening istrinya.
- “Iya, Bang! Hati-hati di jalan!” ucap Putri Monondeaga melepas kepergian suaminya sambil melambaikan tangan.
“Hai, Putri Monondeaga! Sedang apa kamu sendirian di situ?” tanya suara itu.
- “Ampun, Tuan Raksasa! Jangan makan aku!” pinta Putri Monondeaga dengan perasaan takut.
- “Jangan takut, Monondeaga! Aku tidak akan memakanmu, asalkan kamu mau ikut bersamaku,” kata si Brengos.
“Baiklah, Brengos! Aku bersedia ikut bersamamu, tapi jangan hari ini. Aku ingin mencuci rambut dulu, karena sudah sebulan lebih aku tidak mencucinya. Sebaiknya besok saja kamu ke sini menjemputku,” kata Putri Monondeaga.
“Ya, Tuhan! Seadainya Abang Abo ada di sini, tentu hal ini tidak akan terjadi padaku,” keluh Putri Monondeaga dalam hati.
- “Hei, Monondeaga! Aku datang ingin menagih janjimu yang kemarin,” kata si Brengos.
- “Maaf, Brengos! Bagaimana kalau besok saja kamu menjemputku, karena aku belum mandi,” pinta Putri Monondeaga yang kedua kalinya.
- “Ya, Tuhan! Tamatlah riwayatku. Aku akan mati ditelan si Brengos,” ucap Putri Monondeaga dalam hati dengan gusar.
- “Hei, Monondeaga! Apalagi alasanmu? Ayo ikut aku!” ajak si Brengos dengan suara menggelegar.
- “Tunggu sebentar, Brengos! Aku mau menyisir dulu rambutku,” bujuk Putri Monondeaga.
“Tolong...! Tolong...! Lepaskan aku!” teriak Putri Monondeaga sambil meronta-ronta.
“Istriku! Abang pulang... !” teriak Abo.
“Istriku! Kamu di mana..!?” teriak Abo memanggil istrinya.
“Jangan-jangan istriku dimakan binatang buas, atau hanyut terbawa arus sungai,” pikirnya dalam hati.
- “Hei, siapa kamu? Berani-beraninya kamu datang kemari!” tanya si Brengos.
- “Aku Abo Mamongkuroit. Aku kemari sedang mencari istriku, Putri Monondeaga,” jawab Abo Mamongkuroit.
- “Hei, Abo Mamongkuroit! Kamu boleh membawa pulang istrimu, asalkan kamu mampu melawanku adu betis,” tantang si Brengos.
- “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku terima tantanganmu,” jawab Abo Mamongkuroit.
- “Ha... ha... ha... ! Rupanya kamu punya keberanian juga melawanku. Memangnya kamu sanggup melawanku?” tanya si Brengos dengan nada sombong.
- “Coba saja kalau berani!” tantang Abo Mamongkuroit.
“Menyerahlah, hai Raksasa tengik! Aku lebih kuat daripada kamu. Buktinya, kamu tidak sanggup merobohkanku!” seru Abo Mamongkuroit.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja