|
|
|
|
Jaranan Butho... Jaranan variasi dari tanah Blambangan Tanggal 02 Aug 2014 oleh Yulius Dwi Kristian. |
Kabupaten Banyuwangi yang secara geografis terletak pada koordinat 7º 45’ 15” – 80 43’ 2” lintang selatan dan 113º 38’ 10” Bujur Timur selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang saling mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui diwilayah manapun dipulau Jawa. Selain itu, Banyuwangi juga memiliki keanekaragaman seni dan adat tradisi yang khas yang kerap mewakili Jawa Timur dalam even nasional maupun internasional. Salah satunya adalah kesenian Jaranan.
Kesenian Jaranan memang telah menyebar di tanah Jawa. Hampir di tiap daerah memiliki kesenian Jaranan ini. Begitu juga di Kabupaten Banyuwangi. Di Banyuwangi juga mempunyai kesenian Jaranan dengan berbagai variasinya, salah satunya adalah Jaranan Butho.
Menurut beberapa literatur, kesenian jaranan butho berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Kesenian ini adalah kesenian yang unik dan menarik. Istilah Jaranan Butho mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa yang mana dalam bahasa jawa disebut Butho). Jaranan butho dimainkan oleh 16-20 orang yang dihimpun dalam 8 grup. Instrumen musik Jaranan Buto terdiri atas seperangkat gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kedang. Sebagai instrumen peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda kepang yang berbentuk kuda raksasa yang terbuat dari anyaman bambu. Wajah raksasa (jaranan butho) didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata yang besar sedang melotot. Kesenian ini biasanya dilakukan pada pukul 10.00 – 16.00 WIB. Pada puncak pertunjukan, biasanya penari jaranan butho mengalami kesurupan. Penari tersebut tidak sadar dan akan mengejar orang yang menggodanya dengan siulan. Selain itu, penari yang dalam keadaan kesurupan tersebut mampu memakan kaca, api, ayam hidup dengan memakan kepalanya hingga mati dan sebagainya.
Dalam kesenian ini didukung oleh seorang pawang yang bertanggung jawab terhadap penari-penari atau penonton yang ikut kesurupan. Ia bertugas membantu untuk menyadarkan kembali penari jaranan butho serta penonton yang ikut kesurupan.
Kesenian Jaranan Butho ini merupakan salah satu mahkota yang harus dilestarikan, dipelihara dan ditunjukkan kepada dunia luar, sehingga potensi ini dapat bermanfaat baik untuk masyarakat maupun pemerintah, terutama dalam meningkatkan pendapatran asli daerah.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |