Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul termasuk desa yang paling selatan di D.I. Yogyakarta. Jarak dari pusat Kota Yogyakarta yaitu 20 km. Sebagai kecamatan yang cukup maju di daerah Kabupaten Bantul, akses transportasi mudah dijangkau. Kemudahan transportasi mendorong meningkatnya mobilitas sosial. Komposisi penduduk mayoritas orang Jawa asli. Sehingga, mereka masih menjaga warisan-warisan dari leluhur atau nenek moyang. Warisan tersebut berupa pusaka peninggalan yang diwariskan turun temurun. Semua yang diwariskan dijaga dengan baik sesuai tuntunan nenek moyang terdahulu.
Kuda Sembrani adalah salah satu warisan nenek moyang yang diturunkan dari nenek moyang sejak berabad-abad lalu. Kuda Sembrani ini dijaga dan dirawat oleh Simbah Sayat. Ada dua macam Kuda Sembrani yang dirawat yaitu kuda betina yang berwarna merah dan kuda jantan yang berwarna hitam. Kuda Sembrani terbuat dari lulang atau kulit kuda asli dengan karakteristik tebal dan kaku.
Pada awalnya, Kuda Sembrani yang diwariskan hanyalah kuda betina yang berwarna merah. Namun, tahun 2016 kemarin telah ditemukan pasangan dari Kuda Sembrani betina yaitu Kuda Sembrani jantan yang berwarna hitam. Kuda Sembrani jantan ditemukan oleh salah seorang warga di Wonosobo, Jawa Tengah. Oleh warga tersebut, Kuda Sembrani jantan tersebut hanya disimpan karena dianggap sebagai warisan pusaka dari nenek moyangnya. Hingga, tahun 2016 kemarin diambil oleh Simbah Sayat dan dibawa pulang ke rumahnya. Saat ini, Kuda Sembrani yang dirawat Simbah Sayat sudah satu pasang. Saat baru menemukan Kuda Sembrani jantan tersebut, beliau melakukan puasa tiga hari tiga malam sebagai ritual adat.
Sejarah awal adanya Kuda Sembrani diceritakan dulu terdapat dua kuda yaitu jantan dan betina di daerah lapang dengan hamparan rumput yang luas. Daerah lapang tersebut sekarang telah dibangun Pasar Sorobayan yang merupakan Pasar Desa Gadingsari. Kedua kuda tersebut setiap hari entah datang darimana, masyarakat di sekitar tidak ada yang memiliki kuda. Karena masyarakat sekitar merasa keberadaan kedua kuda tersebut mengganggu aktivitas mereka sehari-hari, mereka akhirnya menangkap kedua kuda tersebut. Namun, kuda jantan justru dapat melepaskan diri dan berlari ke arah barat. Kuda jantan yang berlari tadi terlihat terbang ke arah barat hingga tidak terlihat lagi. Kemudian, kuda betina yang tertangkap tidak lama mati dan yang tersisa hanyalah kulitnya. Kulit itulah yang kemudian berubah menjadi bentuk kuda. Dipercayai bahwa dalam kulit kuda tersebut berisi roh nenek moyang dan hingga sekarang dikenal dengan nama Kuda Sembrani. Kuda Sembrani dirawat dan dijaga dengan memberikan sesajen pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sesajen berisi kembang telon dan bunga kantil dibentuk kalung.
Sudah sejak dulu, Kuda Sembrani dipakai dalam kesenian Jathilan atau Kuda Kepang. Dulu, tujuan digelarnya kesenian Jathilan Sembrani untuk pertunjukkan dan juga berhubungan dengan nenek moyang. Namun, saat ini tujuan digelarnya pertunjukkan Jathilan Sembrani hanya untuk hiburan bagi masyarakat. Fungsi lain digelarnya pertunjukkan Jathilan Sembrani untuk melestarikan kesenian tradisional dan menjaga keberadaan warisan nenek moyang.
Tidak sembarang orang bisa menjadi penunggang Kuda Sembrani. Yang bisa menunggangi Kuda Sembrani hanyalah keturunan dari pemilik aslinya. Menurut kepercayaan masyarakt sekitar, apabila Kuda Sembrani dinaiki oleh orang yang bukan keturunan dari pemilik aslinya, cara berlari ketika seseorang itu menaiki kuda sembrani tidak serasi dengan alunan unsur yang dimainkan. Selain itu, orang yang menaiki bisa saja tidak kuat menaiki Kuda Sembrani apabila dia bukan keturunan dari pemilik aslinya. Penunggang Kuda Sembrani juga harus melakukan ritual ketika akan menunggangi Kuda Sembrani. Biasanya penunggang akan melakukan puasa selama satu hari satu malam.
Perlengkapan yang digunakan penunggang Kuda Sembrani ketika pentas juga perlu diperhatikan. Penunggang Kuda Sembrani betina mengenakan kaos lengan panjang berwarna merah, celana hitam, tidak memakai alas kaki, blangkon dengan bulu ayam ditancapkan di bagian depan, dan selendang yang dikenakan di pinggang berwarna merah. Sedangkan untuk penunggang Kuda Sembrani jantan mengenakan perlengkapan yang sama, namun memakai kaos lengan panjang berwarna hitam.
Alat unsur yang digunakan saat pertunjukkan juga memiliki kekhasan tersendiri. Gendang dan angklung harus wajib ditabuh saat pertunjukkan digelar. Penunggang Kuda Sembrani akan berlari seperti kuda seiring dengan irama suara gendang dan angklung. Apabila penabuh salah memainkan gendangnya, Kuda Sembrani akan menghampiri dan menendang penabuh gendang. Alat musik lain seperti kecrek, kempul, dan gong juga digunakan.
Ketika penunggang Kuda Sembrani sudah benar-benar menaiki Kuda Sembrani, dia sudah dalam kendali makhluk yang ada dalam Kuda Sembrani tersebut. Menurut keterangan penunggang Kuda Sembrani, ketika menunggang kuda rasanya sudah ringan berlari begitu saja. Dalam matanya hanya ada cahaya terang dan dia berlari mengikuti cahaya terang itu. Untuk menyadarkan kembali penunggang Kuda Sembrani, di telinganya dibacakan bacaan tertentu. Inti dari bacaan itu adalah makhluk yang merasuki penunggang Kuda Sembrani disuruh untuk kembali ke tempat tinggal asalnya.
Kuda kepang (jathilan) berunsurkan trance yang merupakan suatu fenomena yang lazim yang terdapat di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia (Mohammad Kipli Abdurrahman, 2006:17 dan I made Bandem, 1995:2). Menurut Rouget (1985:11) bahwa sifat-sifat trance (kesurupan) budayawi yang terlatih melalui proses budaya adalah sebagai berikut: (1) selalu berkaitan dengan gerakan fisik, (2) selalu berkaitan dengan suasana yang nsur, (3) terjadi di dalam keramaian, (4) ada krisis, (5) selalu ada yang merangsang pendengaran, (6) berkaitan dengan hilang kesadaran, (7) kejadiannya timbul dari kondisi sadar.
Sudah sejak dulu, Kuda Sembrani dipakai dalam kesenian Jathilan atau Kuda Kepang. Dulu, tujuan digelarnya kesenian Jathilan Sembrani untuk pertunjukkan dan juga berhubungan dengan nenek moyang. Namun, saat ini tujuan digelarnya pertunjukkan Jathilan Sembrani hanya untuk hiburan bagi masyarakat. Fungsi lain digelarnya pertunjukkan Jathilan Sembrani untuk melestarikan kesenian tradisional dan menjaga keberadaan warisan nenek moyang.
Tidak sembarang orang bisa menjadi penunggang Kuda Sembrani. Yang bisa menunggangi Kuda Sembrani hanyalah keturunan dari pemilik aslinya. Menurut kepercayaan masyarakt sekitar, apabila Kuda Sembrani dinaiki oleh orang yang bukan keturunan dari pemilik aslinya, cara berlari ketika seseorang itu menaiki kuda sembrani tidak serasi dengan alunan unsur yang dimainkan. Selain itu, orang yang menaiki bisa saja tidak kuat menaiki Kuda Sembrani apabila dia bukan keturunan dari pemilik aslinya. Penunggang Kuda Sembrani juga harus melakukan ritual ketika akan menunggangi Kuda Sembrani. Biasanya penunggang akan melakukan puasa selama satu hari satu malam.
Perlengkapan yang digunakan penunggang Kuda Sembrani ketika pentas juga perlu diperhatikan. Penunggang Kuda Sembrani betina mengenakan kaos lengan panjang berwarna merah, celana hitam, tidak memakai alas kaki, blangkon dengan bulu ayam ditancapkan di bagian depan, dan selendang yang dikenakan di pinggang berwarna merah. Sedangkan untuk penunggang Kuda Sembrani jantan mengenakan perlengkapan yang sama, namun memakai kaos lengan panjang berwarna hitam.
Alat unsur yang digunakan saat pertunjukkan juga memiliki kekhasan tersendiri. Gendang dan angklung harus wajib ditabuh saat pertunjukkan digelar. Penunggang Kuda Sembrani akan berlari seperti kuda seiring dengan irama suara gendang dan angklung. Apabila penabuh salah memainkan gendangnya, Kuda Sembrani akan menghampiri dan menendang penabuh gendang. Alat musik lain seperti kecrek, kempul, dan gong juga digunakan.
Ketika penunggang Kuda Sembrani sudah benar-benar menaiki Kuda Sembrani, dia sudah dalam kendali makhluk yang ada dalam Kuda Sembrani tersebut. Menurut keterangan penunggang Kuda Sembrani, ketika menunggang kuda rasanya sudah ringan berlari begitu saja. Dalam matanya hanya ada cahaya terang dan dia berlari mengikuti cahaya terang itu. Untuk menyadarkan kembali penunggang Kuda Sembrani, di telinganya dibacakan bacaan tertentu. Inti dari bacaan itu adalah makhluk yang merasuki penunggang Kuda Sembrani disuruh untuk kembali ke tempat tinggal asalnya.
Kuda kepang (jathilan) berunsurkan trance yang merupakan suatu fenomena yang lazim yang terdapat di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan Malaysia (Mohammad Kipli Abdurrahman, 2006:17 dan I made Bandem, 1995:2). Menurut Rouget (1985:11) bahwa sifat-sifat trance (kesurupan) budayawi yang terlatih melalui proses budaya adalah sebagai berikut: (1) selalu berkaitan dengan gerakan fisik, (2) selalu berkaitan dengan suasana yang nsur, (3) terjadi di dalam keramaian, (4) ada krisis, (5) selalu ada yang merangsang pendengaran, (6) berkaitan dengan hilang kesadaran, (7) kejadiannya timbul dari kondisi sadar.
C. Keberlanjutan Kesenian Jathilan Sembrani
Seiring waktu berjalan, perubahan juga terjadi dalam pertunjukkan Kuda Sembrani. Saat ini, tujuan digelar pertunjukkan Kuda Sembrani sebatas sebagai hiburan bagi masyarakat dan digunakan sebagai sarana untuk melestarikan Kuda Sembrani. Perubahan lain yang terjadi yaitu pada cara menyadarkan kembali penunggang kuda. Pada zaman dahulu, cara untuk menyadarkan kembali penunggang kuda hanya dengan melepaskan Kuda Sembrani dari penunggang. Namun saat ini, cara untuk menyadarkan kembali penunggang kuda dengan membacakan bacaan di telinganya.
Saat ini, Kuda Sembrani masih akrab di telinga masyarakat. Walaupun peminat untuk mengundang kesenian Jathilan Sembrani semakin menurun, namun mayoritas masyarakat masih menyukai kesenian ini sebagai hiburan. Unsur magis yang ada dalam kesenian ini justru menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat untuk menonton Jathilan Sembrani. Pementasan Jathilan Sembrani saat ini dilaksanakan di satu tempat dan warga yang datang untuk melihat serta berkeliling ke kampung-kampung untuk tampil dalam satu hari.
Kuda Sembrani dapat dipertahankan keberlanjutannya dengan cara melakukan pembinaan dan pengembangan. Pembinaan dan pengembangan ini dilakukan para pekerja seni, sedangkan masyarakat dapat memberikan dukungan dengan mengundang atau menonton Jathilan Sembrani. Dengan demikian keberlanjutan hidup Jathilan Sembrani dapat terjaga. Pembinaan yang dilakukan oleh kelompok Jathilan Sembrani dilaksanakan dengan mengadakan latihan rutin sambil merekrut pemain baru Jathilan Sembrani. Biasanya yang menjadi pemain baru cenderung berasal dari anggota keluarga. Saat ini mereka berusaha mempertahankan adanya unsur kesurupan di dalam pertunjukan. Agar dapat memertahankan keberlanjutannya pimpinan kelompok Jathilan Sembrani harus mempunyai kreativitas melakukan terobosan baru dengan cara melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi lama. Berkaitan dengan ini, Salamun Kaulam (2012:135) menjelaskan bahwa kesenian jaranan (jathilan) mengalami pergeseran nilai. Dalam suatu kegiatan pementasan ada upaya menambah unsur kegiatan yang sifatnya hiburan.
Saat ini generasi muda jika bermain Jathilan Sembrani sudah tidak mau kesurupan, kecuali keturunan pemain Jathilan Sembrani. Pemimpin kelompok dan anggotanya tidak mempermasalahkan jika ada anggota penari baru yang tidak bersedia kesurupan. Hal ini terlihat dari adanya penari yang hanya ingin menjadi penari saja tanpa kesurupan. Semua ini dilaksanakan demi keberlanjutan dan keberlangsungan Jathilan Sembrani. Namun, tidak semua anggota penari baru tidak mau kesurupan, ada juga yang mau unutuk kesurupan. Karena dalam Jathilan Sembrani ini kesurupan bagi penari bukanlah suatu kesengajaan. Apabil mereka berhati-hati agar tidak tersepak oleh penunggang Kuda Sembrani, mereka tidak akan kesurupan. Usman Pelly (1994: 89) menjelaskan individu dan masyarakat merupakan satu unit yang tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan “a mutually interdependent relationship,” tidak menentukan yang lain. Tingkah laku seseorang tidak ditentukan sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan, juga tidak oleh masyarakat, tetapi oleh pengaruh keduanya.
Kedepannya, Kuda Sembrani ini akan diwariskan kepada keturunan Simbah Sayat lagi untuk dijaga, dirawat, dan dilestarikan. Hal ini dilakukan agar kesenian Jathilan Sembrani tetap eksis di kalangan masyarakat. Meskipun saat ini teknologi telah berkembang pesat, hal itu justru dipergunakan untuk lebih memperkenalkan kesenian ini pada dunia luar.
Akulturasi budaya tradisional dengan era globalisasi saat ini juga telah dilakukan. Tidak dalam setiap pertunjukkan ada yang kesurupan, hanya pada saat-saat tertentu saja. Jadi, tidak selalu setiap penari merasakan kesurupan. Dengan semakin rasionalnya penyangga pertunjukan Jathilan Sembrani ini pimpinan kelompok Jathilan Sembrani membolehkan anak yang tidak mau berhubungan dengan makhluk halus dapat menjadi penari Jathilan Sembrani. Dengan demikian, pertunjukan tanpa menghadirkan makhluk halus pun dapat ditampilkan.
Daya tarik pertunjukkan ditingkatkan dari nilai estetika dan pertunjukkan yang atraktif. Kuda bagi para penari keindahannya juga ditingkatkan dari pemberian warna pada kuda-kudaan yang dipakai. Dahulu dalam unsur warna, ada kecenderungan seperti warna-warna kuda aslinya, seperti hitam, putih, coklat kemerahan. Saat ini dapat lebih variatif berdasarkan nilai keindahan yang unsur warna ataupun permintaan kelompok. Pengembangan Jathilan Sembrani dalam meningkatkan nilai-nilai estetika sudah disarankan oleh para ahli kesenian tradisional setempat. Hal ini sejalan dengan Usman Pelly (1994:162) yang menjelaskan, kebudayaan itu dinamis dan berubah, hanya kecepatan perubahannya yang berbeda. Selanjutnya Edi Sedyawati (1987) mengungkapkan perubahan terjadi karena manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan cara hidup dan bergantian generasi. Seperti temuan lapangan menunjukkan pergantian generasi Jathilan Sembrani telah mengubah bentuk pertunjukan yang selama ini pemainnya harus kesurupan, tetapi saat ini pemainnya dibolehkan tidak kesurupan. Ini artinya pola dan bentuk pertunjukan mengalami pergeseran. Dengan demikian, pertunjukan tanpa menghadirkan makhluk halus pun dapat ditampilkan. Menurut Umar Kayam (1981:5) kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan, dengan demikian kesenian harus dimengerti pada situasi masyarakat yang akan menikmatinya.
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 MAsukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.
Awal mula hadirnya Gereja Klepu sebagai tempat peribadatan bermula dari didirikannya sekolah tingkat dasar untuk rakyat. Sekolah tingkat dasar pertama didirikan oleh Rm. Strater, SJ, seorang misionaris Jesuit, pada tahun 1912. Latar belakang pendirian sekolah ini ialah adanya keprihatinan terhadap tingginya jumlah penduduk pribumi yang masih buta huruf. Umat Katolik awal berasal dari orang-orang yang bekerja sebagai kuli di perkebunan tebu milik tuan-tuan berkebangsaan Belanda. Para kuli yang sudah di sekolahkan akan naik pangkat menjadi mandor. Pastor F. Strater, SJ mengajar mereka untuk membaca dan menulis. Sebagian dari mereka yang tertarik dengan iman Kristiani kemudian memeluk agama Katolik. Sebulan sekali mereka mengikuti magang di Kotabaru. Baptisan pertama terjadi pada tahun 1916. Thomas Sogol dari Kaliduren menjadi orang pertama yang dibaptis. Selang 3 tahun setelah baptisan pertama, pada tahun 1919 baru ada satu orang lagi yang dibaptis. Kemudian tahun 1921, terdapat sat...
Candi Pembakaran berada di kompleks Ratu Boko, dimana kita dapat melihatnya setelah melewati gerbang ke-2 dan berada sekitar 30 m ke arah kiri. Dari kejauhan kita akan meliahat satu bentuk candi yang hanya berupa batur dan kaki dilengkapi dengan tangga di arah barat tanpa adanya pintu dan atap. Bila meniti tangga dan sampai di atas pada ujung tangga terdapat semacam sisa gerbang di kedua sisi yang tidak terlalu tinggi. Diamati lebih mendetail, gerbang ini pun memiliki terusan yang menjadi pagar keliling dimana kita bisa melihatnya dengan mengikuti sisa penguncian di sisi lantai.