Kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 M dengan nama Benggawi, di era kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389), dimana kerajaan Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Dalam struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai, Kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Adi yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan (sekarang Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat bagi Adi dan diberi gelar Tomundo Sangkap yang masing-masing mempunyai kekuasaan tertentu.Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum Adi Lambal Polambal memerintah. Adi Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik. Selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara di antara empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.
Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah yang kemudian melegitimasi kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar Mbumbu, sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu.
Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai moderen setelah beliau sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan - kerajaan di Pulau Peling seperti Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo, Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa masuk agama islam di seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan memberi kepadanya jabatan Jogugu, sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan Pau Basal / Basalo yang lebih rendah dari tomundo.
Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti "anak besar" dianggap sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya, yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.
Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro, Maulana Prins Mandapar memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.
Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.
Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan Banggai itupun dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk, S.A. Amir kemudian dengan berani memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi di dalam kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.
Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai.
https://springocean83.wordpress.com/2014/04/01/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-pulau-sulawesi/?fbclid=IwAR2xlye-nrvU34n-MBH9HbQSnF18SkvvPkDCVr5Dlp29IopT6XyptwZ7Oz4
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.