Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Sulawesi Barat Mandar
I Tui-Tuing dan Siti Rukiah
- 28 Maret 2018

I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti “si” (menunjuk pada dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang.

Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. Menurut cerita, I Tui-Tuing pernah melamar keenam putri seorang

juragan. Dari keenam putri juragan tersebut, hanya putri ketiga bernama Siti Rukiah yang bersedia menerima lamarannya.

---

Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak. “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bentuknya menyerupai tui-tuing!” doa sepasang suami-istri itu.

Sebulan kemudian, sang Istri ternyata hamil. Alangkah bahagianya sang Suami saat mengetahui hal itu. Tidak lama lagi mereka akan memiliki seorang anak yang akan menjadi penghibur di saat-saat mereka sedang kesepian. Sejak mendengar kabar gembira itu, sang Suami pun semakin rajin melakukan pekerjaan sehari-harinya, yakni motangnga di sekitar Teluk Mandar untuk dijual. Motangaga artinya menangkap ikan terbang beserta telurnya di akhir musim barat dan diawal musim timur antara bulan April sampai dengan bulan Agustus.

Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli segala keperluan bayinya. Setiap malam ia selalu berdoa kepada Tuhan agar kelak istrinya melahirkan dengan selamat. Demikian pula sang Istri, ia senantiasa menjaga dan merawat bayi di dalam kandungannya agar tetap dalam keadaan sehat. Tidak terasa, usia kandungan sang Istri sudah menginjak tujuh bulan lebih.

Seperti halnya masyarakat Mandar lainnya, mereka pun mengadakan acara tujuh bulanan yang disebut dengan niuri secara sederhana. Mereka pun menyiapkan beberapa jenis kue yang bentuknya bulat, seperti onde-onde, gogos, dan semacamnya, dengan harapan kelak sang Istri melahirkan anak laki-laki. Niuri adalah acara tujuh/delapan bulanan bagi perempuan Mandar yang baru pertama kali mengalami kehamilan. Tujuannya adalah sebagai doa agar bayi dalam kandungan sang ibu lahir dengan selamat.

Berbeda halnya jika mereka mengharapkan anak perempuan, mereka harus menyiapkan kue-kue yang berbentuk gepeng, seperti pupu, lapisi, katiri mandi, dan semacamnya. Setelah acara nipande mangidang (makan kue bersama), mereka kemudian melantunkan lagu-lagu Mandar yang berisi doa, seperti berikut:

Alai sipa`uwaimmu ; Ambil sifat airmu (gampang mengalir)

Pidei sipa` apimmu ; Padamkan sifat apimu (panas)

Tallammo`o liwang ; Keluarlah engkau

Muammung pura beremu ; Membawa takdirmu

 

Uwai penjarianmu

Uwai pessungammu

Uwai pellosormu

Uwai pellene`mu

Uwai peoromu

Uwai pellambamu

Uwai atuo-tuoammu.

 

Engkau tercipta dari air

Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir

Murahlah rezekimu dan dingin seperti air.

 

Ketika memasuki awal bulan kesepuluh, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki sebagaimana yang mereka harapkan. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat bayi mungil yang baru saja lahir menyerupai tui-tuing. Seluruh wajah dan tubuhnya diselimuti oleh sisik ikan terbang. Oleh karenanya, ia diberi nama I Tui-Tuing, yang berarti si Ikan Terbang.

Pada mulanya, kedua orangtua sang Bayi tidak percaya dan enggan menerima kenyataan itu. Dalam hati mereka berkata “tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor ikan”. Namun, setelah menyadari bahwa keberadaan bayi yang bersisik ikan itu adalah pemintaan mereka sendiri, akhirnya mereka pun menerima kenyataan tersebut. Mereka menjaga dan merawat I Tui-Tuing dengan penuh kasih sayang.

Waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian, I Tui-Tuing pun tumbuh dewasa. Ia sering ikut bersama ayahnya motangnga di sekitar Teluk Mandar. Ia juga rajin membantu ibunya memasak di dapur sepulangnya dari motangnga. Tidak heran jika kedua orang tuanya semakin sayang kepadanya. Apa pun permintaannya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya.

Pada suatu hari, I Tui-Tuing memohon kepada kedua orangtuanya, agar mencarikannya seorang pendamping hidup. Baginya, tidak perlu cantik, asalkan gadis itu bersedia menikah dan hidup bersamanya. Permintaan I Tui-Tuing itu sangatlah berat bagi kedua orangtuanya. Mereka merasa tidak mungkin ada orang yang sudi menerima lamarannya, karena kondisi anaknya yang cacat. Tapi, karena saking sayangnya kepada I Tui-Tuing, mereka pun mencoba untuk melamar beberapa gadis yang ada di kampung itu. Setelah menaiki beberapa rumah (rumah panggung), bukannya penghargaan ataupun penyambutan yang mereka terima, melainkan penghinaan. Di antara para gadis tersebut ada yang menghinanya dengan mengatakan:

“Siapa yang sudi menikah dengan anak kalian yang menyerupai ikan tui-tuing itu!” Dengan perasaan sedih, kedua orangtua itu pulang ke rumahnya. Mereka pun menyampaikan berita buruk itu kepada I Tui-Tuing. “Apakah Ayah dan Ibu sudah melamar semua gadis di kampung ini”“ tanya I Tui-Tuing ingin tahu. “Belum, Anakku! Masih ada satu rumah yang belum kami datangi, yaitu rumah si Juragan Kaya di kampung ini,” jawab ayahnya. 

“Kenapa Ayah” Bukankah dia mempunyai enam orang gadis”“ tanya I Tui-Tuing. “Benar Anakku! Tapi, tidak mungkin kami berani melamar ke sana. Mereka adalah orang kaya raya, sementara kita orang miskin,” sahut ibunya. “Tidak, Ibu! Sebaiknya Ayah dan Ibu mencoba dulu melamar anak juragan itu. Nanda yakin, pasti salah satu dari mereka ada yang sudi menikah denganku,” desak I Tui-Tuing.

Oleh karena didesak terus, akhirnya kedua orangtua I Tui-Tuing bersedia untuk pergi melamar salah seorang anak juragan kaya itu. Sementara itu, di rumah sang Juragan, keenam putri juragan tampak rukun dan bahagia, kecuali satu orang yang bernama Siti Rukiah. Siti Rukiah adalah anak ketiga dan dialah yang paling cantik di antara saudari-saudarinya. Rupanya, hal itulah yang membuat saudari-saudarinya iri hati kepadanya. Oleh karenanya, kelima saudarinya tersebut membiarkan Siti Rukiah tinggal sendirian di kamar paling belakang dekat dapur. Bahkan, mereka membedakinya dengan arang, agar wajahnya yang cantik itu tidak terlihat oleh para pemuda yang datang ke rumah mereka.

Pada suatu hari, kedua orang tua I Tui-Tuing memberanikan diri datang ke rumah sang Juragan untuk melamar salah seorang putrinya. Sesampainya di rumah itu, mereka pun disambut baik oleh sang Juragan. “Maaf jika kedatangan kami mengganggu ketenangan keluarga Juragan!”kata Ayah Tui-Tuing. “Tidak apa-apa, Pak! Kalau boleh tahu, ada apakah gerangan maksud kedatangan kalian kemari”tanya sang Juragan.

“Maaf Juragan, jika kami terlalu lancang terhadap keluarga Juragan. Kami bermaksud untuk menyampaikan pinangan anak kami I Tui-Tuing kepada salah seorang putri Juragan,”ungkap Ayah TuiTuing. “Oh begitu...! Baiklah, aku akan menanyakan hal ini kepada putri-putriku, siapa di antara mereka yang bersedia menikah dengan I Tui-Tuing,” jawab sang Juragan seraya mengumpulkan semua putrinya, kecuali Siti Rukiah yang tetap dikurung dalam kamar.

Setelah sang Juragan menanyai satu-satu persatu kelima putrinya, tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada I Tui-Tuing. Malah justru mereka menghina kedua orangtua TuiTuing. “Hei, orangtua! Kalian harus berkaca dulu. Kalian itu siapa dan hendak melamar siapa” Kalian itu orang miskin, sedangkan kami orang kaya,” hardik putri sulung sang Juragan. “Lagi pula siapa yang sudi menikah dengan putra kalian yang buruk rupa itu!”tambah putri juragan yang paling bungsu dengan menghardik pula.

Mendengar jawaban para putri juragan itu, kedua telinga orangtua Tui-Tuing bagaikan disambar petir. Dengan perasaan sedih dan kecewa, mereka pun berpamitan kepada sang Juragan untuk pulang ke rumahnya menyampaikan berita buruk itu kepada anaknya. Namun, ketika mereka akan beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba terdengar suara dari ruang paling belakang.

“Jika tidak seorang pun saudariku yang sudi menikah dengan I Tui-Tuing, biarlah aku yang mendampingi hidupnya,”kata suara perempuan yang lembut itu. Semua yang hadir di rumah itu tiba-tiba tersentak kaget. Sang Juragan pun segera beranjak dan berjalan menuju ke kamar paling belakang. Tidak berapa lama, ia pun kembali sambil menuntun putrinya.

“Maafkan kami, Pak! Aku lupa, ternyata aku masih mempunyai seorang putri lagi, namanya Siti Rukiah. Tapi lihatlah, wajahnya sangat buruk, karena setiap hari pakai bedak arang. Apakah kalian bersedia menerimanya”“ sang Juragan balik menawarkan putrinya kepada kedua orangtua I Tui-Tuing. “Dengan senang hati, Tuan! Wajah cantik tidaklah terlalu penting bagi anak kami. Tapi, yang penting

putri Juragan bersedia untuk hidup bersama dengan anak kami,” jawab ibu I Tui-Tuing. Mendengar jawaban itu, Siti Rukiah pun menyatakan kesungguhan hatinya untuk hidup bersama dengan I Tui-Tuing sepanjang hidupnya. Pernyataan Siti Rukiah itu pun disambut baik oleh kedua orangtua Tui-Tuing. Demikian pula kelima saudarinya. Mereka sangat senang, karena Siti Rukiah akhirnya akan menikah dengan orang yang buruk rupa. Dengan demikian, tentu para pemuda tampan di kampung itu akan melirik mereka.

Seminggu kemudian, pernikahan I Tui-Tuing dengan Siti Rukiah dilangsungkan secara sederhana. Acara tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dari kedua mempelai. Sejak resmi menjadi suami-istri, mereka pun meminta kepada kedua orangtua mereka untuk hidup mandiri. Akhirnya, mereka pun dibuatkan sebuah rumah panggung yang cukup sederhana di atas tanah milik orang tua Siti Rukiah yang berada di kampung sebelah. Sejak itu, I Tui-Tuing bersama istri tercintanya tinggal di rumah itu. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, setiap hari I Tui-Tuing pergi metongnga di sekitar Teluk Mandar.

Pada suatu pagi, usai sarapan, I Tui-Tuing berpamitan kepada istrinya hendak pergi metongnga. Setelah suaminya berangkat, Siti Rukiah memasak nasi dan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaannya selesai, ia pun membersihkan seluruh badannya, terutama wajahnya yang masih dipenuhi dengan bedak arang. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Siti Rukiah pun segera membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki gagah dan tampan berdiri di hadapannya.

“Maaf Tuan, Anda siapa”“ tanya Rukiah. “Aku adalah I Tui-Tuing hendak mencari istriku yang bernama Siti Rukiah” jawab si lelaki gagah itu. “Maaf, Tuan jangan mengaku-ngaku! Bukankah seluruh tubuh dan wajah I Tui-Tuing dipenuhi dengan sisik ikan”“ tanya Rukiah dengan sanksi. “Benar yang kamu katakan itu. Selama ini kulitku memang dipenuhi dengan sisik ikan, sehingga aku menyerupai ikan terbang. Itu semua terjadi karena permintaan kedua orangtuaku sebelum aku lahir.

Tapi, kini aku sudah kembali normal seperti manusia lainnya, karena aku sudah beristri,”jelas lelaki tampan itu. Pada mulanya, Siti Rukiah tidak percaya dengan penjelasan orang yang tidak dikenalnya itu. Tetapi, setelah mendengar suara dan mencium bau lelaki itu persis sama dengan suara dan bau Tui-Tuing, akhirnya ia pun percaya bahwa lekaki gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu adalah suaminya. Setelah yakin dengan hal itu, kini giliran Siti Rukiah memperkenalkan dirinya kepada suaminya.

“Bang! Aku ini istrimu, Siti Rukiah,” ungkap Siti Rukiah kepada suaminya. “Bukankah istriku itu wajahnya hitam pekat”“ I Tui-Tuing balik bertanya dengan sanksi. “Benar, Bang! Wajahku menjadi hitam pekat, karena perbuatan saudari-saudariku. Mereka iri terhadap kecantikanku. Makanya, mereka membedakiku dengan arang, agar para pemuda tampan tidak tertarik melihat kecantikanku. Ketika Abang berangkat ke laut, aku membersihkan semua sisa-sisa arang yang masih menempel di wajahku. Kini, wajahku kembali bersih seperti semula,” jelas Siti Rukiah. Awalnya, I Tui-Tuing tidak percaya dengan pernyataan perempua cantik itu. Namun, setelah mendengar suara dan mencium bau perempuan itu tidak ada bedanya dengan suara maupun bau Siti Rukiah, akhirnya I Tui-Tuing pun yakin bahwa perempuan cantik itu adalah istrinya.

Setelah keduanya saling mengenal, mereka pun langsung berpelukan. Keesokan harinya, mereka pergi mengunjungi orangtua mereka dengan wajah yang baru. I TuiTuing tidak lagi menyerupai ikan terbang, tapi sudah berwujud manusia. Begitupula Siti Rukiah, ia tampak jauh lebih cantik dan memesona, karena bedak arang yang menempel di wajahnya benar-benar sudah hilang. Kini wajahnya tampak bersinar dan pipinya terlihat kemerah-merahan bagaikan buah delima.

Pertama-tama mereka mengunjungi rumah orangtua I Tui-Tuing. Alangkah terkejutnya kedua orangtua I Tui-Tuing ketika mengetahui bahwa lelaki gagah dan tampan itu adalah anaknya, dan gadis cantik itu adalah menantunya. Demikian pula ketika mereka sampai di rumah orangtua Siti Rukiah. Keluarga Siti Rukiah seakan-akan tidak percaya pada kenyataan itu, terutama kelima saudarinya. Mereka pun sangat menyesal, karena dulu menolak pinangan I Tui-Tuing. Namun, semuanya hanya tinggal penyesalan. Entah sampai kapan kelima gadis itu terus menunggu jodoh mereka datang. Sementara, Siti Rukiah hidup rukun dan bahagia bersama suami tercintanya, I Tui-Tuing.

*****

Demikian Kisah Romansa I Tui-Tuing Dan Siti Rukiah dari daerah Mandar, Sulawesi Barat. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang

terkandung dalam cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat iri dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kelima putri juragan terhadap kecantikan saudarinya yang bernama Siti Rukiah. Mereka memberinya bedak arang dan mengurungnya di

kamar paling belakang, agar kecantikannya tidak dilihat oleh para pemuda tampan. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat iri dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah kepada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan terhadap saudara sendiri.

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa orang-orang yang teraniaya selalu dilindungi oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dialami oleh Siti Rukiah. Walaupun kelima saudarinya selalu berusaha menghalang-halanginya agar tidak menikah dengan pemuda tampan, namun dengan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, Siti Rukiah menikah dengan pemuda gagah dan tampan, yakni I Tui-Tuing. Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan.

 

Sumber:

agathanicole.blogspot.co.id

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline