Dikisahkan dalam kitab Lagaligo, ada sebuah negeri diatas langit sana yang penuh kedamaian yaitu Bottilangi. Dirajai oleh To Palanroe yang akrab disapa Datu Patotoe anak dari La Rumpammega sedang gusar. Datu Patotoe mendapati ratusan ekor ayamnya tidak terurus. Rukelleng Poba, Rumang Makopang, Sangiang Pajung dan Balasanriwu yang bertugas untuk menjaga ayam rajanya rupanya tidak berada di Bottilangi. 4 saudara ini rupanya sedang mengunjungi kolong yang ada di Bottilangi. Sambil melihat apa saja yang ada di kolong tersebut 4 bersaudara ini berniat menyampaikan penglihatan mereka kepada sang raja. Maka berlarilah mereka kembali ke tempat tugas mereka, takut akan tugas mereka yang terbengkala. Tetapi, betapa terkejutnya mereka melihat sang Datu Patotoe sedang berdiri diantara ayam-ayam kesayangannya. Sembah sujud sambil memohon ampunan dari sang Datu Patotoe dilakukan 4 bersaudara ini. Karna belas kasih yang tak terbatas dari Datu Patotoe maka mereka diampuni. Dengan cepat 4 bersaudara ini langsung melaporkan keadaan di kolong Bottilangi. "Jika Perettiwi dibiarkan kosong melompong tak berpenghuni, maka pastilah tidak ada yang memuja Datu Patotoe sebagai Sang Dewa" tutur 4 bersaudara ini. Perettiwi merupakan daerah dari kolong Bottilangi yang kita sebut sekarang sebagai Bumi.
Mendengar hal itu Datu Patotoe pergi dan menyerahkan urusan ayamnya kepada 4 bersaudara itu. Dengan langkah yang semangat sang raja pergi ketempat ibundanya untuk meminta ijin serta restunya. Setelah itu sang raja bergegas mendatangi sang permaisurinya Datu Palinge, diiringi oleh aparat Wawolangi dan diarak oleh bangsawan tinggi Copokmeru. Sang raja datang untuk memohon sarannya. Maka berkumpullah mereka untuk membicarakan hal ini di Istana Agung Bottilangi yang berpetak 250 buah. Mereka berbincang akrab sambil meminum sirih dengan sarung kebesaran yang terbuat dari emas. Datu Palinge menyarankan untuk berembuk terlebih dahulu dengan saudara sang raja untuk rencana yang baik ini.
Atas saran istrinya maka Datu Patotoe mengutus Wawolangi serta prajuritnya untuk mengundang kelima saudara-saudarinya, sepupu-sepupunya dan kemenakannya. Undangan tersebut dimaksudkan untuk membahas siapakah yang akan turun ke Perettiwi menjadi manusia. Setelah empat undangan disebar kepada 4 saudara Datu Patotoe di empat penjuru maka tiba giliran saudari Datu Patotoe yang berada di Uruliyu mendapat undangan. Para Wawolangi dan prajurit turun ke Perettiwi, dibuatnya kilat dan petir yang gemuruh lalu hujan jatuh membasahi Perettiwi. Setelah redah semuanya makan turunlah mereka menggunakan 7 anak tangga pelangi. Sesampainya mereka langsung menuju pantai untuk turun ke dasar lautan, yaitu Uriliyu.
Sesampainya di Kerajaan Toddatoja Uriliyu, mereka disambut oleh saudari Datu Patotoe. Sinaung Toja dan suaminya Guru Riselleng menyambut gembira undangan tersebut dan berjanji akan datang. Setelah itu Wawolangi dan prajuritnya kembali ke Bottilangi dengan cara yang sama. Sementara di Bottilangi telah disampaikan undangan ke seluruh penduduk bahwa akan ada pertemuan para raja untuk membicarakan keputusan To Manurung yang pertama kalinya.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja