Pada zaman dahulu ada seorang raja yang terkenal arif serta bijaksana. Berpikiran lapang dan disayangi rakyat. Baginda mempunyai hulubalang-hulubalang yang gagah berani. Hulubalang yang demikian diperlukan baginda memagari negeri dari gangguan musuh. Mereka tak pernah menolak perintah yang dibebankan kerajaan.
Baginda raja, dalam pada itu, sudah lama mendengar tentang seorang puteri di sebuah desa di hulu sungai Bulian bersama kedua orang saudara laki-lakinya. Puteri itu bernama Puteri Dayang Lais yang amat cantik paras wajahnya. Sedang saudara laki-lakinya, yang tua bernama Serempak, dan yang muda Si Ceren. Kedua lelaki itu di samping sebagai kakak juga berlaku sebagai seorang tua bagi Puteri Dayang Lais. Ibu dan bapak mereka sudah lama meninggal dunia. Kedua lelaki itu memiliki kelebihan dalam hal tertentu sehingga ditakuti oleh dubalang-dubalang lain.
Semenjak mendengar kabar tentang puteri yang cantik tersebut, raja berkeinginan untuk mempersuntingnya. Kendatipun demikian baginda tahu, untuk memperoleh puteri itu tidak mudah, karena selalu diawasi oleh kedua orang kakak lelakinya yang terkenal cukup tangguh. Di dorong oleh rasa berahinya, diutus bagindalah tujuh orang hulu balang untuk meminang Puteri Dayung Lais. Ternyata ketujuh hulubalang ini tak mampu menghadapi. Seremapk dan Si Ceren, kakak Puteri Dayang Lais, sehingga mereka kembali dengan tangan hampa. Setelah itu diutus pula beberapa kali hulubalang lain, namun juga belum berhasil. Semenjak itu baginda tak mencoba lagi mengirim utusan untuk meminang Puteri Dayang Lais yang menawan hatinya. Beberapa lamanya Baginda harus memendam rasa berahi. Sampai pada suatu ketika baginda teringat akan seorang hulubalang di desa Rengas Condong, yang bernama Hulubalang Tengkorak Batu. Sebenarnya hulubalang ini amat terkenal di Kerajaan Jambi. Hanya saja beliau suka hidup menyendiri, menjauhi ibu negeri Kerajaan. Hulubalang inilah kemudian yang dipanggil raja untuk disuruh meminang Puteri Dayang Lais.
Hulubalang Tengkorak Batu telah menyanggupi untuk pergi mengambil puteri yang telah menggundah gulanakan raja. Ia menunggu pelangkahan yang baik untuk menjalankan tugasnya. Setelah di rasanya ada kesempatan, maka berangkatlah beliau ke desa Puteri Dayang Lais. Dijumpainya Puteri Dayang Lais kedua orang kakaknya yang sedang pergi jauh mencari keperluan dan kebutuhan hidup mereka tiga saudara. Hulubalang Tengkorak Batu langsung menyampaikan apa yang sedang dilakukannya.
Mula-mula Puteri Dayang Lais tak hendak dibawa serta ke Jambi. Ia takut kelak dimarahi oleh kedua orang kakaknya Serempak dan Si Ceren. Tapi berkat kepintaran bujuk rayu, akhirnya ia bersedia juga. Dengan rasa berat berangkatlah puteri itu bersama Hulubalang Tengkorak Batu ke Jambi. Sebelum meninggalkan rumah, Puteri Dayang Lais mengambil selembar kain cindai dan segantang biji asam jawa. Kakaknya dulu pernah berpesan, apabila ada seseorang yang melarikannya, sedangkan mereka tak ada di rumah, maka kain cindai itu harus dirobek-robek dan ditebarkan di sepanjang jalan yang dilalui, begitu juga dengan biji-biji asam jawa tersebut.
Puteri Dayang Lais telah meninggalkan desanya di hulu Sungai Bulian. Dan setelah sampai di Jambi, langsung diserahkan kepada raja yang bersemayam di istana. Tak lama kemudian ia pun kawin dengan raja. Selang beberapa lama kemudian Serempak dan Si Ceren kembali dari rantau. Dilihat mereka adik yang disayangi tak ada lagi. Kemana gerangan puteri itu. Kalau dilarikan orang sungguh pengecut sekali, melakukan perbuatan itu ketika kedua orang kakaknya tak ada di rumah. Maka diputuskanlah oleh kedua lelaki bersaudara itu untuk segera mencari adik mereka yang hilang.
"Baik kita cari Si Dayang !" kata Serempak kepada adiknya Ceren. "Kalau dia masih ingat pesan kita tentu akan kita jumpai nanti sobekan kain cindai dan biji asam jawa. Asam jawa tersebut mungkin sudah tumbuh."
"Itu cara yang sebaik-baiknya," jawab Si Ceren. "Kita terlalu lama bepergian. Mungkin ini sesuatu kelalaian kita." Serempak tak menjawab, hatinya bagaikan disulut api. Rasa marahnya muncul seketika.
Esok harinya berangkatlah kedua lelaki bersaudara itu mencari adik mereka yang hilang. Baru saja mereka ke luar dari desa, di sepanjang jalan yang mereka lalui, bertemu dengan pohon-pohon asam jawa dan potongan-potongan kain cindai. Tahulah mereka bahwa Puteri Dayang Lais dilarikan orang arah ke desa Rengas Condong. Tak berapa lama berjalan akhirnya sampailah kedua orang beradik kakak itu ke rumah Hulubalang Tengkorak Batu. Sobekan-sobekan kain cindai serta pohon asam Jawa memang berakhir sampai di rumah hulubalang itu. Di sana mereka segera bersua dengan hulubalang yang terkenal tersebut. Tanpa bertanya, kedua lelaki bersaudara, kakak Puteri Dayang Lais, langsung menikam Hulubalang Tengkorak Batu dari belakang. Tanpa menoleh Hulubalang Tengkorak Batu menepis tikaman tangan Serempak dan Si Ceren.
"Lalat kurang ajar." Hulubalang Tengkorak Batu. Serempak dan Si Ceren kembali menikam untuk yang kedua kalinya Hulubalang Tengkorak Batu kembali menepiskan tikaman itu.
"Kalau bukan lalat, tentu seekor nyamuk lapar," Hulubalang Tengkorak Batu bersungut-sungut. Barulah pada tikaman yang ketiga hulubalang keramat tersebut menoleh ke belakang.
"Amboi, kalian rupanya!" kata Hulubalang Tengkorak Batu kepada Serempak dan Si Ceren. "Apa sebabnya itu kalian lakukan terhadap aku? Naiklah dulu kita ke rumah. Bertanya tentu selepas lelah." Maka naiklah ketiga lelaki itu ke rumah. Pada kesempatan itu diceritakanlah oleh Hulubalang Tengkorak Batu duduk persoalan yang sebenarnya.
"Aku tahulah," katanya. "Kalian mencari Puteri Dayang Lais yang hilang. Adik kalian itu benar aku yang mengambilnya atau suruhan raja kita. Sekarang puteri telah kawin dengan baginda raja, dan berdiam di istana."
"Benar," jawab Serempak berang. "Kami telah menduga sebelumnya. Kini kami akan menjemput adik kami itu."
"Kalau demikian, kalau kalian bermaksud akan menjemput adik kalian itu, ayolah aku antarkan, kata Tengkorak Batu. Maka berangkatlah ketiga orang tersebut ke Jambi.
Sesampai di istana, baginda raja menerima kedua orang saudara lelaki Puteri Dayang Lais dengan semestinya.
"Apa tujuan kalian datang kemari?" tanya baginda.
"Kami hendak menjemput adik kami" jawab Serempak tegas.
"Benar, Tuanku," Sela si Ceren pula. "Boleh tak boleh adik kami harus kami bawa sekarang juga mudik."
"Kalau memang demikian maksud kalian, bawalah! Aku tak melarang kalian. Tapi satu yang kupinta, kalian harus menjaga adik kalian baik-baik, karena dia sedang dalam hamil. Bila kelak dia melahirkan anak perempuan tetaplah anak tersebut bersama ibunya di Bulian. Tapi kalau Puteri Dayang Lais melahirkan anak laki-laki kalian antarkan kembali ke Jambi!? Sabda baginda.
"Kalau demikian kata Tuanku, baiklah!" jawab Serempak dan Si Ceren. Sekarang izinkanlah kami berangkat membawa serta adik kami!" Maka kembalilah ketiga orang bersaudara itu ke Bulian kampung halaman mereka.
Puteri Dayang Lais ternyata melahirkan seorang anak laki-laki. Anak tersebut dipeliharanya dengan kasih sayang seorang ibu sejati. Setelah anak itu berumur tujuh tahun diantarkanlah oleh Serempak dan Si Ceren ke Jambi kehadapan ayahandanya. Melihat anak itu telah datang baginda tidak segera mempercayai bahwa itu adalah anaknya. Untuk membuktikan apakah anak lelaki itu adalah anaknya, baginda menyuruh menyebutkan apa nama kayu, yang telah terlebih dahulu dibuang kulitnya, serta anak lelaki kecil itu harus pula dapat menyebutkan nama pangkal dan nama ujung kayu itu.
"Cobalah engkau tebak, Nak!" seru raja kepada anak lelaki itu. "Kalau engkau benar anakku, tentu engkau dapat menebaknya."
Anak lelaki itu sebentar menatap muka baginda, dan dengan tersenyum manis berkatalah ia. "Menurut tenung meneko, nama kayu ini naga sari."
"Bagus, tepat benar jawabanmu" teriak raja gembira. "Mana pula pangkal serta ujungnya?"
"Ini ujungnya dan itu pangkalnya" jawab, anak itu seraya menunjuk dengan jarinya yang montok. Raja amat gembira anak lelaki itu dengan tepat dapat menebak yang ditanyakan baginda kepadanya. Dipeluknya segera anaknya, dan semenjak itu anak lelaki tersebut tinggallah bersama ayahnya di istana.
Dalam pada itu datang pula utusan dari Raja Komering di Palembang meminta bantuan Jambi memerangi Belanda. Raja Komering ketika itu sedang berjuang sehebat-hebatnya melawan Belanda. Oleh raja Jambi satu-satunya hulubalang yang mungkin menurut taksirannya yang dapat membantu Komering melawan Belanda ialah Hulubalang Tengkorak Batu.
Setelah menerima perintah raja, tanpa berlalai-lalai berangkatlah Hulubalang Tengkorak Batu menuju Palembang. Dalam peperangan ini Belanda dapat dikalahkan, dan Komering aman kembali.
Tapi hulubalang Tengkorak Batu tewas dalam peperangan. Oleh Belanda kepalanya dibuang ke darat, badannya dibuang ke laut. Semenjak itu di air, Buaya mengamuk dan di darat harimau mengganas. Sudah banyak orang ditangkap buaya dan dimakan harimau. Ketakutan timbul di mana-mana. Orang tak berani lagi turun ke ladang, atau nelayan tak berani lagi mencari ikan ke sungai dan ke laut. Di mana-mana harimau dan buaya siap menunggu menewaskan penduduk.
Untung kemudian Raja Komering bermimpi, untuk menghindari supaya buaya dan harimau tidak lagi mengamuk hendaklah kepala Hulubalang Tengkorak Batu, dikembalikan ke daerah asalnya. Berdasarkan petunjuk mimpi tersebut dicarilah kepala Hulubalang Tengkorak Batu, dan setelah ditemukan dikirim langsung ke Jambi. Sesampai di Jambi, maka diantarkan ke desa Rengas Condong negeri asal hulubalang keramat tersebut. Lalu dikuburkan menurut tata cara kebesaran negeri. Sampai sekarang kuburan Hulubalang Tengkorak Batu masih ada dan dapat dijumpai.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja