Pada suatu ketika, tepatnya pada tahun 1507 saka atau sekitar tahun 1585 Masehi, pecahlah pertempuran antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon akibat peristiwa Harisbaya, padahal dua Kerajaan atau Kesultanan ini merupakan dua negara yang sangat dekat kekeluargaannya dan menjalin hubungan bilateral yang sangat baik.
Cerita ini bermula ketika raja Sumedang Larang saat itu, Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, dan ketika beliau pulang dari tempat-tempat tersebut, beliau singgah di Cirebon yang berada dibawah kekuasaan Panembahan Ratu. Sebagai seorang raja yang masih muda, Prabu Geusan Ulun sangat giat belajar bahkan tak segan menuntut ilmu hingga ke daerah lain, selain itu beliau juga dikenal sangat cerdas dan kabarnya mempunyai paras yang sangat tampan. Prabu Geusan Ulun sendiri pergi belajar ke Demak untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang beliau berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang. Ketika berada di Pajang, Prabu Geusan Ulun bertemu dengan Harisbaya, perempuan cantik Puteri Pajang berdarah Madura ini rupanya berhasil memikat hati Pangeran Geusan Ulun dan membuat beliau jatuh hati padanya, dan singkat cerita pada akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.
Di lain pihak, tak lama berselang dari itu kabarnya di Pajang sedang ada perebutan kekuasaan setelah wafatnya raja Pajang, Hadiwijaya. Perebutan kekuasaan ini terjadi antara keluarga Keraton Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu (Cirebon) yang menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah putra bungsunya sendiri, Pangeran Banowo. Tapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto yang juga merupakan menantu Hadiwijaya-lah yang berhak menggantikan Hadiwijaya, dan pada akhirnya dipilihlah Arya Pangiri sebagai penerus kekuasaan di Pajang.
Kembali lagi ke Harisbaya, seperti yang telah disebutkan di atas Harisbaya ini merupakan puteri Pajang berdarah Madura dan telah menjalin kasih dengan Prabu Geusan Ulun ketika beliau bertamu ke Pajang, tak disangka oleh Prabu Geusan Ulun dan Harisbaya sebelumnya...ternyata karena kecantikannya Harisbaya di “berikan” oleh Arya Pangiri kepada Panembahan Ratu Cirebon, karena saat itu Arya Pangiri menjadi penguasa Pajang seperti yang telah disebutkan di atas dan berkuasa untuk melakukan hal tersebut. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri ini dimaksudkan agar Panembahan Ratu bersikap netral terhadap perselisihan yang terjadi di Pajang, karena selama ini Panembahan Ratu lebih condong atau mendukung kubu Pangeran Banowo agar meneruskan kekuasaan di Pajang.
Malang tak dapat ditolak, akhirnya hubungan kekasih antara Prabu Geusan Ulun dan Puteri Harisbaya pun harus putus karena sang Putri dipaksa menikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri...cinta yang sedang menggebu-gebu pun kandas begitu saja. Melihat kejadian ini, ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang maksud Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon adalah untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya, dan sekalian juga melihat mantan kekasih untuk yang terakhir kali.
Tapi ternyata kejadian selanjutnya sungguh sangat diluar dugaan, melihat mantan kekasihnya datang...Harisbaya tampaknya tidak bisa menahan rasa rindu dan cintanya kepada Prabu Geusan Ulun, seketika cintanya makin mengebu-gebu. Diceritakan setelah Panembahan Ratu tertidur Harisbaya diam-diam mendatangi tempat dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat, ia datang membujuk Prabu Geusan Ulun agar mau membawa dirinya pergi ke Sumedang.
Sontak saja hal tersebut membuat Prabu Geusan Ulun bingung, karena walau bagaimanapun Harisbaya adalah istri pamanya sendiri, Penembahan Ratu. Tetapi dilain pihak Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila ia tidak membawanya pergi ke Sumedang. Di tengah kebingungannya itu, Prabu Geusan Ulun meminta nasehat kepada empat pengawalnya...dan setelah bermusyawarah diambilah keputusan untuk menuruti keinginan Harisbaya, walaupun diakui hal itu pasti akan menimbulkan peperangan dan pertumpahan darah. Hal ini mungkin berdasarkan perhitungan juga, toh jika keinginan Harisbaya tidak dituruti dan ia bunuh diri, masalah dan salah paham tentunya akan semakin runyam, rombongan Prabu Geusan Ulun bisa dikira sebagai pembunuhnya.
Akhirnya setelah melalui berbagai pertimbangan, malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang. Tentu saja hal tersebut membuat Keraton Cirebon gempar di pagi harinya, karena permaisuri beserta tamu Panembahan Ratu hilang begitu saja. Disinilah awal mula pertempuran Sumedang dengan Cirebon, karena melihat istrinya hilang bersama tamunya Prabu Geusan Ulun, Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar rombongan Prabu Geusan Ulun, tetapi prajurit Cirebon yang menyusul Prabu Geusan Ulun dapat dipukul mundur dan dipatahkan dengan mudah oleh empat pengiring Prabu Geusan Ulun yang terkenal sangat sakti.
Perang sudah tak dapat dielakkan, Sumedang harus bersiap menghadapi gempuran selanjutnya dari Cirebon. Sebelum berangkat berperang Eyang Jaya Perkosa berwasiat kepada Prabu Geusan Ulun bahwa ia akan menanam pohon hanjuang di ibukota Sumedang Larang (saat itu ibu kota Sumedang Larang terletak di Kutamaya) sebagai tanda, apabila ia kalah atau mati maka pohon hanjuang tersebut juga akan mati dan apabila ia menang serta masih hidup, maka pohon hanjuang tersebut pun akan tetap hidup. Setelah berkata demikian Eyang Jaya Perkosa pun berangkat bertempur, peperangan pun berlangsung sangat lama karena pasuka Cirebon yang dihadapi sangat banyak, namun demikian Eyang Jaya Perkosa tetap memenangkan pertempuran tersebut, bahkan saking bersemangatnya beliau terus mengejar dan menghabisi pasukan Cirebon yang telah tercerai berai.
Dan karena terlalu semangat mengejar musuh, pada akhirnya Eyang Jaya Perkosa terpisah dari ketiga saudaranya yaitu Embah Nangganan, Embah Kondang Hapa dan Embah Terong Peot, dimana ketika ketiganya kembali ke Kutamaya Eyang Jaya Perkosa masih terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. Karena Eyang Jaya Perkosa tidak turut pulang bersama tiga saudaranya, Prabu Geusan Ulun menjadi sangat gelisah dan cemas, karena walau bagaimanapun Eyang Jaya Perkosa bisa diibaratkan sebagai ujung tombak Sumedang Larang, dan jika ia sampai gugur maka Sumedang akan sangat kehilangan...dan pada nyatanya saat itu mereka mengira Eyang Jaya perkosa telah gugur dan situasi pun semakin panik, adalah Embah Nangganan yang pertama kali mengira Eyang Jaya Perkosa telah gugur.
Setelah berdiskusi, akhirnya mengikuti anjuran Eyang Nangganan Prabu Geusan Ulun bergegas untuk berlindung ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Eyang Jaya Perkosa, karena mungkin saking paniknya. Sejak saat itu pula ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur, pemindahan ibukota ini sendiri merupakan taktik Prabu Geusan Ulun untuk menghindari serangan lanjutan dari Cirebon karena saat itu benteng di Kutamaya yang mengelilingi ibukota belum selesai dibangun, di sisi lain Dayeuh Luhur juga merupakan daerah dataran tinggi yang bisa menjadi benteng alam yang baik dan juga dapat mengawasi secara langsung musuh yang datang dari jauh, selain daripada itu kabuyutan kerajaan juga terdapat di Dayeuh Luhur.
Di tempat lain, di Kutamaya, Eyang Jaya Perkosa pulang dengan membawa kemenangan...tapi ia heran, ternyata Kutamaya telah kosong ditinggalkan raja dan penduduknya, ia melihat pohon hanjuang yang ditanamnya pun masih hidup. Dengan marah ia pergi menyusul ke Dayeuh Luhur, setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun ia benar-benar melampiaskan amarahnya dengan membunuh Embah Nangganan, yang menyarankan ibukota dipindah dan mengatakan bahwa dirinya telah gugur....setelah itu iapun pergi, dan bersumpah tidak mau mengabdi lagi untuk siapapun juga, ia berdiri di suatu tempat lalu ngahyang atau menghilang.
Pada peristiwa ini, masa lalu Eyang Jaya Perkosa sebagai Senapati Kerajaan Padjadjaran mungkin ikut menjadi pemicu emosinya...karena penyebab runtuhnya Padjajdjaran adalah serangan dari gabungan pasukan Islam Cirebon, Demak, dan Banten...dan melalui peperangan antara Sumedang dengan Cirebon ini mungkin bisa beliau jadikan sebagai bakti lanjutan pada Padjadjaran untuk melawan Cirebon lewat tangan Sumedang, dan mengembalikan kejayaan Padjadjaran melalui Sumedang.
Di lain pihak, pada akhirnya Panembahan Ratu dikabarkan bersedia menceraikan Harisbaya dan itu berarti Prabu Geusan Ulun bisa menikahinya secara sah, dengan syarat ganti talaknya adalah daerah Sindangkasih Sumedang...dan akhir cerita Harisbaya pun menjadi istri kedua Prabu Geusan Ulun secara sah, dan perseteruan dengan Cirebon pun berakhir.
Nah untuk yang terakhir ini sampai sekarang masih terjadi perdebatan, pro dan kontra, tentang daerah Sindangkasih yang diberikan pada Cirebon sebagai ganti talak. Banyak yang meyakini dan mengetahui baik dari cerita turun temurun maupun dari beberapa fakta sejarah, daerah Sindangkasih yang diberikan kepada Cirebon ini adalah Kabupaten Majalengka sekarang, namun demikian nampaknya hal tersebut harus diteliti lagi lebih lanjut agar tidak menimbulkan pro dan kontra atau kebingungan sejarah.
Oh ya, hanjuang di Kutamaya ini masih terus hidup dengan subur hingga saat ini, apakah ini berarti Eyang Jaya Perkosa juga masih hidup ?? Wallahua'lam. Kisah Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya ini sekarang bahkan sudah ada cerita novelnya, kalau tidak salah judulnya "Harisbaya Bersuami 2 Raja", tapi sayangnya saya sendiri belum pernah baca.
Sumber artikel : https://www.jeryanuar.web.id/2013/06/kisah-hanjuang-di-kutamaya.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja