Konon, gula kawung/gula aren khas Baduy memiliki rasa manis yang pas. Gula kawung dikonsumsi sehari-hari sebagai pemanis makanan dan minuman. Pengawet gula tersebut menggunakan kulit, pohon manggis, dan sarang lebah (sarang odeng). Cetakan gula aren terbuat dari kayu.
Proses pembuatan gula ini tidak semanis rasanya. Untuk membuat gula kawung, harus memanjat pohon aren untuk mengambil air niranya. Biasanya, air nira diambil dua kali sehari, pagi dan sore.
Hasil sadapan air nira ditampung dalam bambu yang disebut lodong. Dalam proses pembuatan gula kawung, masyarakat melakukannya di saung dekat kebun jauh dari rumah, api besar yang digunakan untuk memasak berbahaya apabila dekat rumah dan asapnya mengganggu tetangga. Air nila yang ditampung dalam kuali besar direbus di atas bara api besar hingga kental, bila terlihat sudah susah diaduk karena pekat dan kental tandanya air nira sudah siap cetak. Bila selesai dicetak, gula kawung dibungkus dan diikat lalu siap dipasarkan. Petani harus mengambil air nira (lahang) pagi pada pukul 6 atau 7 pagi, jika lebih dari waktu tersebut lahang akan asam dan gulanya lengket. Begitupun saat sore hari, petani harus menjemput lahang pada pukul 15:00 atau 18:00. Di saat cuaca kurang baik, petani harus tetap memanjat pohon aren untuk menjemput lahang tepat pada waktunya. Tak selesai sampai di situ, petani gula juga harus memasak lahang tersebut sampai mendidih agar tidak basi.
Petani biasanya tidak setiap hari memasak langsung lahang sampai menjadi gula karena butuh waktu lima sampai enam jam dari air sampai menjadi gula. Jika sudah jadi gula, petani menjual gula satu butir dengan harga Rp8.000 atau Rp10.000.
Proses pembuatan gula aren tidak sebanding dengan harganya. Sesuai dengan peribahasa "Tungkul Ka Jukut, Tanggah Ka Sadapan" yang artinya petani gula tidak boleh banyak pilihan, hanya boleh melihat ke atas nira dan ke bawah ke semak-semak. Peribahasa tersebut menggambarkan betapa setianya para petani gula terhadap pekerjaannya.
Sumber:
https://www.instagram.com/mulyono_nasinah/
https://direktori-wisata.com/pesona-suku-baduy-desa-wisata-kanekes-banten/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja