Deskripsi
Grebeg Besar Demak merupakan sebuah acara budaya tradisional besar yang menjadi salah satu ciri khas Demak. Tradisi Grebeg Besar Demak ini berlangsung setiap tahun pada tanggal 10 Dzulhijah saat Idul Adha. Dimeriahkan dengan karnaval kirap budaya yang dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak hingga ke Makam Sunan Kalijaga yang terletak di Desa Kadilangu, jaraknya sekitar 2 kilometer dari tempat mulai acara.
Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang mempunyai nilai ritual keagamaan bagi warga masyarakat Kabupaten Demak untuk menyambut datangnya hari raya Lebaran Haji pada setiap tanggal 10 Zulhijah. Grebeg pertama kali diadakan untuk memperinghati hari jadi Mesjid Demak yang dibangun oleh Sunan Kalijogo bersama Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel dengan potongan-potongan kayu atau tata dalam tempo sehari. Pada waktu itu merupakan satu-satunya mesjid di Jawa. Sebelum peringatan dimulai diupayakankan bagaimana caranya untuk memancing kedatangan masyarakat desa yang masih banyak menganut agama dibawah Islam. Maka diadakan berbagai acara dan atraksi. Kesenian tradisional maupun permainan yang disenangi masyarakat pada waktu itu ditrampilkan sehingga rakyat impulse akan hilang tertarik kepada agama yang ada. Karena seringnya mengdengar dan melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah masuk Islam, masyarakat yang belum tahu akan agama tersebut tertarik perhatiannya dan menimbulkan rasa ingin mengerti.
Asal Mula
Demak merupakan kerajaan Islam pertama dipulau jawa ,disamping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam dipulau Jawa. Berbagai upaya dilakukan oleh para Wali dalam menyebarluaskan agama Islam. Berbagai halangan dan rintangan menghadang, salah satu diantaranya adalah masih kuatnya pengaruh Hindu dan Budha pada masyarakat Demak pada waktu itu. Pada akhirnya agama Islam dapat diterima masyarakat melalui pendekatan pendekatan para Wali dengan jalan mengajarkan agama Islam melalui kebudayaan atau adat istiadat yang telah ada. Untuk itu setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Islam memperingati Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan Sholat Ied dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban kemudian diadakan Grebeg Besar Demak. Pada waktu itu, dilingkungan Masjid Agung Demak diselenggarakan pula keramaian yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasaan agama Islam oleh Wali Sanga. Bentuk keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo angkatan I mengadakan sidang di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.
Artinya : Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas masuk Islam.
Konon, Grebeg telah ada sejak 1428 tahun saka, atau 1506 Masehi pada zaman Majapahit. Para Raja Jawa secara turun temurun menyelengarakan upacara pengorbanan dengan menyembelih seekor kerbau jantan yang masih liar untuk dipersembahkan sebagai sesajian kepada dewa atau arwah para leluhur. Upacara korban merupakan upacara kenegaraan yang disebut Rajaweda dengan harapan mendapatkan kemakmuran dan dijauhkan dari segala malapetaka. Pada jaman kesultanan Demak Bintoro, yang diperintah Raden Patah, kebiasaan Raja Jawa mengadakan upacara Rajaweda bertentangan dengan ajaran agama Islam. Akhirnya, upacara tersebut ditiadakan. Para wali mengambil kebijaksanaan Grebeg dilestarikan sebagai salah satu jalan pendekatan dengan umat agama sebelumnya dengan mengubah corak dan tata caranya menurut Islam. Dari keseluruhan acara Grebeg Besar yang menarik adalah pada malam 9 Zulhijah yaitu tumpengan di serambi depan mesjid agung Demak. Tumpeng tersebut berjumlah sembilan atau songo, berbentuk gunungan atau kerucut yang masing-masing lengkap dengan lauk pauknya mencerminkan kebesaran dan jumlah wali yang sembilan orang, yaitu Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Dradjat, Sunan Kalijogo, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Tumpeng itu diarak dari pendopo kebupaten Demak diiring dengan kesultanan Demak Bintoro tempo dulu ke mesjid agung Demak untuk direbutkan oleh pengunjung yang sudah menunggu di mesjid. Setelah acara resmi berupa selamatan yang dihadiri oleh Bupati Demak, para pejabat dan sesepuh masyarakat setempat, tumpeng sembilan tadi diperebutkan atau diraya pengunjung. Dengan memperoleh bagian tumpeng para pengunjung mempunyai suatu kepercayaan. Hidupnya akan dekat dengan rezeki yang dianugerakan oleh Allah SWT. Bahkan potongan-potangan bambo yang dipakai untuk membuat ancakan atau welat menurut mereka mempunyai keampuhan. Dapat dipergunakan untuk penangkal serangan hawa disawah, serta panen perkebunan dan pertanian lainnya. Yang juga banyak mengundang perhatian baik warga Demak maupun para pengunjung dari Grebeg Besar mengarak penjamas dari pendopo kebupaten ke komplex makam Kadilangu dilakukan setelah selesai salat Idul Adha dan khotbah pada 10 Zulhijah. Menjelang pemberangkatan minyak jamat, diawali dengan penabuhan gamelan hidup hingga nampak regeng (meriah) dan para tamu yang semuanya berbusana kejawen dihibur dengan Tari Budoyo. Lurah Tantama didampingi dua orang Wiratama melangkah menaiki terap pendopo maju menghadap Bupati untuk melapor bahwa ia siap melaksanakan tugas pengawalan minyak jamas. Seorang puteri dayang disertai keluarganya melangkah menuju meja mengambil bokor berisi minyak jamas diserahkan kepada Lurah Tantama. Setelah menerima minyak jamas, Lurah Tantama laporan kepada Bupati bahwa ia dan prajurit patang puluhan mohon doa restu berangkat menuju Kadilangu. Keunikannya terletak pada pengawal pembawa minyak jamas yang terdiri dari 40 orang prajurit patang puluhan. Para prajurit mengenakan pakaian tradisional yang menggambarkan kegagahan prajurit kesultanan Demak Bintoro tempo dulu. Di kepalanya memakai kain kepala yang disebut desta, memakai pinan ikat pinggang dan membawa tombak sebagaimana layaknya seorang prajurit. Setelah tiba rombongan pembawa minyak jamas di Kadilangu, sesapuh dan keluarga ahliwaris Sunan Kalijogo mengadakan upacara penyambutan utusan dari Sultan Bintoro yaitu prajurit patang puluhan untuk menyerahkan minyak jamas. Utusan dari Sultan Bintoro langsung diterima sesepuh didampingi pembantunya dan keluarga. Minyak jamas diterima oleh pihak ahli waris kesepuhan Sunan Kalijogo, selanjutnya prajurit patang puluhan kembali ke kabupaten. Dengan selesainya serah terima Minyak Jamas, sesepuh dan keluarga ahliwaris berangkat menuju ke makam Kanjeng Sunan Kalijogo untuk melaksanakan upacara penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijogo yang berupa jubah ontokusama, Keris Kiai Carubuk dan Kiai Sirikan.