Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Aceh
Geugasi dan Geugasa
- 20 Agustus 2009
Zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun perampokan. Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada masalah, mereka langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di sana hidup penuh rukun dan saling tolong menolong.Di kampung itu, hiduplah seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu itu dijual ke pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.Suatu hari, kampung yang aman itu dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah.

Semua masyarakat mencarinya, tapi tak seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di sana yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana. Kejadian ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya, "Sebenarnya siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?"Hari-hari berikutnya, makin banyak warga yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga telah hilang ketika dia bermain hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang hari.

Masyarakat menebak bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di daerah itu sangatlah besar.Masyarakat di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati mereka. Mereka pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan dengan keadaan itu memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.Keesokan harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu melarangnya. "Jangan Ahmad, nanti kamu dimakan geugasi," ucap ibunya gusar."Tidak Bu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat."Akhirnya ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad, anaknya yang keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri.

Dia hanya membawa bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad terus berjalan hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia berjalan. Keringat mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di bawah pohon. Dari kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad muncul kembali. Dia menuju rumah itu.Rumah panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya."Tolong... tolong....."Ahmad terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu.

Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan berjanji akan memulangkannya pada ibunya.Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. "Itu pastilah geugasi," pikir Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya. Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. "Aku mencium bau manusia...." ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut."Siapa di dalam?" tanyanya penasaran."Geugasa," jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di lantai.Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya lagi, "Coba kulihat gigimu!"Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, "Coba kulihat kumismu!"Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar.

Si geugasi lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, "Coba kulihat tahimu!"Ahmad pun melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. "Oh, pastilah dia amat sangat besar.... Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya," ucap geugasi pada dirinya sendiri."Aku sangaat lapaarrr.... apakah ada makanan disini?" ucap Ahmad dengan suara yang dikeras-keraskan.Mendengar itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan. "Aaarrrgghhhhh...... kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana."Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa. Tanpa menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya.

Dia mengerang begitu keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun tersungkur di tanah. Dia mati.Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.Kisah ini ditulis ulang Rahmawati dari lisan Bustamam (57 tahun), warga Pulo Lhee, Kecamatan Sakti, Kabupaten PidieSumber:
http://blog.harian-aceh.com/geugasi-dan-geugasa.jsp

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Balai Padukuhan Klajuran
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Balai Padukuhan Klajuran merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa yang ditandai oleh bentuk atap limasan dan kampung. Bangunan ini terdiri dari pendhapa, nDalem, dan gandhok, serta menghadap ke selatan. Pendhapa memiliki denah persegi panjang dan merupakan bangunan terbuka dengan atap limasan srotong yang terbuat dari genteng vlam dan rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk. Atap tersebut ditopang oleh 16 tiang kayu, termasuk 8 tiang utama dan 8 tiang emper, yang berdiri di atas umpak batu. Di belakang pendhapa terdapat pringgitan yang menyambung dengan nDalem, yang memiliki denah persegi panjang dan atap limasan srotong dengan atap emper di sebelah timur. Atap nDalem terbuat dari genteng vlam, dindingnya dari bata, dan disangga oleh empat tiang di bagian tengah. nDalem memiliki pintu masuk di bagian tengah serta pintu yang menghubungkan dengan gandhok, dan dilengkapi dengan senthong yang terdiri dari senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwo. Di sebelah timur n...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pesanggrahan Hargopeni
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pesanggrahan Hargopeni adalah rumah tinggal milik Keluarga Kadipaten Pakualaman yang didirikan sekitar tahun 1930-an pada masa Paku Alam VII. Bangunan ini dirancang oleh Ir. Wreksodiningrat, insinyur pribumi pertama lulusan Belanda dan kerabat Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan ini pernah digunakan untuk menginap delegasi dari Australia selama Perundingan Komisi Tiga Negara pada 13 Januari 1948. Selama Agresi Militer II, bangunan ini menjadi camp tawanan perang Belanda. Saat ini, Pesanggrahan Hargopeni masih dimiliki oleh Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan Hargopeni adalah bangunan milik Kadipaten Pakualaman yang terletak di Jalan Siaga, Pedukuhan Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Keluarga Pakualaman, bangunan ini mengusung gaya arsitektur New Indies Style, sebuah perpaduan antara arsitektur modern Belanda dan tradisional Nusantara yang disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Pesanggrahan Hargopeni menampilk...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Joglo Fajar Krismanto
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Joglo milik Fajar Krismasto dibangun oleh Soerodimedjo (Eyang buyut Fajar Krismasto, seorang Lurah Desa), semula berbentuk limasan. Kemudian dilakukan rehabilitasi menjadi bangunan tradisional dengan tipe Joglo dan digunakan sebagai Kantor Kalurahan Karanglo, tempat pertemuan, pertunjukan kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa perang kemerdekaan, rumah ini digunakan sebagai markas pejuang dan tempat pengungsian Agresi Militer II. Rumah milik Fajar Krismasto merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa tipe Joglo. Mempunyai empat sakaguru di bagian pamidhangan dengan atap brunjung, dan 12 saka pananggap di keempat sisinya. Di ketiga sisi, depan dan samping kiri-kanan terdapat emper. Saka emper terdapat Bahu Danyang untuk menahan cukit. Joglo ini mempunyai lantai Jerambah untuk bagian Pamidhangan dan Pananggap, dan Jogan pada bagian Emper. Di bagian depan dengan dinding dari kayu atau biasa disebut gebyok, sedangkan di bagian lain dengan tembok. Lantainya menggunakan t...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Ginonjing
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Tengah

Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline