×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Ritual Adat

Provinsi

DI Jogjakarta

Asal Daerah

Jogjakarta

Garebeg

Tanggal 28 Dec 2018 oleh Aze .

Garebeg merupakan salah satu upacara yang hingga saat ini rutin dilaksanakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kata Garebeg, memiliki arti diiringi atau diantar oleh orang banyak. Hal ini merujuk pada Gunungan yang diiringi oleh para prajurit dan Abdi Dalem dalam perjalanannya dari keraton menuju Masjid Gedhe. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa Garebeg atau yang umumnya disebut “Grebeg” berasal dari kata “gumrebeg”, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.
 
 
Besar kemungkinan bahwa Upacara Garebeg berasal dari tradisi Jawa kuno yang disebut Rajawedha. Pada upacara tersebut raja akan memberikan sedekah demi terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya. Tradisi sedekah raja ini awalnya sempat terhenti ketika Islam masuk di Kerajaan Demak. Akibatnya masyarakat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri tersebut. Melihat gejala demikian, Wali Songo yang menjadi penasehat Raja Demak kemudian mengusulkan agar tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan kembali. Akan tetapi, kali ini upacara yang berasal dari tradisi Hindu tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penyebaran agama Islam.
 
Sejak periode Demak, upacara sedekah raja yang kemudian dijadikan sarana syiar Islam tersebut dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kesaksian untuk memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang merujuk kepada dua perangkat gamelan keraton yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Tidak berhenti sebatas untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa untuk menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sejak saat itu tradisi sedekah raja ini berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri.
 
Berawal dari Demak, Kerajaan Islam di Jawa berikutnya tetap memelihara tradisi sedekah raja tersebut. Di Yogyakarta, tiga kali dalam setahun, upacara tersebut digelar dengan nama Garebeg Mulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Garebeg Mulud digelar pada tanggal 12 Rabiul Awal (Mulud) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Sawal digelar pada tanggal 1 Sawal untuk menandai berakhirnya bulan puasa, dan Garebeg Besar dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijah (Besar) untuk memperingati Hari Raya Idul Adha.
 
 
Selain bernuansa syiar Islam, dahulu kala Upacara Garebeg juga mempunyai nuansa politik. Garebeg bisa dikatakan sebagai upacara terbesar yang diselenggarakan keraton. Pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, para Bupati Manca Negara diwajibkan hadir di Ibukota kerajaan sebagai tanda bukti kesetiaannya terhadap Sultan. Ketidakhadiran para bupati tersebut dapat diartikan sebagai simbol perlawanan, seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga Prawirodirjo III dari Madiun terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono II. Bukti lainnya bahwa Garebeg merupakan upacara terbesar di masa lalu adalah dikeluarkannya protokol terhadap Residen Belanda dan pejabat-pejabat kerajaan yang hadir dalam upacara tersebut. Selain itu, pada Upacara Garebeg, Sultan berikut benda-benda yang menjadi simbol kebesarannya (Ampilan Dalem) keluar dari Bangsal Kencana menuju Sitihinggil untuk disaksikan oleh seluruh masyarakat.
 
Pada waktu berlangsungnya Upacara Garebeg, sebagai puncak acara adalah dikeluarkannya sedekah raja berupa Gunungan. Gunungan dalam Upacara Garebeg mempunyai makna dan filosofi tersendiri. Gunungan terbuat dari hasil bumi seperti palawija, buah dan sayur-sayuran, serta jajanan. Gunungan ini merupakan perwujudan rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi dari wilayah kerajaan, dan kemudian dibagikan untuk kesejahteraan rakyat.
 
Gunungan yang disiapkan Keraton Yogyakarta pada Upacara Garebeg dewasa ini ada 5 jenis. Kelima gunungan itu adalah Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Darat, Gunungan Gepak dan Gunungan Pawuhan. Jumlah Gunungan yang dikeluarkan setiap tahun sangat beragam tergantung situasi dan kondisi. Biasanya Gunungan Kakung akan dibuat lebih dari satu. Apabila Garebeg yang diselenggarakan pada Bulan Mulud bertepatan dengan Tahun Dal (satu kali dalam 8 tahun menurut kalender Jawa), maka harus ditambahkan lagi satu Gunungan, yaitu Gunungan Brama atau Gunungan Kutug.
 
Prosesi acara Garebeg dimulai dengan barisan Prajurit yang mengawal keluarnya gunungan dari dalam keraton. Gunungan yang banyak macamnya ini dikirab dari dalam Keraton menuju ke Masjid Gedhe. Setelah Gunungan selesai didoakan oleh Kyai Penghulu Keraton maka khalayak pun akan berama-ramai mendapatkan makanan yang ada di gunungan tersebut. Mereka yakin bahwa dengan mendapatkan makanan yang telah dibacakan doa, mereka pun akan mendapatkan berkah Dalem. Inilah wujud rasa keyakinan dari rakyat kepada rajanya.

Proses pemberian gunungan ini menyiratkan pesan bahwa Sultan ingin melayani kepentingan rakyat secara keseluruhan dalam rangka meraih kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, hal ini menyiratkan dukungan dari para ulama dan kalangan santri. Ini semua disimbolkan dengan Kyai Penghulu Kraton yang menerima gunungan dan membaca doa yang isinya meliputi permohonan untuk keselamatan Sultan, panjang usia Sultan, kebesaran negara yang dipimpin Sultan, serta doa-doa untuk kebaikan rakyat semuanya.

sumber :https://kratonjogja.id/hari-besar-islam/8/garebeg

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...