Gandrang, atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut gendang, adalah salah satu alat music tradisional suku Makassar yang masih dapat bertahan dan didengarkan saat sekarang. Gandrang selain berfungsi sebagai alat pengiring tarian tradisional, juga menjadi penanda diadakannya upacara tradisional, diantaranya upacara pernikahan adat Makassar. Dentuman-dentuman yang keluar dari alat music ini terbukti masih dapat menarik minat masyarakat modern dan dinikmati berbagai kalangan.
Gandrang adalah salah satu alat musik yang telah dimainkan jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia, yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa. Jika menilik lekatnya penggunaan gandrang dalam pertunjukan tari pakarena yang diperkirakan telah dipentaskan dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-16, maka gandrang bisa jadi telah digunakan pada masa itu dalam lingkup istana. Gandrang kemungkinan besar dibawa masuk ke Sulewasi Selatan dalam proses interaksi dan perdagangan dengan masyarakat luar di masanya. Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan gandrang ini mulai dijadikan instrumen irama oleh masyarakat suku Makassar, namun keberadaannya sudah sedemikian melekat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Terdapat suatu cerita rakyat yang mengisahkan awal keberadaan gandrang sebagai alat hiburan pada masyarakat. Yaitu pada saat I Lolo Bajo Karaeng Sanrobone, generasi pertama Sanrobone (Makassar) mengadakan sayembara barang siapa yang dapat membuat sesuatu barang yang bermanfaat. Si pemenang sayembara menceritakan kepada beliau tentang sebuah gandrang yang sangat besar, dibuat dari batang pohon mangga, dengan ditutup kulit kerbau. Besarnya lubang gandrang dikatakan seorang manusia dewasa dapat duduk sila di atasnya. Setiap kali gandrang besar ini dipukul, maka rakyat akan berdatangan. Terinspirasi dari cerita tersebutlah maka I Lolo Bajo memerintahkan untuk menciptakan hiburan-hiburan dengan menggunakan gandrang.
Gandrang dibedakan dalam tiga jenis yaitu Gandrang mangkasarak, gandrang pakarena, dan gandrang pamancak. Gandrang mangkasarak adalah sebuah gendang yang berukuran cukup besar, sehingga dinamakan pula dengan gandrang lompo (gendang besar). Gandrang ini ditabuh pada saat upacara adat penyucian dan pemberkatan benda-benda pusaka kerajaan yaitu kalompoang atau gaukang. Kalompoang dan gaukang adalah benda-benda pusaka milik kerajaan-kerajaan lokal yang dikeramatkan dan dianggap memiliki tuah tersendiri. Benda-benda pusaka tersebut dapat berupa keris, mahkota, atau bendera dan kehadirannya sangat terkait dengan mitologi To Manurung pada kepercayaan Bugis Makassar. Karena fungsi utamanya sebagai gendang dalam upacara adat tersebut, maka gandrang mangkasarak dikenal pula dengan nama gandrang kalompoang dan gandrang gaukang.
Gandrang yang lebih kecil berdiameter kurang lebih 30–40cm merupakan alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari-tarian tradisional, termasuk tari pakarena (tari kipas). Gandrang merupakan sumber bunyi utama di dalam pertunjukan tari pakarena. Dengan tabuhan yang cukup keras terdengar mengiringi gerakan perempuan yang lembut dan gemulai, menjadi simbolisasi dari karakter seorang laki-laki yang kuat dan energik. Gandrang dalam tarian pakarena biasanya berjumlah 2 – 4 buah dengan tabuhan yang disesuaikan dengan keahlian sang penabuh dan gerakan dari penari. Gandrang ini dikenal dengan sebutan gandrang pakarena. Gandrang yang paling umum digunakan untuk keperluan pementasan adalah gandrang jenis pakarena ini.
Gandrang akmancak merupakan jenis gandrang yang terkecil diantaranya, memiliki diameter 20 – 25 cm dan digunakan dalam pertunjukan seni bela diri Makassar yaitu akmancak. Gandrang jenis ini ditabuh untuk memeriahkan suasana permainan silat, dengan menggunakan paling sedikit dua buah gandrang yang dapat dimainkan dengan tangan maupun memakai alat pukul gendang yang terbuat dari kayu atau rotan. Karena cukup ringan, gandrang ini dapat dimainkan dengan cara duduk, berdiri, bahkan berjalan. Gandrang jenis ini juga yang dipakai dalam arak-arakan pengantin. Tidak ada gebukan baku dalam pertunjukan ini, tidak juga menyesuaikan dengan hentakan dan gerakan-gerakan pesilat, hanya berdasar pada keahlian si penabuh gandrang saja. Bagian luar gandrangnya pada umumnya dicat berwarna merah dan dapat dihias sesuai keinginan. Permintaan produksi gandrang akmancak saat ini masih ada, terutama dari organisasi-organisasi kesenian dan pencak silat. Pengrajin yang memproduksi gandrang ini dapat kita temukan di daerah Kabupaten Gowa, tepatnya di wilayah Kec. Bontonompo dan Pallangga.
Gandrang dibuat dengan bahan dasar kayu nangka atau kayu cempaka. Kayu yang dipilih untuk membuat gandrang tersebut dilubangi di bagian dalamnya, dan dihaluskan agar diperoleh bunyi yang jernih. Pada bagian kayu yang berlubang kemudian ditutup dengan menggunakan potongan kulit kambing. Kulit kambing tipis yang telah dijemur beberapa hari diikat dengan rotan atau benang nilon dan diberi cincin penyelip yang biasanya terbuat dari logam ataupun serat ijuk. Cincin ini berfungsi untuk mengatur kekencangan kulit sehingga tidak mudah kendor saat dimainkkan. Untuk memudahkan dalam proses pemasangan, sebaiknya kulit kambing tersebut direndam terlebih dahulu dengan air dingin selama 2 jam lamanya. Terdapat perbedaan bunyi yang dihasilkan dari kulit kambing jantan dan betina, yaitu bunyi “tak” pada kulit kambing jantan dan “dung” dari kulit betina. Karena penggunaan kulit ini pula maka gandrang dikategorikan sebagai alat musik membranofon. Alat pukul gendang dibuat dari tanduk kerbau yang diruncingkan sesuai keinginan penabuh dan dinamakan dengan bahasa lokal yaitu bakbalak.
Sumber: Inventarisasi WBTB, Nur Ilmiyah
Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/gandrang-alat-musik-tradisional-makassar/
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...