Meninggalkan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyisakan rasa berat hati dan akan kerinduan terhadap bentang alamnya di waktu berikutnya. Dari atas langit saja, bukit-bukit sudah terlihat menjulang indah terlukis, dan lukisan indah itu asli buatan Tuhan.
Atambua mungkin terdiri dari ratusan bukit dengan lekuk-lekuk sungainya yang tidak dialiri air. Wilayah ini memang sangat tandus. Karena tandusnya, rasa cabai yang tumbuh di wilayah ini sangatlah pedas, karena memang cabai cocok ditanam di wilayah seperti ini.
Kemudian rumah warga, dari atas langit terlihat hampir jarang, hanya terpampang hamparan tanah nan luas. Jika bertemu masyarakat Atambua yang gaya bicaranya keras, tapi hati mereka baik sekali. Pantainya membentang di sepanjang pulau dengan air yang biru, serta warna pasir yang putih.
Wilayah yang kaya akan budaya itu, membuat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melirik tanah mereka untuk dieksplor lebih dalam. Bukan tanpa tujuan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud mengunjungi Atambua. Mereka ingin memperkenalkan pada seluruh masyarakat Indonesia tentang program baru mereka bertajuk 'Indonesiana'.
Sekitar pukul 11.00 WITA, seluruh masyarakat Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah berkumpul di kaki Bukit Makes untuk menuju puncak bukit dimana di sana ada Benteng Tujuh Lapis tempat utama lakukan ritual Bei Gege Asu. Seluruh masyarakat bergabung baik dari usia yang sudah senja, maupun usia sekolah dasar.
Ritual ini untuk memohon izin leluhur sebelum membangun sebuah rumah adat atau untuk meramal masa depan. Seluruh masyarakat lokal berbaris memanjang, para perempuan membawa koba (wadah sirih pinang) dan tihar (gendang kecil). Sedangkan para lelaki tidak membawa apa-apa, kecuali lima lelaki membawa masing-masing seekor ayam pelung jantan, dan beberapa lelaki lainnya membawa seekor babi jantan warna hitam.
Lima ayam dan seekor babi yang dibawa sejumlah pria tersebut merupakan persembahan untuk para leluhur dalam ritual Bei Gege Asu. Para peserta mengenakan pakaian adat yakni sarung tenun dengan atasan kemeja putih (untuk lelaki) atau kebaya putih (untuk perempuan). Sementara untuk anak-anak gadis usia sekolah dasar hingga SMP memakai sarung tenun dengan dipadukan baju warna hitam.
Ratusan masyarakat yang mengikuti ritual ini, berasal dari 12 suku asli yang tinggal di Dirun maupun di luar Dirun. Meski berjalan kaki hingga tiga kilometer menuju puncak bukit tanpa mengenakan alas kaki, masyarakat tetap antusias, bahkan masyarakat yang perempuan sembari melakukan Tarian Likurai.
Beberapa warga ada yang kelelahan dan berhenti di tengah jalan, namun ada juga yang tetap nekat melakukan perjalanan meski kaki mereka tertusuk-tusuk duri karena banyak kaktus di wilayah tersebut. Ambulance juga disediakan mengikuti masyarakat yang berjalan kaki, namun tidak ada yang sampai masuk ke dalamnya.
Ada lima titik sebelum mencapai puncak, yang menjadi gerbang membuka jalan arwah para leluhur agar ikut serta dalam ritual ini, di setiap gerbang dipersembahkan satu ekor ayam. Jika gerbang pertama sudah terbuka, itu artinya arwah leluhur sudah ada yang mulai ikut dalam perjalanan menuju puncak, masyarakat harus menjaga sikap dan perkataan.
Puncak Bukit Makes Makes atau Hol Hora Ranu Hitu Dirun menjadi lokasi penyembelihan babi jantan sebagai persembahan terakhir. Di sana merupakan situs megalitikum yang terdiri dari tujuh lapis tembok berbentuk lingkaran.
Benteng yang dipercaya sebagai makam para leluhur ini, konon dulunya dibangun oleh warga Dirun dengan bantuan kekuatan yang tak kasat mata. "Benteng itu didirikan oleh masyarakat Dirun dengan bantuan kekuatan magis," ujar Pemerhati Budaya Daerah, Frid Da Costa, saat ditemui Republika di Atambua, NTT.
Kemudian mako'an (imam adat) meramal adanya izin dari leluhur terkait rencana pembangunan rumah adat dan masa depan bagi warga setempat melalui usus hewan yang dipotong tersebut.
Ritual Bei Gege Asu ini merupakan satu diantara lima ritual adat yang diselenggarakan oleh lima kampung adat di Kabupaten Belu dalam Foho Rai Festival 2018. Foho Rai Festival yang digelar pada 3-21 Juli 2018 merupakan sebutan bagi festival kampung adat yang digagas Indonesiana.
Salah seorang pemudi yang mengikuti ritual ini, yakni Esterina (22), mengatakan bagi masyarakat yang tetap nekat melakukan perbuatan tercela selama ritual, maka akan terkena hukuman yang paling parah hingga kematian.
"Kita harus bersikap dan berkata baik, apalagi sudah di puncak ini. Jika menemukan barang saja itu harus dikembalikan, kalau tidak dikembalikan akan kena hukumannya dari alam langsung," ujar dia yang ditemui di puncak Bukit Makes dan melewati Benteng Tujuh Lapis.
Ia juga menceritakan asal-muasal Tarian Tebe Bot yang dilakukan saat berada di puncak, dan menjadi satu bagian dalam ritual. Awalnya, tarian itu adalah tarian kemenangan yang dilakukan oleh salah seorang raja yang berkuasa di Kabupaten Belu, saat mereka menang dalam peperangan.
Biasanya, kepala-kepala manusia yang menjadi lawan mereka, akan dibawa ke puncak Bukit Makes diletakkan di tengah benteng utama berbentuk lingkaran yang disebut mot. Mereka akan melingkari kepala tersebut dan menari Tarian Tebe Bot itu.
"Semua tarian daerah pada dasarnya memiliki sejarah yang menyeramkan, saya sampai merinding kalau dengar cerita orang dulu. Tapi kalau untuk saat ini sudah tidak ada seperti itu, kan sudah tidak perang toh?" kata Esterina sembari tertawa.
Di puncak Bukit Makes ini lah, babi yang dibawa dari bawah tadi kemudian disembelih sebagai persembahan, serta untuk dilihat apakah diperbolehkan untuk membangun rumah adat. Dan mako'an sendiri merupakan orang yang dianggap memiliki ilmu yang lebih tinggi serta pengetahuan sejarah maupun ritual yang lebih banyak dibandingkan dengan kepala suku, dan mako'an memegang beberapa suku dalam satu kerajaan.
Sebagai generasi muda asli Kabupaten Belu namun merantau kuliah di Yogyakarta, Esterina merasa sudah tidak begitu percaya dengan ritual-ritual adat semacam ini. Ia merasa agama telah melarang ritual yang seperti ini, walaupun hanya sekedar untuk melestarikan kebudayaan.
"Agama saya (Kristen Protestan) melarang hal-hal seperti ini, jadi saya hanya ikut-ikutan saja. Tapi kalau untuk melestarikan kebudayaan lain seperti tarian, saya masih mau, teman-teman saya juga mau," kata Esterina.
Ini menjadi tugas masyarakat lokal yang sudah sesepuh, serta pemerintah, untuk melestarikan dan mengajak anak muda, apalagi dikabarkan beberapa wilayah di Kabupaten Belu sudah tidak memiliki mako'an karena belum ada yang dirasa pantas.
"Sebenarnya ini yang masih menjadi PR bagi kami untuk mengajak anak muda tetap tertarik dengan kebudayaan, walaupun masih banyak anak muda di Kabupaten Belu ini yang antusias. Tapi kalau untuk mako'an, tidak berarti mako'an ini sebagai yang utama, karena banyak masyarakat lokal yang paham budaya. Sehingga jika tidak ada mako'an, kebudayaan akan tetap lestari," jelas Frid.
Apalagi, Frid melanjutkan, ritual ini sendiri mengajarkan kejujuran dan kepatuhan, karena ketika berada di puncak banyak larangan yang harus dijalankan masyarakat. Sehingga setelah ritual usai, akan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari yang membuat mereka menjadi diri yang baik.
"Tidak ada yang salah dengan kebudayaan kami, justru kebudayaan itu mengajarkan kebaikan. Apalagi di Atambua, tidak ada budaya tertulis, semua secara turun-temurun adalah budaya tutur," jelas dia.
Dari budaya tutur ini saja, sudah menjadi satu budaya yang serupa dengan negara Inggris, dimana tidak ada aturan yang secara tertulis dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Masyarakat di Inggris patuh dengan sendirinya pada aturan lisan yang sudah turun temurun diberlakukan, hingga saat ini.
Dengan adanya Indonesiana yang membantu promosikan Festival Foho Rai ini, lebih lanjut dikatakan Frid, akan mampu menarik kembali minat generasi muda yang sempat tidak tertarik lagi dengan kebudayaan lokal. Frid menginginkan pemerintah dapat konsisten untuk mengangkat kebudayaan lokal di Indonesia.
"Kami (Ditjen Kebudayaan) hanya memberi jalan agar budaya mereka dikenal publik," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid, saat ditemui usai ikut hadiri ritual Bei Gege Asu di Atambua, NTT, Sabtu (21/7).
Foho Rai Festival ini merupakan program kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kurator daerah yang bertugas mengumpulkan informasi dan pengetahuan tradisi menjadi sebuah bentuk festival.
Hilmar mengungkapkan upaya memasyarakatkan budaya adat dan mempopulerkannya ke publik melalui program festival, merupakan hal yang tidak mudah.
Setelah di seleksi, dari 28 daerah, akhirnya hanya ada sembilan festival adat yang digelar pada 2018 yakni Foho Rai Festival di Belu, NTT; Festival Budaya Saman di Gayo Lues, Aceh; Internasional Gamelan Festival di Jawa Tengah; Bebunyian Sintuvu dari Sulawesi Tengah; Multatuli Arta Festival di Lebak; Silek Arta Festival di Sumatera Barat; Blora Folklore Festival di Blora, Jateng; Amboina International Bamboowind Music Festival di Ambon dan Festival Tenun Nusantara di Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
"Ini pentingnya mengedepankan budaya-budaya adat masyarakat lokal. Tantangan terbesar kami adalah bagaimana (masyarakat punya) rasa memiliki (terhadap budaya adat) dan ikut mengendalikan (kelangsungan dan pengembangan budaya adat). Belum tentu (budaya adat) bisa berkembang dengan mudah kalau masyarakatnya sendiri enggan untuk membantu berkembang," ujar Hilmar.
Ia mengatakan upaya mengapresiasi ekspresi budaya lewat festival-festival seperti ini sangat penting. Kemudian, juga harus disertai peningkatan pendidikan masyarakat adat dan dibukanya ruang berekspresi di komunitas masyarakat adat.
Komunikasi dengan generasi muda masyarakat adat juga perlu dipupuk sehingga budaya adat tidak melulu melekat pada masyarakat tua saja. "Anak muda juga harus dilibatkan," beber Hilmar.
Mengapresiasi dan memelihara kebudayaan sangatlah penting. Menurut Hilmar, banyak hal seperti stunting, konflik sosial di masyarakat dan status sengketa tanah terjadi berawal dari ketidakpahaman dan menganggap remeh budaya.
"Problematika yang terjadi akan membaik bila kita menghargai budaya. Sudah banyak contohnya. Misalnya kasus stunting terjadi di daerah yang seharusnya tidak terjadi stunting jika masyarakatnya berpegang pada budaya leluhur," kata dia.
Festival yang bertajuk Pencerahan Budaya dengan Kembali ke Kampung Adat ini, diharapkan kembali membangkitkan kesadaran baru dan rasa cinta masyarakat Belu, NTT, pada kekayaan budaya mereka sendiri.
Dari kebudayaan Atambua, masyarakat dapat mengambil pelajaran tentang perang, semangat, kepatuhan, kemerdekaan, keramahan, toleransi, kejujuran, nasionalisme, serta banyak lagi. Memang semua kebudayaan akan mengajarkan hal serupa, tapi seluruh masyarakat harus benar-benar melestarikan kebudayaan mereka masing-masing.
Jika telah lestari, maka sangat memungkinkan bangsa ini akan teratur dan nyaman ditinggali, masyarakatnya akan miliki jiwa yang baik pula. Karena jika budaya telah hidup dalam jiwa masyarakat, tidak ada alasan bagi manusia tersebut untuk berbuat kejahatan.
sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/07/25/pcevvj430-melihat-festival-foho-rai-di-tanah-atambua
#SBJ
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...