Duka Dibalik Patung Ditgantara
Boleh dibilang, inilah peninggalan terakhir Bung Karno. Digagas tahun 1965, saat matahari kekuasaannya sudah condong ke barat. Adalah pematung Edhi Sunarso yang mendapat kehormatan, mengerjakan pembuatan patung itu. Edhi adalah pematung kesayangan Bung Karno. Ia pula yang ditunjuk membuat patung “Selamat Datang” di Bundaran HI.
Edhi ingat persis, ketika instruksi Bung Karno diterimanya. Hatinya sempat mandeg-mangu, ragu-ragu, bimbang, dan galau. Sebagai seniman patung, ia belum pernah sama sekali membuat patung dengan bahan perunggu. Sementara perintah Bung Karno jelas, ia menghendaki patung dengan bahan perunggu.
Saat raut wajahnya sulit menyembunyikan perasaan hatinya, Bung Karno segera paham. Maka, berkatalah Bung Karno kepada Edhi, “”Hey Ed, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup.”
Waktu satu minggu yang diberikan Bung Karno, dijawab tuntas oleh Edhi dengan mengumpulkan teman-teman pematung di Yogya, dan mewujudkan harapan Bung Karno dalam replika yang terbuat dari gypsum. Gaya melambaikan tangan laiknya orang menyambut kedatangan sahabat, diperagakan langsung oleh Bung Karno. Gaya itu pula yang kemudian menjadi model pada patung Tugu Selamat Datang di bundaran HI.
Nah, lain lagi kisah Patung Dirgantara, Pancoran. Proyek itu sempat mangkrak, alias terhenti. Peristiwa 30 September 1965, adalah pemicu terancam gagalnya pembuatan patung itu. Bung Karno menghadapi hantaman dari dalam negeri. Ia didemo nyaris tiap hari. Klimaksnya adalah penolakan MPRS atas pertanggungjawaban Bung Karno, terhadap peristiwa pemberontakan PKI tadi. Buntutnya sama-sama kita ketahui, Bung Karno dilengserkan, dan Soeharto diorbitkan.
Nasib patung Dirgantara yang digagas Bung Karno sebagai simbol semangat bangsa, terombang-ambing. Meski begitu, Bung Karno bukan manusia yang meninggalkan sejarah ke-plin-plan-an. Bung Karno tidak pernah mengajarkan sikap yang kurang bertanggung jawab. Alhasil, sekalipun nasibnya sendiri di ujung tanduk. Posisinya sebagai presiden terancam. Tekanan dalam dan luar negeri menghimpit dirinya, Bung Karno tetap komit.
Ia menyempatkan diri untuk memantau perkembangan proyek patung dirgantara tadi. Kepada Bung Karno, dengan nada prihatin, Edhi melaporkan kemandegan proyek tadi. Sekalipun pedestial atau tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam mandeg, karena pemerintahan transisi tidak menggubrisnya. Di sisi lain, dalam status tahanan politik, dalam kondisi badan yang makin ringkih digerogoti sakit ginjalnya, Bung Karno keukeuh menuntaskan proyek terakhirnya.
Edhi sendiri tak sanggup meneruskan pekerjaan itu, mengingat dirinya pun sudah dililit utang untuk pekerjaan itu. Maklumlah, semua proyek pembuatan monumen yang ia kerjakan atas perintah Bung Karno, tidak menggunakan semacam dokumen perintah resmi negara. Murni soal kepercayaan.
Atas kondisi tersebut, Bung Karno lantas memanggil Edhi dan memberinya uang Rp 1,7 juta. Belakangan Edhi baru tahu, uang itu hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno. Dengan uang itu, sekalipun belum cukup menutup semua biaya, Edhi langsung menuntaskan pengerjaan patung Dirgantara.
Alkisah… di pagi yang cerah, di hari Minggu tanggal 21 Juni 1970, Edhie sedang berada di puncak Tugu Dirgantara. Tiba-tiba, melintas iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang pekerja di bawah sontak memberi tahu Edhi, bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan mobil jenazah… jenazah Bung Karno, sang penggagas Tugu Dirgantara.
Lemas lunglai Edhi demi mendengar berita itu. Ia pun langsung turun dari puncak Tugu Dirgantara, dan menyusul ke Blitar, memberi penghormatan terakhir kepada Putra Sang Fajar.
Belum usai duka berlalu, Edhi bersemangat menuntaskan amanat terakhir Bung Karno. Sekalipun pekerjaan itu meninggalkan utang negara. Sekalipun patung itu tidak pernah diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Tugu Dirgantara tegar berdiri, menggelorakan semangat, mengekspresikan wajah Gatotkaca. Wajah perkasa yang menyimpan duka di balik pembuatannya.(roso daras)
//created by @Minor_Caknole
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja