Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Timur Pacitan
Dongeng Cinde Laras Versi Pacitan
- 11 Juli 2018
Dikisahkan dalam cerita Ande-Ande Lumut, Raden Panji Asmorobangun dari kerajaan Jenggala menyamar menjadi rakyat jelata dengan nama Ande-Ande Lumut ikut Mbok rondho (janda) di Sembojo (pinggir kali Kladen) bernama Mbok rondho Sembojo, dan Dewi Sekartaji menyamar menjadi Kleting Kuning ikut mbok Rondho Ndadapan. Setelah melalui liku-liku kehidupan pahit getir, suami istri itu akhirnya dapat bertemu kembali dan tinggal di Ndadapan. Setelah mereka ketemu, Raden Panji Asmorobangun/ Ande-ande Lumut kemudian mengubah namanya menjadi Raden Putro. Cerita Cinde Laras ini kelanjutan dari cerita Ande-Ande Lumut.
Raja muda di Kraton Jenggala yakni Raden Panji Asmorobangun belum genap satu tahun ketemu dengan istrinya sekar kedaton dari kerajaan Kediri yaitu Dewi Sekartaji. Pada saat itu setelah ketemu mereka tinggal di Ndadapan, Dewi Sekartaji kemudian hamil tiga bulan. Menjadi kebiasaan wanita yang sedang hamil pada umumnya melalui masa-masa ngidam; demikan juga dewi Sekartaji ngidam burung perkutut putih. Untuk memenuhi permintaan istrinya Raden Panji Asmorobangun berpamitan untuk ‘pikat’ (memasang getah perekat) di hutan agar mendapatkan burung perkutut putih. Karena akan ditinggal pada saat itu Dewi Sekartaji dititipkan kepada wanita bernama Dewi Galuh.
Berhari-hari, berbulan-bulan bahkan hampir setengah tahun Raden Panji belum kunjung pulang, kemungkinan burung perkutut putih yang diminta istrinya belum di temukan. Sementara itu Dewi Sekartaji sangat merindukan kehadiran suaminya, ia merasa sepi dan perlakuan dewi Galuh yang semakin kasar membuat hidupnya tidak tenang.
Dewi Galuh sebenarnya sudah lama memendam rasa cinta terhadap Raden Panji Asmorobangun. Dia juga mengharapkan menjadi istri Raden Panji. Dalam hatinya mulai timbul niat jahat, wah… ini kesempatan yang bagus untuk menyingkirkan Dewi Sekartaji, mumpung Raden Panji tidak ada di rumah, itulah niat jahat yang ada di dalam hatinya.
Suatu sore Dewi Galuh berpura-puta ingin ‘metani’ (mencari kutu di rambut kepala) Dewi Sekartaji, sedangkan Dewi Sekartaji sendiri tidak menaruh curiga sama sekali. Dengan pura-pura mencari kutu di rambut, secepat kilat Dewi Galuh menarik rambut Dewi Sekartaji ke belakang dan membenturkan kepalanya ke tanah sehingga Dewi Sekartaji tidak sadarkan diri. Tidak berhenti sampai disitu dia terus menyiksa Dewi Sekartaji dengan menciderai kedua matanya. Daerah tempat menyiksa Dewi Sekartaji itu sekarang dinamakan dusun Seso (dari kata sekso = menyiksa) dan termasuk wilayah kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan.
Hari sudah gelap, Dewi Galuh mengira Dewi Sekartaji sudah meninggal. Malam itu dengan tiada seorangpun yang tahu jasad Dewi Sekartaji dihanyutlkan di aliran kali Mbarong. Dengan rohmat dan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Kleting Kuning (Dewi Sekartaji) dapat selamat dari maut karena tersangkut rumpun glagah. Setelah sadar badanya merasa sakit apalagi kedua matanya tidak dapat dibuka dan dia mengira kedua matanya telah buta. Dengan segala kekuatan yang tersisa dia merayap sampai di dekat sumber air. Kleting Kuning lalu pasrah hidup dan matinya kepada Tuhan.
Dikisahkan saat itu kandungan Kleting Kuning telah mencapai Sembilan bulan sepuluh hari. Sudah saatnya dia melahirkan. Dengan tiada orang yang tahu di tengah hutan dia melahirkan bayi laki-laki yang mungil. Kleting Kuning dengan kuasa Tuhan dirawat oleh berbagai jenis hewan hutan seperti kijang, menjangan yang juga ikut menjilati si Jabang bayi. Sedangkan monyet, lutung mencarikan makanan untuk menghidupi Kleting Kuning dan bayinya. Anak itu oleh Kleting Kuning dinamakan Cinde Laras.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun telah berlalu, Cinde Laras tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Ia hidup di hutan dan akrab dengan berbagai macam binatang hutan. Semua binatang hutan menjadi sahabatnya sehari-hari. Suatu hari ia melihat burung gagak membawa telur ayam; kemudian Cinde Laras berkata kepada burung gagak:
“Gagak, ga…gak kalau kau kasihan padaku taruhlah telormu…” Burung gagak seakan tahu apa yang dimaksudkan oleh Cinde Laras, lalu telor ayam itu ditaruh di atas pangkuan anak itu. Dengan hati gembira ia pulang dan berkata kepada ibuya:
“Ibu…ibu…saya dapat telor ayam”. Ibunya keheranan, telor ayam itu ia amati; namun tidak begitu jelas sebab matanya belum sembuh benar, lalu dia bertanya pada Cinde Laras:
“ Dari mana kau peroleh telor ayam itu?”
“Telor ini pemberian si gagak bu… karena saya memintanya. Saya akan meminta tolong ular untuk mengerami telor ini.” sahut Cinde Laras sembari berlari masuk hutan lagi.
Cinde Laras tahu dimana tempat tinggal ular sanca. Ular itu sudah sangat besar sebesar pohon pinang. Setelah sampai di tempat ular sanca dia berkata:
“Ular sanca kalau kau kasihan sama saya tolong eramilah telor saya ini”. Ular itupun seperti tahu apa yang dikatakan oleh Cinde Laras. Ular langsung melingkari telor ayam, telor itu sangat kecil dibanding tubuh ular yang besar segede pohon pinang. Setelah selama 21 hari telor itu dierami oleh ular sanca akhirnya menetas menjadi ‘kuthuk’ (anak ayam jantan) kecil.
Sementara itu di Ndadapan menjadi geger. Raden Putra/Ande-ande lumut/ Panji Asmorobangun pulang dari ‘pikat’ dan telah mendapatkan burung perkutut putih seperti yang dipesan istrinya. Namun alangkah kecewanya setelah berbulan-bulan baru mendapatkan burung perkutut putih, ternyata istrinya tidak ada di rumah. Ia tanyakan kepada Dewi Galuh tentang kepergian istrinya.
“Galuh, kemana Kleting Kuning?” Dewi Galuh berpura-pura kaget dan menangis.
“Maaf Raden bukankah Kleting Kuning bersama Raden? Karena setelah keberangkatan Raden untuk ‘pikat’ perkutut putih dia segera menyusul.”
“Menyusul bagaimana? Bukankah kemarin aku memintamu untuk menjaganya?” Dengan terbata-baata Dewi Galuh menjawab:
“I…i…ya, tetapi dia segera menyusul raden dan tidak dapat saya cegah.”
Sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun ia menunggu bahkan mencari keberadaan Kleting Kuning namun tidak kunjung ditemukan. Karena harapannya sudah pupus akhirnya Raden Putro menikahi Dewi Galuh. Dan semenjak itu dia dan dewi Galuh berangkat dari Ndadapan kembali ke kerajaan Jenggala. Dewi Galuh sangat bahagia karena rencana jahatnya untuk menyingkirkan Kleting Kuning dan bersuamikan Raden Putro dapat terlaksana. Ia hidup serba mewah di kerajaan Jenggala. Ia hidup berfoya-foya, bersikap angkuh dan sombong bagaikan kacang lupa kulitnya, dia lupa asal-usulnya dari mana.
Di tengah hutan itu Cinde Laras semakin dewasa. Anak ayamnya yang dahulu masih ‘kuthuk’ sekarang sudah menjadi jago ‘miring galih mubal putih’ yang kokoknya berbunyi aneh: “Bek, bek, bek, kukuruyuk jagone Cinde Laras…omahe tengah alas, payone godhong kelaras, ibune Kleting Kuning, ramane Raden Putro…Kleting Kuning dipiloro Dewi Galuh…dicupleg molo mripate…” (Bek, bek, bek, kukuruyuk jagonya Cinde Laras…rumahnya tengh hutan, atapnya daun pisan kering, ibunya Kleting Kuning, ayahnya Raden Putro…Kleting Kuning diciderai Dewi Galuh…dibuat buta matanya…).
Cinde Laras sudah mengetahuai siapa bapaknya. Dia sudah mengetahui semua berkat cerita ibunya. Pada suatu hari ketika dia sudah mengetahui siapa bapaknya ia bertekad untuk bertemu dengan bapaknya.
“Ibu saya minta ijin untuk menemui bapak di Jenggala.” Kata Cinde Laras berpamitan pada ibunya.
“Jangan nak itu sangat berbahaya, selain jalannya yang jauh, dikerajaan dijaga ketat oleh para punggawa dan prajurit kraton, kau tidak akan bisa masuk.” Sergah ibunya. “Tidak ibu saya akan mengikuti sayembara adu jago di Kraton Jenggala.” Kata Cinde Laras memohon pada ibunya.
“Ya…sudahlah kalau kau sudah bertekad bulat ibu mengijinkan, tetapi berhati-hatilah…” Cinde laraspun berangkat bersama ayam jagonya.
Tidak diceritakan berapa minggu atau berapa bulan Cinde Laras sampai di Keraton Jenggala. Ketika itu dia berteduh dibawah pohon beringin di alon-alon. Setelah ditanya oleh punggawa Keraton, dia mengatakan ingin adu jago melawan jagonya sang raja. Para punggawa mencibir dan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari pemuda berpakaian kumal itu. Cinde Laras sangat bangga dapat menghadap raja Jenggala dan mengatakan apa yang ia harapkan yaitu ingin mengadu jago dengan jago sang raja. Sang raja bertanya:
“Apakah yang kau gunakan sebagai taruhan anak muda?” Cinde laras menjawab:
“Kalau saya kalah saya bertaruh dengan leher saya artinya saya sanggup dipenggal leher saya; akan tetapi jika jago paduka kalah maka paduka harus sanggup menyerahkan kerajaan Jenggala beserta isinya kepada saya.” Permintaan Cinde Laras disanggupi oleh raja Jenggala, karena raja mengira bahwa jago keraton tidak bakal kalah dengan jago dari desa.
Adu jago dimulai. Jago sang raja dikeluarkan dari kandang disertai sorak sorai yang gegap gempita. Jago pertama sang raja kalah bahkan mati kena taji jago Cinde Laras. Setelah menang jago Cinde Laras mengeluarkan kokoknya yang aneh: “Bek, bek, bek, kukuruyuk jagone Cinde Laras…omahe tengah alas, payone godhong kelaras, ibune Kleting Kuning, ramane Raden Putro…Kleting Kuning dipiloro Dewi Galuh…dicupleg molo mripate…” (Bek, bek, bek, kukuruyuk jagonya Cinde Laras…rumahnya tengh hutan, atapnya daun pisang kering, ibunya Kleting Kuning, ayahnya Raden Putro…Kleting Kuning diciderai Dewi Galuh…dibuat buta matanya…). Beberapa jago kerajaan telah kalah, maka dikeluarkanlah jago yang terbaik. Namun apa yang terjadi jago terbaik kerajaanpun dapat dikalahkan bahkan mati karena tertaji oleh jago Cinde Laras.
Adu jago telah usai, sebelum sang raja memenuhi janjinya untuk memberikan hadiah kemenagan terhadap Cinde Laras, sang raja bertanya sebenarnya siapa pemuda pemilik jago yang ampuh itu. Cinde Laras menceritakan apa adanya sesuai cerita ibunya terhadap dirinya. Betapa kaget sang raja, ia memeluk Cinde Laras erat-erat. Akan tetapi ia kurang yakin, maka diutuslah beberapa orang utusan ke Ndadapan. Ternyata benar apa yang dikatakan Cinde Laras. Sejak saat itu Kleting Kuning diboyong ke Kraton Jenggala dan Dewi Galuh dijatuhi hukuman atas kejahatannya.
Kraton Jenggala akkhirnya diserahkan kepada Cinde Laras, Kleting Kuning diboyong ke keraton Jenggala lagi, sedangkan kedua matanya yang dulu pernah diciderai Dewi Galuh sudah sembuh. Raden Putro, Kleting Kuning dan Cinde Laras akhirnya hidup bersama dan berbahagia di Keraton Jenggala. Oleh karena itu sampai sekarang desa tempat kelahiran Cinde Laras disebut desa Candi Laras. Desa Candi sekarang masuk wilayah Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan.

 

 
Penulis,
Katni , S. Pd., M. Pd
 
 
Sumber: http://mitos-cerita-legenda.blogspot.com/2017/02/dongeng-cinde-laras-versi-pacitan.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline