|
|
|
|
Dongeng Asal Mula Kesultanan Maluku Utara Tanggal 09 Oct 2018 oleh Nabila Dwi Astuti. |
Dongeng Asal Mula Kesultanan Maluku Utara
Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda tampan yang bernama Jafar Sidik. Ia tinggal seorang diri di desa Salero, Ternate. Di dalam hutan yang tak jauh dari desa Salero terdapat telaga yang berair amat jernih. Telaga air Sentosa namanya. Jafar Sidik sering duduk sendirian di sebuah batu besar yang berada di pinggir telaga air Sentosa, terutama ketika ia beristirahat setelah berburu atau mencari kayu bakar di hutan.
Pada suatu sore, Jafar Sidik kembali duduk di atas batu besar itu. Langit berwarna jingga. Jafar Sidik pun memandangi langit jingga itu. Ketika ia memandangi langit sore itu, pandngannya tiba-tiba tertuju pada setitik cahaya warna-warni yang tampak seperti pelangi. Semakin ia memandangi pelangi itu, maka terlihat semakin jelas. Pelangi itu kian membesar dan memanjang. Ujung pelangi jatuh di atas permukaan telaga air Sentosa. Jafar Sidik terperanjat ketika melihat tujuh bidadari terbang di atas lengkungan pelangi. Ketujuh bidadari itu terbang menggunakan selendang yang serupa dengan tujuh warna pada pelangi. Masing-masing bidadari mengenakan pakaian berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Jafar Sidik segera bersembunyi di balik pohon besar setelah tujuh bidadari itu hampir tiba di permukaan telaga. Ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh ketujuh bidadari tersebut.
Tujuh bidadari itu lalu melepaskan selendang masing-masing dan meletakkannya di atas bebatuan yang tak jauh dari telaga. Mereka lantas mandi di kejernihan air telaga. Ketujuh bidadari itu mandi sambil bercanda.
Jafar Sidik terus mengamati. Tertariklah ia pada bidadari berselendang ungu. Ia ingin memperisterinya. Jafar Sidik lantas berjalan mengendap-endap mendekati selendang-selendang itu diletakkan. Diambilnya selendang berwarna ungu dan disembunyikan di balik bajunya.
Ketika hari menjelang malam, ketujuh bidadari tersebut berniat kembali ke Kahyangan. Si bidadari berselendang ungu yang merupakan adik paling bungsu tampak kebingungan karena tidak menemukan selendangnya. Keenam kakaknya berusaha turut mencari, namun selendang itu tidak juga ditemukan. Pelangi yang hampir pudar membuat keenam kakak dari si bidadari bungsu harus segera kembali pulang ke Kahyangan. Mereka terpaksa meninggalkan si bidadari bungsu sendirian seraya berpesan, "Baik-baiklah engkau menjaga diri."
Si bidadari bungsu hanya bisa bersedih hati meratapi nasib malangnya. Air matanya bercucuran ketika melihat keenam kakaknya terbang kembali ke Kahyangan.
Ketika si bidadari bungsu tengah meratapi nasibnya, Jafar Sidik keluar dari persembunyiannya dan menghampiri. Sapanya, "Maaf adik, siapakah engkau ini? Mengapa pula engkau berada di telaga ini sendirian? Tidakkah engkau takut berada sendirian di tempat ini?"
Si bidadari bungsu terkejut mendengar sapaan Jafar Sidik. Ditenangkannya kegugupannya sebelum menjawab sapaan Jafar Sidik, "Tuan, namaku Boki Nurfaesyah. Aku kehilangan selendang hingga tak bisa pulang kembali ke Kahyangan."
Jafar Sidik lantas menyarankan sebaiknya bidadari bernama Boki Nurfaesyah untuk turut bersamanya. Boki Nurfaesyah bisa menerima saran Jafar Sidik dan kemudian ia mengikuti Jafar Sidik. Tidak berapa lama kemudian Jafar Sidik dan Boki Nurfaesyah menikah. Selama mereka tinggal serumah, Jafar Sidik menyembunyikan selendang Boki Nurfaesyah di bubungan rumahnya. Jafar Sidik juga berjanji untuk tidak mencegah kepulangan istrinya ke Kahyangan jika selendangnya telah ditemukan.
Waktu terus berjalan. Kehidupan keluarga Jafar Sidik terlihat rukun dan damai. Jafar Sidik juga telah dikarunia emapat orang anak lelaki. Jafar Sidik mendidik keempat anaknya dengan baik. Ia membekali empat anak lelakinya itu dengan ajaran agama Islam. Jafar Sidik sangat berharap keempat anak lelakinya itu akan tumbuh menjadi orang-orang yang baik kelakuannya dan kelak akan hidup dalam kebersamaan.
Walaupun telah hidup berbahagia dengan suami dan empat orang anaknya, namun Boki Nurfaesyah tetap juga berniat kembali ke Kahyangan. Pada suatu hari ia melihat pelangi yang muncul indah di atas bubungan rumahnya. Ketika ia tengah mengamati pelangi, mendadak pandangannya terantuk pada sehelai kain berwarna ungu yang terselip di bubungan rumah. Betapa terperanjatnya ia ketika berhasil mengambil kain yang tak lain selendangnya itu.
Betapa kecewanya ia pada suaminya. Selama itu suaminya telah berbohong padanya. Kekecewaan yang dirasakan berubah menjadi kemarahan. Ia akan kembali ke Kahyangan tanpa lagi berpamitan dengan suaminya.
Sebelum berangkat, Boki Nurfaesyah menghampiri empat anaknya dan berpesan, "Hendaklah kalian senantiasa hidup rukun dan saling menolong. Saling sayang-menyayangilah kalian berempat karena kalian berasal dari orang tua yang sama. Senantiasa ingatlah kalian pada pesan ibu, taat dan patuhi perintah dan nasihat ayah kalian."
Boki Nurfaesyah lantas mengenakan selendangnya dan tubuhnya melayang , terbanglah ia kembali ke negeri Kahyangan. Empat anaknya hanya bisa menatap kepulangan ibu mereka itu dengan tangis sedih. Semakin jauh tubuh ibu mereka, semakin keras tangisan keempat anak itu.
Jafar Sidik terperanjat ketika pulang dari ladang dan mendapati empat anak lelakinya menangis. "Apa yang terjadi?," tanyanya. "Mana ibu kalian?"
Empat anak lelaki itu lantas menceritakan kejadian berkenaan dengan ibu mereka yang telah kembali ke Kahyangan. Jafar Sidik sangat sedih. Sungguh, ia ingin terus bersama dengan istrinya yang amat dicintainya itu untuk mengasuh dan merawat empat anak lelaki mereka. Namun, semua harapan itu musnah.
Jafar Sidik sendirian merawat dan mendidik keempat anak lelakinya itu. Empat anaknya itu pun tumbuh besar seiring dengan berjalannya waktu dan memiliki perangai yang baik.
Ketika Maluku Utara terbagi menjadi 4 wilayah kekuasaan, semua anak Jafar Sidik ditunjuk untuk menjadi pemimpinnya. Anak sulung Jafar Sidik menjadi Sultan di Bacan, anak keduanya menjadi Sultan di Jailolo, anak ketiganya menjadi Sultan di Tidore, dan anak keempatnya menjadi Sultan di Ternate.
Sumber: https://dongengceritarakyat.com/cerita-rakyat-maluku-utara-leluhur-empat-sultan/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |