|
|
|
|
Doger kontrak Tanggal 04 Jul 2014 oleh muhammad baidowi. |
DOGER KONTRAK
Doger Kontrak merupakan kesenian rakyat Subang yang sudah mulai tumbuh kembang sebelum perang kemerdekaan (1945), bermula pada saat perusahan perkebunan The P&T Lands yang saat itu dikuasai oleh pemerintahan Belanda mengijinkan pertunjukan doger di kontrak-kontrak perkebunan yang ada di daerah Subang sebagai balas budi para buruh dan hiburan. Sebelumnya para buruh perkebunan tidak diperbolehkan atau tidak diijinkan berhubungan dengan kehidupan luar. Doger kontrak mempunyai perbedaan dengan doger pada umumnya, pada doger kontrak ada perpaduan antara tradisi (Ketuk Tilu) dan Tari Keurseus.
Doger juga merupakan sebutan bagi penari atau penyanyi perempuan yang ada dalam pertunjukan kesenian tersebut. Dalam seni hiburan rakyat lainnya di beberapa daerah di Indonesia istilah doger sama dengan ronggeng, tandhak, tlédhék,dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut muncul dari kalangan masyarakat itu sendiri. Sebutan ronggeng, doger, dan sejenisnya diperuntukkan bagi seorang perempuan yang memiliki kemampuan menyanyi dan menari dalam pertunjukannya. Berperan untuk melayani para penonton yang bermaksud ikut menari dalam acara hiburan tersebut. Bahkan para penonton ini cukup berkuasa untuk meminta lagu atau tarian kepadanya. Konsekuensinya para pengguna jasa doger atau ronggeng harus memberi imbalan biasanya berupa uang. Siapa pun dalam hal ini adalah para penonton yang hadir dalam acara tersebut diperbolehkan untuk memilih doger/ronggeng untuk menjadi pasangan menarinya. Seperti dalam doger,ketuk tilu, dombret, ronggeng gunung, ronggeng kaler, ronggeng ketuk, dan sejenisnya. Seni doger juga serupa dengan salah satu jenis kesenian di Jawa Tengah yaitu Tayub.
Doger adalah sebutan lain untuk ronggeng, yaitu perempuan yangmemiliki kemampuan menyanyi dan juga menari. Bentuk pertunjukannya serupa dengan Ketuk Tilu. Gerakan tarinya tidak mempunyai pola khusus dan setiap penari bebas mengungkapkan gerak sesuai dengan keinginannya. Doger, biasanya menari bersama penari laki-laki.
Kesenian tersebut berkembang sekitar akhir abad ke-20 di kawasan perkebunan Kabupaten Subang. Pada masa itu, di Subang terdapat sebuah perusahaan perkebunan yang bernama Pamanoekan and Tjiasem Land (P&T Land) yang dipimpin oleh Hofland yang sangat peduli terhadap kesejahteraan para buruh. Hal ini berdampak pada meningkatnya penghasilan para buruh sehingga meningkatkan taraf hidup mereka. Para kuli kontrak mendapatkan gaji yang tinggi bila dibanding dengan upah buruh di daerah lain. Kondisi ini sangat menunjang terhadap kehidupan seni doger yang kian mendapat tempat di hati masyarakatnya karena dapat menghibur para kuli kontrak.
Kesenian doger dan ronggeng di Jawa Barat terdapat di dua wilayah, yaitu di wilayah pesisir (bagian utara) dan di pegunungan (bagian selatan). Awalnya kesenian ini dibawa oleh para seniman bebarang (keliling) yang dibawa ke daerah perkebunan. Dari persentuhan antara ronggeng dan kesenian rakyat, maka lahirlah kesenian doger. Setiap akhir pekan, ketika para kuli kontrak menerima gaji, kelompok doger menggelar pertunjukannya berbarengan dengan diselenggarakannya pasar malam. Tempat tersebut dianggap sebagai lahan subur untuk mencari uang, dan doger menjadi salah satu hiburan bagi para pekerja perkebunan.
Pertunjukannya dilakukan di arena yang cukup luas, seperti tanah lapang, halaman rumah, atau juga di pasar. Waktu pertunjukan biasanya dimulai jam 20.00 sampai larut malam, bahkan bisa sampai dini hari, tergantung permintaan para penggemarnya. Di tengah arena pertunjukan, diletakkan sebuah oncor (obor) sebagai alat penerangan yang sekaligus juga sebagai pusat orientasi pertunjukan. Selama berlangsungnya pertunjukan, acara diatur dan dipimpin oleh lurah kongsi. Ia adalah pimpinan rombongan kesenian tersebut. Kostum yang digunakan para doger adalah baju lengan panjang, rok panjang berbentuk klok tidak ketat, selendang yang dikalungkan, serta memakai kaos kaki.
Pertunjukan diawali dengan tatalu (pembuka). Tatalu adalah tanda acara akan dimulai. Setelah itu, para doger maju ke tengah arena diawali dengan adegan berjalan mengelilingi oncor. Usai berkeliling, para doger menari dengan gerakan yang sama. Setelah itu dilanjutkan dengan menari bersama penonton (laki-laki). Penari laki-laki yang diberi kesempatan pertama biasanya adalah pejabat atau tuan tanah. Para penari itu diatur oleh lurah kongsi. Selama pertunjukan berlangsung, biasanya ada pasangan penari yang ―menghilangâ€-, dibawa ke luar arena. Tentu saja hal itu atas seijin lurah kongsi dengan batas waktu tertentu. Ketika waktu yang telah ditentukan habis, maka lurah kongsi akan memberi peringatan kepada para penonton yang telah meminjam doger untuk segera kembali ke arena pertunjukan. Hal ini dilakukan sebagai kendali agar para doger terawasi keberadaannya dan untuk menghindari hal-hal yang dianggap melanggar norma-norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Masa berkembangnya seni doger berlangsung hingga tahun 1940-an dan popularitasnya mulai menurun pasca Perang Dunia II. Pada masa itu kegiatan perkebunan terhenti dan para buruh banyak yang terlibat dalam peperangan, sehingga doger tidak ada yang menanggap lagi.
DOGER SEBAGAI SENI HIBURAN
Seni pertunjukan di Indonesia memiliki tiga fungsi primer yaitu untuk kebutuhan ritual, hiburan pribadi, dan presentasi estetis (Soedarsono, 1999:5). Berdasarkan dari konsep tersebut memang sangat relevan dengan keberadaan seni pertunjukan di Indonesia. Pada awalnya embrio seni pertunjukan lahir untuk kebutuhan ritual. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan adanya perubahan sosial seni ritual mengalami perubahan fungsi dari ritual ke hiburan. Tari hiburan identik dengan tari kegembiraan dan tari pergaulan, dikenal juga dengan istilah social dance. Jenis tarian ini dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa kegembiraan, biasanya disajikan oleh pria dan wanita. Kata hiburan itu sendiri biasanya dipergunakan untuk mengungkapkan rasa kegembiraan dalam melampiaskan rasa duka lara. Sebagai ungkapan rasa kegembiraan, bentuk kesenian ini tidak menitikberatkan pada segi estetiknya tetapi lebih menitikberatkan pada kesenangan pribadi atau kalangenan. Oleh sebab itu, dalam pengungkapan gerak pun seenak diri yang menari saja atau sekehendak hati dari orang yang sedang menari. Hal ini dipahami karena tujuan utama dalam tari pergaulan ini mengutamakan fungsi hiburannya sebagai pelipur lara (Azis dan Barmaya, 1983: 6).
Hiburan memang dapat diartikan secara luas terutama yang berkaitan dengan kepuasan bathin seseorang maupun kelompok. Juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan yang dapat mengurangi rasa penat dari kegiatan rutinitas sehari-hari. Hiburan dapat dijadikan sebagai alat pelampiasan ketegangan batin yang setidaknya dapat mengurangi beban-beban fikiran yang mewarnai kehidupan manusia. Pada zaman kolonial, dalam masyarakat perkebunan hidup seni hiburan yang disebut doger.Doger yang berkembang di kalangan masyarakat perkebunan dikategorikan sebagai tari rakyat. Tari rakyat umumnya berbentuk tari gembira atau tari pergaulan yang juga disebut tari sosial (social dance). Sebagaimana Humardani berpendapat bawa seni rakyat sifatnya tunggal untuk semua yang hadir tanpa pemisahan atau tanpa jarak keterlibatan di antara penyajian dan penghayat demikian halnya di antara pemain dan penghayat. Dari keberadaan tidak ada keterbatasan di antara keduanya itu, maka sifat spontanitas sangat leluasa hadir dalam seni rakyat, itulah salah satu ciri khas dari bentuk kesenian/tari rakyat (S.D Humardani, 1979-1980:61).
Tari hiburan identik dengan tari kegembiraan dan tari pergaulan. Kesenian ini dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa kegembiraan, biasanya disajikan oleh pria dan wanita. Kata hiburan itu sendiri biasanya dipergunakan untuk mengungkapkan rasa kegembiraan dalam melampiaskan rasa duka lara. Sebagai ungkapan rasa kegembiraan, bentuk kesenian ini tidak menitikberatkan pada segi estetiknya tetapi lebih menitikberatkan pada kesenangan pribadi atau kalangenan. Oleh sebab itu, dalam pengungkapan gerak pun seenak diri yang menari saja atau sekehendak hati dari orang yang sedang menari. Hal ini dipahami karena tujuan utama dalam tari pergaulan ini mengutamakan fungsi hiburannya sebagai pelipur lara (Azis dan Barmaya, 1983: 6).
Dalam sajian doger terdapat unsur-unsur yang cukup menonjol, yaitu spontanitas, seronok, dan humoris baik di dalam gerak maupun syair lagunya. Tidak heran apabila dalam sajian dogerpenonton bisa tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan para pengibing yang lucu (Salam [1], wawancara, di Bandung, 19 Juni 2011). Doger sebagai seni rakyat yang menjadi tempat untuk mencurahkan kesenangan pribadi masyarakat perkebunan menjadi pengobat kepenatan dalam pekerjaan berat sehari-hari dari masyarakat tertentu. Tampak juga ada unsur demokratisasi dalam cara pengungkapan idiom-idiom gerak. Setiap orang bebas melakukan gerak apa pun tanpa norma yang baku, yang penting pelaku mempunyai kepekaan terhadap lagu. Kekuatan akan muncul jika pelaku memiliki kemampuan dalam pencak silat, apalagi jika memiliki kemampuan menari yang kuat hingga mampu melakukan improvisasi gerak yang akan memunculkan gerak yang variatif.
Polarisasi gerak cenderung mengungkapkan pada kekuatan perasaan sehingga secara spontan dalam mengungkapakan dirinya secara bebas. Ipada bagian menari bebas selalu diwarnai adanya ibing saka yaitu sakainget, sakadaek yang artinya menari sesuka hati, terkadang tanpa mengindahkan etika maupun estetika. Ia bisa menari keluar masuk arena sesuka hati Politik Etis, kehidupan masyarakat Priangan menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan ini tampak dengan meningkatnya status sosial baik di kalangan rakyat maupun di kalangan elite, salah satunya disebabkan oleh meningkatnya sosial-ekonomi. Bahkan di kalangan elite memunculkan elite-elite baru. Di samping itu, banyak pedagang yang kemudian menjadi saudagar (Lubis et al., 2011: 70-71). Demikian pula dengan berkembangnya perkebunan-perkebunan. Di perkebunan-perkebunan setiap akhir pekan ada hiburan ronggeng/doger.
Kemunculan seni Doger di perkebunan-perkebunan kemungkinan besar berawal dari hadirnya ronggeng pengamen yang datang ke daerah-daerah perkebunan. Kemungkinan lain adalah ketika berkembangnya budaya perkebunan di daerah Priangan. Sejak itu, pertunjukan doger digelar hampir setiap akhir pekan, untuk menghibur para kuli kontrak. Dalam perkembangannya, muncul ekses-ekses negatif yang menghiasi arena pertunjukannya. Minuman keras, perjudian, pemborosan, hingga anggapan prostitusi terselubung terjadi dalam arena ini. Ketika hiburan berlangsung, para penonton dapat meminta lagu kepada doger, menari bersama doger, juga dapat mengajaknya keluar arena hiburan yaitu ke tempat yang gelap untuk beberapa waktu, tentunya dengan imbalan uang (Darsim, wawancara, di Subang, 8 Februari 1999). Dalam perkembangannya muncul istilah baru terhadap kesenian ini yaitu dengan sebutan Doger kontrak yang mungkin dikaitkan dengan istilah kuli kontrak dalam sistem perkebunan. Kemungkinan lain bahwa bahwa doger dapat dikontrak oleh para tuan tanah sebagai pemilik dan pengelola perkebunan (Heriyawati, 2004: 33). Di daerah-daerah perkebunan memang marak tentang adanya kawin kontrak.
Adanya peningkatan status sosial dalam masyarakat Priangan, meningkatkan pula kebutuhan akan hiburan. Maka tidak mengherankan bila banyak orang (laki-laki) sering mendatangi tempat-tempat hiburan, khususnya hiburan yang bersifat pribadi seperti Ronggeng, Doger, dan sejenisya.Ketika perkebunan semakin maju, maka penghasilan para tenaga kerja pun semakin meningkat pula. Tingkat kebutuhan hiburan pun semakin tinggi yang biasa dilakukan oleh para pekerja ini di akhir pekan. Doger pun menjalankan profesinya untuk mendapatkan uang lebih banyak dari para penggemarnya. Semakin meningkatnya tingkat perekonomian masyarakat, semakin banyak orang yang membutuhkan hiburan. Semakin maraknya hiburan rakyat pada masa kolonial semakin terpuruklah citra dari seorang ronggeng/doger yang selalu dipandang negatif oleh masyarakat luas.
PROSES REKONSTRUKSI DOGER
Kehidupan dogersebagai seni yang berfungsi hiburan pribadi atau pergaulan (social dance) terus hidup di kalangan masyarakat perkebunan. Demikian halnya dengan kesenian sejenis seperti ronggeng, ronggeng gunung, ronggeng ketuk,ketuk tilu, dan sebagainya,terus hidup di masyarakat umum khususnya di kalangan rakyat biasa dan mendapat tempat di hati rakyat Priangan. Tradisi mengamen seni doger terus berjalan penuh dinamika, timbul tenggelam yang diakibatkan adanya pro dan kontra masyarakat Priangan. Masyarakat yang kontra pada umumnya adalah datang dari kaum ulama dan para menak. Sebagai ekses dari citra negatifdoger/ronggeng, para perempuan di kalangan menak tidak dianjurkan untuk menari di muka umum (Ardjo, 2007: 5), bahkan tabu untuk menari. Namun demikian dogerdan beberapa bentuk kesenian serupa yang hidup di masyarakat masih terus hidup karena masih dibutuhkan oleh masyarakatnya, terutama oleh para kaum lelaki.
Seiring berjalannya waktu, menjelangkemerdekaan Indonesia, sejak tahun 1944 hingga terjadi peperangan pada tahun 1945, kehidupan sosial, ekonomi, dan politik terganggu. Masyarakat mulaik hawatir dengan keadaan keamanan negara yang mulai labil. Oleh sebab itukehidupan kesenian tidak lag iterdengar famornya. Keselamatan diri dan negara diutamakan sehingga orang tidak ingat lagi dan tidak membutuhkan hiburan. Kehidupan kesenian pun vakum karena tidak lagi dibutuhkan dalam situasi tersebut. Para pelaku kesenian pada umumnya mengungsi menghindari peperangan yang terjadi. Demikian halnya dengan para pelaku doger Kesenian tersebut hilang ditelan kecamuknya peperangan dalam membela negara.
Setelah masa kemerdekaan dan keadaan politik mulai dapat dikendalikan di beberapa tempat muncul kesenian sebagai transformasi dari doger, ketuk tilu, dombret dan lain-lain. Di Karawang dan Subang muncul Bajidoran dalam sajian kesenian ini terdapat beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam cara penyajian, struktur pertunjukan, maupun waditra. Bajidoran lahir dari adanya pelarangan pemerintah terhadap aksi-aksi pertunjukan doger/ronggeng yang seakan tiada jarak antara doger/ronggeng dengan penggemarnya, serta perilaku lain seperti adanya pemabukan, perjudian, dan prostitusi terselubung. Maksud baik pemerintah untuk melahir disikapi masyarakat dengan melahirkan seni bajidoran yang menempatkan pesinden/ronggeng di panggung sementara para jago/jawara menari di area depan panggung sehingga nyaris tidak kontak fisik yang signivikan. Kontak fisik terjadi ketika bajidor memberikan uang dengan cara salam tempel. Hal ini menunjukkan ada kemajuan pemahaman masyarakat budayanya yang semakin menjunjung tinggi etika.
Pada masa orde baru, kesadaran masyarakat akan hiburan meningkat pada kesadaran akan seni untuk kebutuhan industri. Maka pada tahun 1978 muncul jaipongan karya seniman Bandung Gugum Gumbira. Tarian ini dalam waktu yang relatif singkat dikenal dan digemari masyarakat kelas bawah hingga kelas atas. Dunia pertunjukan di Jawa Barat saat itu dikuasai oleh Jaipongan. Jaipongan memberi pengaruh terhadap kesenian-kesenian yang hampir punah. Ketika kekayaan bentuk-bentuk kesenian di Jawa Barat ini mengadopsi gaya musik jaipongan maka kesenian itu laku dan bisa hidup.
Lahirnya jaipongan mengispirasi para seniman akademisi untuk mengangkat kembali kesenian doger yang tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Diawali dengan pencarian nara sumber terutama pelaku dan saksi hidup, maka dimulailah revitalisasi doger dilakukan. Proses revitalisasi terhadap seni doger yang dilakukan para akademisi seni yaitu oleh beberapa doses Akademi Seni Tari Bandung, di antaranya Iyus Rusliana, Mas Nanu Munajat, serta Dindin Rasidin. Kepedulian terhadap kesenian ini untuk di angkat menjadi objek pengkajian dan garapan muncul setelah lahirnya Jaipongan yang tahun 1980-an mulai populer. Inspirasi Jaipongan yang dilahirkan berdasarkan pada pengkemasan seni pertunjukan rakyat di Priangan yang dilakukan oleh Gugum Gumbira. Keberhasilan mewujudkan tarian tersebut, menumbuhkan inspirasi dari para seniman akademis ini untuk memunculkan seni doger yang sudah lama tenggelam namanya. Konsep revitalisasi untuk melestarikan kesenian yang hampir punah memang sangat sulit sekali. Apalagi sumber yang ditemukan adalah hanya berupa sumber lisan. Namun demikian masih sangat beruntung walaupun keseniannya sudah lama tidak pernah ditampilkan. Benda-benda atau instrumennya masih ada dan pemainnya masih ada walau sudah sangat tua bahkandoger yang masih hidup serta ada beberapa saksi hidup atau saksi sejarah di luar pelaku.
Rekonstruksi dilakukan dengan metode wawancara dan mimesis dari gerak yang diberikan oleh ronggeng serta meniru tabuhan-tabuhan musik yang digunakan untuk mengiringi tarian tersebut. Rekonstruksi melalui lisan dan praktik yang hanya mengandalkan daya ingat seseorang ini sangat sulit sekali. Namun sangat disyukuri dari upaya-upaya yang dilakukan dalam waktu yang relatif panjang sekitar dua tahun itu dapat terwujud dengan baik. Awal tahun 1997 rekonstruksi dilakukan dan karya rekonstruksi itu dapat diwujudkan dan dipublish pada tahun 1999. Tarian yang dimunculkan yaitu doger kontrak menjadi sesuatu yang beda di tengah maraknya Jaipongan saat itu.
Rekonstruksi gerak dan musik merupakan pekerjaan yang sangat menyita waktu. Namun atas kepiawaian tim tersebut akhirnya tarian dapat direkonstruksi dan sekaligus direkomposisi dengan cara di kemas agar lebih menarik. Secara cukup detail tim ini dapat menggali gerakan doger yang sangat khas dengan gaya kaleran-nya. Gaya kaleran ini dari gerak dan musiknya pun memiliki keunikan. Yang tak kalah uniknya juga masalah musik sangat berbeda dengan kesenian rakyat lainnya. Adanya gemyungatau terbang besar, terompet, dan lain-lain. Demikian halnya dengan penggarapan rupanya yaitu rias dan busana. Busana yang sangat khas dulu dari doger adalah menggunakan kain yang didesain seperti rok, kemungkinan besar ini mengadopsi dari gaun para noni Belanda yang sangat cantik dengan gaunnya yang berbentuk bulat. Sementara tubuh bagian atas memakai pakaian saperti tangtop atau di Jawa Barat lebih dikenal dengan kutang nini . Demikian halnya dengan riasnya, diberi rias cantik. Juga penggunaan kaos kaki serta kaca mata hitam. Keduanya juga meniru dari segala sesuatu yang dipergunakan oleh orang asing. Ini menjadi sangat menarik sehingga menjadi suatu keunikan tersendiri.
Gerak-gerak yang diungkapkan oleh ronggeng sangat sederhana, seperti mincid, godeg, gerak pinggul, capangan, kedet, dan galeong. Para lelaki mengungkapkan gerak dengan sangat atraktif yaitu menunjukkan gerak-gerak penca yang lincah dan gagah. Ajang ini merupakan tempat pamer kemampuan dalam bidang ibing penca. Pada masa ini terkadang terjadi perkelahian antar pamogoran karena memperebutkan ronggeng. Biasanya pamogoran meminta lagu kepada ronggeng kemudian ia menari sesuka hati. Walaupun menarinya improvisasi akan tetapi gerak-gerak ciri khas tari Rakyat selalu muncul. Misalnya gerak mincid, gerak besot, ewag, nangkis, dan lain-lain.
Ketika sebuah bentuk kesenian hiburan berubah fungsi menjadi seni pertunjukan tertu saja terdapat perubahan bentuk. Hal ini terkait juga dengan ciri-ciri dari pertunjukan. Di antaranya adalah terdapat jarak antara penonton dan pemain artinya tidak ada interaksi langsung secara fisik karena penonton hanya dapat menikmati sajian yang disuguhkan itu. Sajian telah memiliki pola tertentu karena telah melalui proses persiapan yang matang. Sangat berbeda dengan seni hiburan. Durasi waktu juga ditentukan tidak semaunya tidak sepanjang malam sesukanya seperti dalam seni hiburan. Dalam tari yang berfungsi hiburan itu semuanya sudah terkonsep, tertata dengan baik, seperti koreografi, iringan musik, kostum maupun riasnya.
Demikian hanya dengan gerak yang diungkapkan, gerakan bisa sangat berbeda baik dalam kualitas gerakan maupun kualitas iringan. Untuk itu konsep yang digunakan dalam merekonstruksi dengan memberi inovasi maka penggarap menggunakan konsep seni wisata, yaitu singkat, padat, menarik, dan memiliki nilai jual.Maka berdasarkan konsep tersebur tarian doger yang kemudian disebut doger kontrak dapat menjadi aset seni pertunjukan di Jawa Barat.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |