|
|
|
|
Dideng Dang Ayu (Dendangan lagu Putri Dayang Ayu) Tanggal 06 Aug 2018 oleh OSKM18_16718381_Clarissa Kurniawan. |
Dahulu kala hiduplah seorang raja bergelar Pasak Kancing. Permaisuri raja tersebut telah meninggal. Sebelum sepeninggalan sang permaisuri dia dikaruniai dua orang anak, seorang putra dan seorang putri. Kerena kesedihan sang raja yang terus menerus, keadaan kerajaan menjadi kacau balau tak terurus, termasuk kedua anak raja tersebut. Keadaan yang tidak nyaman terus terjadi di dalam kerajaan. Setelah beberapa tahun berlalu dan sang putra beranjak dewasa, keadaan kerajaan tidak kunjung membaik. Sang putra pun memutuskan untuk meninggalkan istana. Pamitlah ia dengan adinda putri untuk merantau dan mencari rejeki ke negeri orang. Sebelum berpisah, kakak beradik membuat janji apabila keduanya mempunyai keturunan, maka keduanya akan menikahkan anaknya.
Sang kakak merantau ke negeri Pusat Jalo dan kemudian menjadi raja di sana. Dari perkawinannya lahirlah seorang putra yang diberi nama Dang Bujang. Sementara adik perempuannya yang tinggal di Pasak Kancing memperoleh seorang anak perempuan bernama Putri Dayang Ayu. Dang Bujang dan Dayang Ayu mempunyai garis kehidupan yang sangat berbeda. Dang Bujang hidup sebagai anak raja, sedangkan Putri Dayang Ayu hidup dalam kemiskinan. Tetapi meskipun hidup dalam kemiskinan Putri Dayang Ayu diberikan anugrah kecantikan yang luar biasa. Menginjak dewasa, Dang Bujang dinobatkan sebagai putra mahkota. Acara penobatan sangat meriah. Sebuah pesta besar digelar. Semua pangeran dan putri-putri dalam negeri dan negeri-negeri sekitar kerajaan Pusat Jalo ikut memeriahkan pesta penobatan itu. Raja Pusat Jalo teringat akan janjinya, maka diundanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Maksud hati sang raja akan mengumumkan pertunangan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu.
Namun, ketika Putri Dayang Ayu dan ibunya datang ke acara tersebut, para tamu – tamu lain terlena dan terkagum akan pancaran kecantikan Putri Dayang Ayu. Dang Bujang yang sedang menari dengan seorang putri pilihannya, menjadi tidak diperhatikan, dan sepi sendiri di tengah arena pesta tersebut. Dang Bujang yang tidak tahu siapa yang datang, dan karena merasa dihina, tanpa berfikir panjang mengusir Putri Dayang Ayu dan ibunya dengan kata-kata yang terlalu menusuk hati. Merasa dihinakan tiada tara, dengan hati teramat kecewa dan keperihan yang dalam, pulanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya kembali ke Pasak Kancing.
"Demonilah ado meh di tanjung Karinak menjadi laro kain Demonilah ado meh di kandang Sanaklah menjadi orang lain Arolah kain buekkan dinding Buekkan dinding balai melintang Uranglah lain kau tunjukkan runding Lah nan sanak kau biakkan hilang"
Dengan hati lara dan putus asa Putri Dayang Ayu melangkah lunglai.
"Bahuma talang penyanit Dapatlah padi di tangkai lebat Manolah tanggo jalan ke langit Duduk di bumi salahlah sukat"
Betapa murkanya sang Raja Pusat Jalo mendengar perlakuan Dang Bujang terhadap Putri Dayang Ayu dan ibunya, “Kejar mereka dan kau tak kuizinkan kembali ke istana ini tanpa membawa Putri Dayang Ayu.” Demikianlah titah sang raja pada putra mahkota, Dang Bujang.
Di tengah perjalanan pulang kembali ke Pasak Kancing, ibu Putri Dayang Ayu wafat. Jadilah ia merambah hutan rimba seorang diri, hingga akhirnya dia bertemu dengan penguasa Bukit Sekedu, Nenek Rabiyah Sang Dewa Tua. Diceritakannyalah segala duka lara sang putri. Mendengar cerita tersebut, nenek Rabiyah berhasrat untuk menolong Putri Dayang Ayu. Atas bimbingan dan petunjuk nenek Rabiyah, Putri Dayang Ayu menuju telago larangan. Bergabunglah ia dengan delapan putri yang sedang mandi gembira ria. Ketika Putri Dayang Ayu mandi menggunakan selendang pemberian nenek Rabiyah, tiba – tiba selendang tersebut melekat erat di tubuh putri Dayang Ayu, sampai tubuh putri terlelap di air telaga, diiringi pernik-pernik warna pelangi.
Sementara itu, Dang Bujang yang mencari Putri Dayang Ayu, akhirnya sampai ke puncak Bukit Sekedu. Dia bertemu dengan nenek Rabiyah, lalu kemudian diceritakannyalah penyeselan dirinya mengusir Putri Dayang Ayu dan ibunya, serta berkata bahwa ia ingin membawa Dayang Ayu kembali ke istana. Mendengar ceritanya, maka disuruhnya Dang Bujang ke telaga larangan agar dapat bersua dengan putri adik sepupunya. Pesan sang nenek kepada Dang Bujang, putri yang terakhir turun ke telaga, dialah Putri Dayang Ayu.
Keesokan harinya, dengan berbekal pancing pemberian nenek Rabiyah, Dang Bujang menanti di telaga. Dengan merapal ajian yang diajarkan nenek Rabiyah, dipancingnyalah selendang terungguk di sembulan batu. Bidadari yang sedang turun mandi tak satu pun menyadari bahwa salah satu selendangnya telah berada di pelukan Dang Bujang. Betapa terkejut dan sedihnya Putri Dayang Ayu ditinggal sendiri karena tak lagi dapat terbang bersama dewi-dewi yang lain. Pupus tali dewa dewi dimainkan nasib peruntungan yang seorang pun tak ada yang tahu akhirnya. Tak ada pilihan, selain mengikuti bujukan dan paksaan Dang Bujang untuk kembali ke istana kerajaan Pusat Jalo. Kendati pesta perkawinan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu sangat meriah, tujuh hari tujuh malam perhelatan akbar digelar, tapi tak berhasil memupus kesedihan Putri Dayang Ayu. Gundah gulana selalu mewarnai wajah ayu sang putri. Kebahagiaan dunia tak memupus kerinduannya pada kebahagiaan alam dewa-dewi. Berbagai tabib negeri telah berupaya mengobati sang putri yang semakin hari badannya menyusut bak api dalam sekam. Puncak kerinduan tiba pada saat Putri Dayang Ayu melahirkan.
Suatu hari Putri Dayang Ayu berdiri di anjungan istana. sang putri berdoa ke singgasana Penguasa Alam. Setelah itu, secara perlahan tubuh Putri Dayang Ayu terangkat melayang melewati jendela anjungan istana. Dengan berkilauan air mata, mendengar tangisan bayinya di pembaringan, Putri Dayang Ayu meninggalkan bayinya. Sang putri tak sepenuhnya menjelma menjadi dewi, tapi menjelma menjadi seekor elang dan terbang membumbung tinggi ke awan. Isak sedih serta kasih sayangnya pada anak yang ditinggalkannya terdengar sebagai suara elang di angkasa. Orang – orang selalu bercerita suara kelik Elang di angkasa adalah jelmaan Putri Dayang Ayu yang sedang terbang membawa lara hatinya, Karena ia harus menyusui anaknya yang tak pernah lagi kesampaian.
Nah teman-teman ini adalah salah satu cerita rakyat Jambi yang jarang diceritakan, namun masih ada :) Ternyata ada banyak sekali cerita rakyat Jambi yang ada namun mulai perlahan hilang karena tidak semua diabadikan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa cerita rakyat jambi lainnya. Semoga membantu temen-temen semua dalam mengenal budaya Indonesia khususnya Jambi :)
Cerita rakyat Jambi lainnya:
1. "Putri Putih Unduk" (PPU)
2. "Si Klingking" (SK)
Sumber:
http://cerita-rakyat.com/dideng-dang-ayu/
http://m.kajanglako.com/id-317-post-cerita-rakyat-jambi-yang-terbuang.html
OSKMITB2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |