|
|
|
|
Desa Nggela Tanggal 17 Nov 2018 oleh Deni Andrian. |
Masih dalam lingkaran perjalanan saya di Taman Nasional Gunung Kelimutu, setelah melihat menariknya Desa Tenda, perjalanan dilanjutkan sedikit turun kearah selatan pesisir melewati jalan kurva berbukit-bukit dengan pemandangan megahnya laut dari ketinggian, tibalah di Desa adat yang tak kalah menarik bernama Desa Nggela. Desa yang masih masuk dalam Kecamatan Wolojita (satu kecamatan dengan Desa Tenda) termasuk salah satu pemukiman adat yang masih bertahan keasliannya sampai sekarang. Disini masih bertahan 17 orang Mosalaki (pemimpin adat) dengan jejeran 15 rumah adat beratap alang-alang kering, sepertinya tampak rapuh, namun dilihat dari umurnya alang-alang terbukti kuat dengan belasan tahun terpapar hujan dan sengatan panas.
Setelah asik memperhatikan rumah-rumah adat dari luar saya mencoba masuk ke dalam salah satu rumah, tentu saja adat ketimuran saya harus melepaskan sepatu, tidak cukup sampai disitu ternyata rumah ini tidak bisa sembarang masuk, kita bisa masuk hanya atas undangan wali pemilik rumah. Undangan itu disimbolkan dengan mempilis kening kita dengan beras yang sudah di tumbuk. Konon katanya anda akan menggelepar sampai mati jika sembarangan masuk tanpa izin dari pemilik rumah. Didalam rumah udara terasa sejuk walaupun saat itu panas terik di luar. Isi rumah terlihat seperti artefak suci dari mulai gading gajah di pusat rumah, nampan yang menggantung serta benda-benda tua lainnya. Setelah mata kita menyesuaikan diri dengan kegelapan di dalam Anda akan melihat dua perapian, tempat memasak daging di satu sisi yang disebut sebagai symbol kehidupan pria dan tempat memasak sayuran dan beras di perapian lainnya yang merupakan symbol dari kehidupan wanita. Dua tungku perapian ini disebut sebagai pusat kehidupan sejak jaman dahulu. Rumah ini memiliki dua tempat tidur yang terpisah oleh ruang tengah.
Berbagai ritual harus dilaksanakan jika pemilik rumah hendak merenovasi. Sekedar mengganti alang-alang pun ada aturannya. Untuk memasang satu tiang penyangga rumah, pemilik rumah harus memotong hewan sebagai kurban terlebih dahulu. Rumah alang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, karena kegiatan spiritual juga dilakukan didalamnya. Bagian bawah digunakan untuk menampung hewan peliharaan. Lalu lantai atasnya merupakan tempat tinggal utama, dan bagian paling atas dimanfaatkan untuk menyimpan barang-barang berharga. Adayang mengatakan juga bahwa bagian tersebut tempat berdiamnya roh leluhur. Pada perkembangannya, banyak sekali rumah adat di kampung lain yang kini menjadi rumah dinding bata atau mengganti atap daun menjadi seng. Selain rumah adat, keunikan lain di desa Nggela adalah mengubur jenazah keluarga di sebuah kubur batu yang terletak di halaman rumah. Bentuknya pun unik ada yang berbentuk kapal.
Menurut cerita yang hidup di Desa Nggela secara turun temurun, kampung adat ini berasal dari empat orang saudara kandung yang merupakan nenek moyang asli suku Lio atau suku Yunan/Hindia belakang yang hidup nomaden dan suatu hari berlabuh di Wewaria, pantai utara Ende, Flores. Nenek moyang ini terdiri dari tiga orang pemuda bernama Nogo, Tori, Nira, dan seorang perempuan bungsu yang bernama Nggela. Mereka kemudian membangun empat buah rumah pertama di Desa Nggela dan menamainya dengan Sao Rore Api, Sao Labo, Sao Wewa Mesa, Sao Ria, dan Sao Mekko. Masing-masing dari rumah ini memiliki fungsi. Sao Rore Api (rumah kakak tertua Nogo) berfungsi sebagai penyedia api yang digunakan untuk memasak pada seremonial adat misalnya acara Jaka Uwi. Api yang dihasilkan berasal dari dua bilah bambu yang digesek. Konon hanya orang-orang yang merupakan keturunan Nogo saja yang bisa menggesekkan dua bilah bambu tersebut. Rumah kedua Sao Labo adalah rumah milik sang adik Tori, yang merupakan rumah Ata Laki Ine Puu. Rumah ini berfungsi sebagai tempat konsultasi apabila terjadi masalah di seluruh wilayah adat Nggela. Rumah yang berikutnya adalah Sao Wewwa Mesa yang merupakan rumah milik Nira. Rumah ini berfungsi sebagai pelindung kampung kalau-kalau ada musuh yang menyerang Nggela dari wilayah laut. Rumah keempat adalah Sao Ria, inilah rumah milik si bungsu Nggela. Sao Ria adalah rumah pelaksana dan pengurus seremonial adat di Kampung Adat Nggela seperti Tau Nggua, Loka Lolo, dan lainya. Yang terakhir adalah Sao Mekko yang berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara kanga. Kanga adalah tempat diadakannya upacara atau seremonial adat.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |