Pulau selaru merupakan salah satu pulau terluar di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, tetapi juga pulau yang kini selalu dikaitkan dengan rencana proyek pengembangan kilang Gas Abadi, “Blok Masela”. Berdasarkan Perda Kabupaten Maluku Barat Daya Nomor 02 Tahun 2003, maka pulau Selaru telah ditetapkan sebagai sebuah wilayah administrtif pemerintahan Kecamatan yang disebut Kecamatan Selaru. Pulau dengan hamparan daratan seluas 826,26 km2, terdiri dari 7 desa, yaitu : Adaut, Kandar, Namtabung, Lingat, Werain, Eliasa, dan Fursui. Wilayah Kecamatan Selaru yang terletak pada 8,010 – 8,340 Lintang Selatan dan 130,760 – 131,170 Bujur Timur yang berbatasan dengan kecamatan Tanimbar Selatan (bagian Utara), Laut Arafura (bagian Selatan), Laut Arafura (bagian Timur), dan Kab. Maluku Barat Daya (Barat). Badan Pusat Statistik Kab. Maluku Tenggara Barat mencatat jumlah penduduk di Kecamatan Selaru pada akhir tahun 2016 sebanyak 12.917 jiwa (Laki-laki = 6.426, perempuan = 6.491).
Desa Adaut adalah pusat Kecamatan Selaru dengan luas daratan 303,52 km2 dan jumlah penduduk 5.063 jiwa (Laki-laki = 2.475, perempuan = 2.588). Prosentasi perbandingan jumlah penduduk yang mencapai 39,19 % dan wilayah daratan seluas 36,73%, memperlihatkan hampir sebagian penduduk dan wilayah daratan pulau Selaru dihuni oleh masyarakat desa Adaut. Karena itu, desa Adaut dikenal sebagai desa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dan luas wilayah yang terluas di pulau Selaru. Secara geografis, desa Adaut berbatasan dengan Pulau Matakus (bagian Utara), Desa Kandar (bagian Selatan), Desa Namtabung (sebelah Barat), dan Laut Arafura (bagian Timur).
UU RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Karena itu, Pulau Selaru dapat dikategorikan sebagai pulau kecil dalam gugusan kepulaan Tanimbar. Kini, kepemilikan petuanan desa Adaut mencakup pula pulau Angwarmase (dekat Latdalam di pulau Yamdena), pulau Nuyanat, dan pulau Batbual (pulau berbatu).
Gambaran Sosial Budaya
Dari Pnue Batfeny ke Tongor Kese
Pada umumnya, asal usul masyarakat Adaut tidak jauh berbeda dengan cerita asal usul masyarakat kepulauan Tanimbar yang tidak hanya berasal dari satu tempat saja. Menurut penelitian Drabe, sangat besar kemungkinan nenek moyang Tanimbar datang dari arah Barat. Dari tuturan lisan masyarakat, nenek moyang mereka berasal dari pulau yang telah tenggelam, yakni Pulau Baersady. Saat meninggalkan pulau tenggelam itu, mereka berlayar ke arah Pulau Yamdena dan mendarat di sebelah Barat Pulau Yemdena dan membuka perkampungan. Seletah itu, mereka menyebar pula ke bagian Timur Pulau Yamdena serta pulau-pulau di sekitar Pulau Yamdena, hingga ke pulau Selaru.
Menurut Frits Batlajery, menghadapi perdebatan tentang asal usul terkait dengan siapa yang tiba awal dan siapa yang datang kemudian, sebaiknya dimulai dari pengakuan bersama bahwa sebelumnya desa Adaut belum berpenghuni. Ada sebagian masyarakat yang menceritakan asal usul nenek moyang mereka dari pulau Seram yang berlayar ke pulau Banda, pulau Luang Timur, pulau Moa hingga akhirnya menetap di Adaut. Ada juga yang datang dari bagian Timur Pulau Yamdena. Juga sebagian berasal dari beberapa desa di pulau Selaru. Sebelumnya, nenek moyang Soa Onjout yang lebih awal telah memiliki bahasa, namun saat tibanya Soa Lauran dari Yamdena Timur dalam jumlah yang besar telah turut berpengaruh terhadap bahasa, dimana bahasa Yamdena Timur menjadi sangat dominan. Karena itu, bahasa Adaut berbeda dibanding dengan keenam desa lainnya di pulau Selaru.
Gambaran diatas memperlihatkan bahwa masyarakat Adaut merupakan pencampuran dari berbagai asal dengan budayanya. Percampuran orang-orang yang tidak seasal dalam suatu kebersamaan akan sangat ditentukan oleh keinginan hidup bersama yang didasari oleh perjanjian-perjanjian tertentu. Atas kesepakatan bersama, maka mereka memilih dan menentukan lokasi pertama untuk sebagai tempat pemukiman bersama di Pnue Batfeny. Sesudah itu, mereka berpindah pemukiman ke sebuah lokasi dataran yang lebih tinggi, yaitu di daerah Myetak (Bulur Tubun). Nampaknya, mereka tidak bertahan lama karena kampung Bulur Tubun diserang oleh orang-orang Alusi dari pulau Yamdena, sehingga mereka pindah kembali ke perkampungan awal Pnue Batfeny yang sekarang disebut kampong lama (Pnu Wangim). Pada zaman pemerintahan Belanda di bawah penguasaan Tuan Lina, masyarakat dipaksakan untuk pindah dari Nue Batfeny ke lokasi perkampungan baru Tonggor Kese. Disinilah masyarakat Adaut bermukim sampai sekarang.
Hidup Bersama Dalam Perahu TUTUKRATU
Menarik tentang nama Adaut yang dalam bahasa daerah disebut ONJOUT. Perubahan pengucapannya terjadi akibat lafal orang Belanda; ODOT, kemudian agar mudah diucapkan menjadi ADAUT. ONJOUT diartikan dengan kata NAMEUT artinya manusia datang berduyung-duyung seperti ombak besar yang datang bertubi-tubi. Nama ONJOUT dimaksud menggambarkan keadaan awal kehadiran berbagai Soa dari latar belakang yang berbeda. Diperkirakan, kedatangan orang-orang dianggap besar dari pulau Seram dan kemudian lebih besar lagi dari pula Yamdena bagian Timur. Kehadiran orang-orang dalam jumlah banyak itu kemudian mempengaruhi pembentukan struktur masyarakat, mata pencaharian, bahasa, dll.
Jika memperhatikan asal usul masyarakat Adaut, maka cukup unik karena ada sebagian dari hampir sebagian berasal dari pulau besar (Seram dan Yamdena) dan sebagian diantaranya dari pulau kecil (dari pulau Baersady dan beberapa desa di Selaru). Menurut Aholiab Watloly, ciri pulau besar dengan ruang sosialnya yang luas, cenderung memperlihatkan konfigurasi kehidupan social yang homogen, sedangkan ciri pulau kecil cenderung heterogen dengan keragaman yang cukup tinggi. Lebih lanjut dikatakan, pada tataran budaya, setiap komunitas masyarakat kepulauan memiliki latar geoteritori, pengaruh alam maupun sosio-kulturalnya yang berbeda. Masing-masing menerima pula pengaruh pemikiran, kegamaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. Semuanya terekspresi dalm suara (vocal), serta bentuk atau modus penyuaraan (voicing) yang berbeda-beda dalam sebuah parade “ragam suara masyarakat kepulauan” (voice of the archipelago), yang satar dengan isi pikiran, perilaku berbahasa, maupun gaya hidup (style of life)-nya masing-masing. Ternyata, perjumpaan yang terjadi disertai dengan keterbukaan untuk saling menerima dan saling mempengaruhi yang terlihat pada berbagai kesepakatan untuk membangun kehidupan bersama. Keunikan asal usul masyarakat Adaut dari pulau besar dan pulau kecil telah turut membentuk kepribadian masyarakat.
B. F. Skiner menawarkan sistem yang didasarkan pada “cara kerja yang menentukan” (operant conditioning). Setiap makhluk hidup pasti selalu beraqda dalam proses “melakukan sesuatu” terhadap lingkungannya, yang dalam artian sehari-hari berarti dia hidup dalam dunia dan melakukan apa yang dituntut oleh hakekat alamiah dirinya. Dia menjelaskan adanya stimulant-stimulan tertentu sebagai pengugah yang menentukan sebuah perilaku dengan berbagai konsekuensi yang akan mengubak kecendrungan mahkluk hidup untuk mengulangi perilaku yang sama terkait dengan maksud dan tujuannya. Dalam kesadaran ini, tentunya dibutuhkan suatu tatanan sebagai pedoman bagi masyarakat yang dalam kehidupan bersama, dimulai dari dengan terbentuknya suatu struktur masyarakat.
Struktur masyarakat Adaut yang terbentuk sejak awal sangat terkait dengan status dan peran Soa yang telah ditetapkan sejak dulu. Menutur penuturan Tokoh Adat, Frits Batlajery, Soa di desa Adaut sebagai berikut :
<>-<>-<>-<>-<>-<>-
|
Add caption |
Dikatakan pula oleh Aholiab Watloly, manajemen Sosial perahu menggambarkan sebuah sosialitas yang dinamis sehingga memungkinkan adanya proses-proses interaksi dan akulturasi yang bersifat lintas pulau diantara mereka sebagai masyarakat kepulauan yang tergolong masyarakat kepulauan pulau-pulau kecil.
Sejak awal ada empat Soa yang diberikan tempat dalam struktur masyarakat, yakni di bagian tengah : Soa Onjout (tuan tanah), Soa Owear pada posisi tengah bagian kanan disebut wilinbanyar, Soa Nuslare pada posisi tengah bagian kiri disebut wilintian. Pada posisi tengah adalah ketiga diberikan status dan peran sebagai pemimpin. Penetapan sebagai pemimpin dilakukan secara bergantian. Soa Lauran; Soa Sarwempun menempati posisi depan perahu dan Soa Botunyempun menempati posisi belakang perahu. Khusus Soa Sorwempun, diberikan status dan peran sebagai Panglima Perang.. Kemudian, Soa Owear terpecah menjadi Soa Nifmase, Soa Arunglele dan Soa Kelane. Terakhir ini Soa Onjout juga mengalami perpecahan, yakni; Soa Osife, Soa Olime, dan Soa Mitak. Jadi jumlah Soa yang awalnya empat, kini telah menjadi sepuluh Soa. Salah satu alasan kuat terjadinya perpecahan dalam Soa disebabkan keinginan untuk mendapat posisi berkuasa, terutama pada Soa tertentu yang semakin banyak anggotanya.
Hans Eysenck melahirkan empat tipe kepribadian dalam diri manusia, yakni; sanguine, kholerik, plegmatik dan melankoli. Keempat tipe kepribadian tersebut terkait erat dengan dua hal, temperature dan kelembaban pada suatu wilayah. Nampaknya, karakter masyarakat Adaut sangat didominasi oleh tipe kholerik yang terkadang meledak-ledak dan agresif. Menurut Eysenck, tipe kepribadian ini terkait dengan temperature wilayah yang cuacanya hangat dan kering. Tipe kepribadian tersebut kemudian berpadu dengan sifat agresifitas yang tinggi dari masyarakat pulau-pulau kecil dan ciri homogensitas masyarakat di pulau besar, nampaknya sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadian masyarakat Adaut. Jika dibandingkan dengan desa lainnya di pulau Selaru, masyarakat Adaut dikenal agresif, keras dan mengandalkan kekuatan “massa”. Tentunya, kencenderungan berkuasa telah terlihat dalam tradisi awal masyarakat Adaut, sehingga dapat saja terlihat adanya kecenderungan persaingan, bahkan saling menguasai. Karena itu, kesadaran terhadap berbagai gejala perpepecahan dalam persekutuan masyarakat adat dalam struktur perahu terus diberi makna ritus pada posisi dan peran Soa.
Ibarat perahu, masing-masing Soa yang berasal dari berbagai asal, dikatakan mereka datang ke desa Adaut dengan perahunya masing-masinglah. Tetapi, saat semuanya telah bertemu dan membangun kesepakatan bersama di Pnue Batfeny, maka mereka membuat satu perahu yakni TUTUKRATU. Nama perahu dimaksud berasal dari kata TUTUK artinya tata,atur, susun, sedangkan RATU artinya Tuhan. Jadi, TUTUKRATU artinya semua yang kita tata, atur, susun adalah untuk Tuhan. Tegasnya, untuk kepentingan bersama harus diatur untuk Tuhan. Komitmen diatas adalah bagian dari kedalaman ikatan identitas yang mempersatukan dalam menyelesaikan berbagai masalah di desa ataupun saat menghadapi masalah dari luar.
Masyarakat Adaut berkembang dengan pola ikatan kekerabatan yang sangat kuat dan tampak dalam adat istiadat, diantaranya Duan-Lolat dan Ure-Anak. Adat istiadat ini mengandung kewajiban yang harus dilakukan saat menghadapi berbagai masalah seperti perkawinan, perceraian, perselingkuhan, perzinahan, penghinaan, pencurian, penipuan, pembunuhan, pengrusakan, dll. Status sebagai Duan, Lolat, maupun Ure-Anak ditempatkan pada posisi dan perannya masing-masing. Penempatan peran dan fungsi secara tepat akan sangat membantu penyelesaian berbagai masalah. Pdt. Max Syauta menggali perspektif etis-teologis bahwa aspek yang menonjol dari relasi Duan-Lolat di Tanimbar terliat dari kesediaan untuk saling membantu, baik dalam susah maupun senang. Walaupun, ada tindakan yang terbatas bersifat materi, tetapi mempunyai akibat secara tidak langsung yang sangat besar bagi kekerabatan, persaudaraan dan kesejahteraan bersama dalam ruang publik yang luas.
Kebersamaan lainnya yang terlihat pula pada saat bekerja membuka kebun baru hingga perayaan saat panen hasil kebun. Masyarakat Adaut yang bekerja sebagai petani masih kuat melaksanakan trdisi para leluhur yaitu Rala Kai Beber (ambil hasil/barang baru). Tradisi yang saat ini disebut Syukur Kebun Baru, dilakukan sebagai bentuk pengucapan syukur atas hasil pengolahan kebun yang baru dipanen untuk tanaman jagung dan ubi. Wujud dari ungkapan syukur terlihat dalam acara makan bersama. Sistem pertanian tradisional yang juga dibangun dalam ikatan kebersamaan masyarakat Adaut adalah berhuma, dimana untuk membuka lahan pertanian baru, menanam kebun, hingga ketika lahan berkebun yang sudah dianggap tidak layak lagi ditanami, maka mereka akan melakukannya dan mengambil keputusan secara bersama. Semua aktifitas pertanian tersebut dilakukan dengan penetapan waktu sesuai dengan keadaan musim yang talah menjadi siklus waktu bersama yaitu panen jagung dilakukan pada bulan Maret, sedangkan panen ubi pada bulan September.
Sekalipun masyarakat Adaut bermukim pada pulau kecil, namun konsentrasi pada bidang pertanian sangatlah dominan. Keberadaan Tnyafar sebagai sebuah pranata sosil-ekonomi dalam masyarakat Adaut, tidak saja unik, tetapi sekaligus bertahan sampai saat ini dalam upaya pengelolan dan pemanfaatan lahan kebun. Menurut H. A. Mattulada, antropologi ekologi memusatkan perhatian kepada adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Karena itu, untuk dapat bertahan hidup, masyarakat Adaut membuat nyafar sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Lahan kebun yang sebelumnya bisa berpindah-pindah, kemudian terkonsentasi pada wilayah tertentu saja baik di wilayah petuanan desa Adaut di pulau Selaru maupun di pulau Angwarmase. Dalam perkembangannya, kelompok masyarakat yang bermukim di tnyafar mulai mengorganisir dirinya dengan menetapkan kepala tnyafar. Sebagai pemimpin, kepala tnyafar berperan mengorganisir kelompoknya dalam semua aktifitas bersama, seperti; penentuan lahan baru, pembersihan lahan, menanam bibit, menjaga/memelihara kebun, mengatasi gangguan/serangan hama perusak tananman, panen hasil, hingga syukur kebun baru. Kini, aktifitas kehidupan bersama masyarakat desa Adaut berlangsung di wiayah desa sebagai pusat Kecamatan dan 23 tnyafar dalam petuanan desa di pulau Selaru dan pulau Angwarmase.
Catatan Ahkir
Sejak awal, saya menyadari adanya kesulitan yang besar untuk menyajikan gambaran yang lengkap tentang masyarakat Adaut. Kesulitan dimaksud terkait dengan keterbatasan waktu untuk mengumpulkan data dan informasi karena terbatas pula pengetahuan saya yang selama ini berdomisili di luar desa Adaut. Karena itu dengan mendalami mata kuliah Psikolgi Masyarakat Kepulauan, terutama ketika mempersiapkan tugas ini, maka saya telah diperkaya dengan pengetahuan tentang negeri leluhur. Tentunya, saya berupaya untuk mengembangakan tugas ini dengan menyertakan pendapat para ahli dalam prespektif teoritik. Secara pribadi, selama ini saya gelisah dan sering bertanya tentang karakter masyarakat Adaut yang disebut-sebut keras, bahkan cenderung “brutal”. Sejak pembahasan pemikiran para ahli, saya tertarik pada teori kepribadian Hans Eysenck, sekalipun hanya dipakai pada Zaman Pertengahan. Paling tidak, saya merasa telah terbantu untuk memahami karakter masyarakat Adaut, dimulai dari diri dan keluarga saya sendiri.
sumber: http://ramalya.blogspot.com/2017/10/desa-adaut-di-pulau-selaru-dalam.html
#SBJ