Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Papua Papua
DANAU KERAMAT WALAIT
- 21 Juli 2018


Alkisah, di Lembah Baliem hiduplah sebuah suku yang bernama Suku Walait. Lembah Baliem yang berada di puncak Gunung Jayawijaya ini dikelilingi oleh hamparan hutan lebat. Di dalam hutan itu banyak terdapat binatang buas, terutama babi hutan. Itulah sebabnya, sebagian besar warga suku Walait bekerja sebagai pemburu babi hutan. Sebagian hasil tangkapannya dimakan untuk lauk sehari-sehari, dan sebagian yang lain untuk diternakkan.

 
Di antara penduduk suku Waliat ada seorang gadis bernama Jelita. Ia hanya tinggal bersama dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia. Sehari-harinya, gadis cantik itu bekerja sebagai penggembala babi, sedangkan sang Ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu, umbi-umbian, dan hasil hutan lainnya. Sang Ayah selalu berpesan kepada Jelita agar tidak menggembalakan babi di sekitar Danau Walait yang berada tidak jauh permukiman penduduk. 
  • “Jelita, putriku! Jangan sekali-kali kamu menggembalakan babi di sekitar danau itu!” ujar sang Ayah.
  • “Baik, Ayah,” jawab si Jelita.
Suatu hari, Jelita lupa pada pesan ayahnya. Ia membiarkan babinya berkeliaran di sekitar Danau Walait. Rerumputan di sekitar danau itu memang tumbuh subur dan hijau karena tak seorang pun yang berani menggembalakan babi di sana.
 
Sambil menunggu babi peliharaannya merumput, gadis cantik itu duduk berteduh di bawah sebuah pohon. Tak berapa lama kemudian, babi-babinya tiba-tiba mati bergelimpangan setelah memakan sesuatu di tepi danau itu. Melihat kejadian tersebut, Jelita menjadi panik.
  • “Aduh, Ayah pasti akan marah sekali jika mengetahui hal ini,” gumam si Jelita.
Dengan perasaan takut, Jelita pulang ke rumah untuk memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya. Sang Ayah mendengar kabar buruk itu pun menjadi murka.
  • “Dasar anak tidak bisa diatur!” hardik sang Ayah,
  • ”Ayah sudah melarangmu menggembala di sana, tapi kamu tidak mendengar nasehat Ayah. Pergi dari rumah ini!”
  • “Maafkan Jelita, Ayah! Jelita benar-benar lupa pada nasehat Ayah. Ampun Ayah, jangan usir Jelita! Jelita tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah,” rengek Jelita di hadapan ayahnya.
Meskipun Jelita sudah merengek-rengek, sang Ayah tetap mengusirnya. Dengan hati yang hancur, gadis yang malang itu pun pergi meninggalkan rumahnya.
 
Karena bingung harus pergi ke mana, ia pun memutuskan untuk pergi ke Danau Walait. Di pinggir danau itu, ia duduk termenung memikirkan nasibnya yang malang.
  • “Ya, Tuhan! Tak ada gunanya lagi hamba hidup di dunia ini. Hamba tidak memiliki siapa-siapa lagi,” keluh gadis itu.
Usai berkata demikian, Jelita mencebur ke dalam Danau Walait. Atas kuasa Tuhan, Jelita pun berubah menjadi seekor ikan mungil. 
 
Sejak itulah, itulah gadis yang telah berbuah menjadi ikan itu hidup di danau itu. Sementara itu, di seberang Danau Walait, tinggal pula sebuah Suku Akeima yang dipimpin oleh Hulogolik. Jumlah wanita di suku Akeima ketika itu masih sedikit sehingga banyak laki-laki yang belum menikah, termasuk Hulogolik.
 
Suatu ketika, Hulogolik pergi bertapa di sebuah gua untuk meminta kepada Dewata agar dianugerahi seorang istri untuk melanjutkan keturunannya. Ketika ia sedang bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan di telinganya.
  • “Wahai, Hulogolik. Jika kamu mendapatkan istri, usirlah suku Walai yang ada di sekitar Danau Walait!” seru suara itu.
Hulogolik pun menuruti pesan gaib itu. Bersama dengan warga sukunya, Hulogolik memerangi suku Waliat dan berhasil mengusir mereka dari tempat itu.
 
Karena kelelahan, kepala suku itu beristirahat di bawah sebuah pohon di tepi Danau Walait hingga terlelap. Dalam lelapnya, ia mendapat perintah dari Dewa agar mencopot kepalanya. 
  • “Wahai, Hulogolik. Penggallah kepalamu hingga terpisah dari tubuhmu. Setelah itu, masuklah ke dalam Danau Walait!” seru sang Dewa.
Begitu terbangun, Hulogolik segera menuruti perintah itu. Dengan tubuh tanpa kepala, ia segera mencebur ke dalam danau. Ikan-ikan yang ada di dalam danau itu pun masuk ke dalam tubuhnya hingga penuh.
 
Setelah kembali ke darat, Hulogolik mengeluarkan semua ikan yang ada di tubuhnya ke rerumputan. Setelah itu, kepala dan tubuhnya kembali menyatu. Ajaibnya, ikan-ikan tersebut tiba-tiba menjelma menjadi gadis-gadis yang cantik jelita.
 
Rupanya, ikan-ikan tersebut merupakan penjelmaan gadis-gadis yang sering hilang di sekitar Danau Walait. Akhirnya, Hulogolik membawa pulang gadis-gadis itu ke kampungnya untuk dinikahinya dan juga orang-orang sukunya yang memang banyak yang belum beristri. Namun, tanpa sepengetahuan Hulogolik, salah seorang anak buahnya memperhatikan tingkah lakunya saat ia mencebur ke dalam Danau Walait.
 
Keesokan harinya, warga itu ingin melakukan seperti yang dilakukan oleh Hulogolik dengan meminta bantuan kepada roh jahat.
  • “Baiklah, aku akan membantumu, tapi dengan syarat kamu harus membujuk Hulogolik untuk kembali memerangi suku Walait,” ujar roh jahat itu.
Warga itu menyanggupi persyaratan itu. Alhasil, ia berhasil membujuk kepala sukunya itu sehingga peperangan antara dua suku pun kembali berkobar. Peperangan itu memakan banyak korban.
 
Setelah perang tersebut selesai, anak buah Hulogolik itu mendekati Danau Walait dan melakukan seperti melakukan seperti yang dilakukan oleh tuannya.  Namun, tanpa ia sadari pula, ternyata ada seorang warga lain yang mengintipnya dari balik semak-semak. Begitu ia mencebur ke danau tanpa kepala, warga yang mengintip itu mengambil kepalanya dan cepat-cepat pergi. Ketika anak buah Hulogolik itu kembali darat, kepalanya sudah tidak ada.
 
Pada saat itulah, ia tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular raksasa. Sang Dewa yang mengetahui peristiwa itu menjadi murka kepada Hulogolik karena lalai mengawasi warganya. 
  • “Hai, Hulogolik! Kenapa kamu menyerang suku Walait tanpa melalui perintahku? Karena kamu telah bertindak sewenang-wenang, maka sebagai hukumannya jasadmu kelak tidak akan membusuk sampai kapan pun,” ujar sang Dewa dalam mimpi Hulogolik.
Alangkah terkejutnya Hulogolik saat terbangun. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah termakan hasut oleh anak buahnya itu. Namun, apa boleh, buat nasi sudah menjadi bubur.  Hulogolik tinggal menunggu hukuman itu setelah ia mati kelak.
 
Sementara itu, isti Hulogolik telah berkumpul kembali dengan keluarganya. Saat mereka berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang menyinggung perihal hilangnya seorang warga di Danau Walait. Ia juga mengakui bahwa dirinyalah yang memisahkan kepala dan tubuh anak buah Hulogolik itu.
 
Mendengar cerita itu, cepat-cepatlah Hulogolik berlari menuju ke Danau Walait. Setiba di tepi danau, tiba-tiba seekor ular raksasa menyerangnya. Saking cepatnya serangan ular itu sampai-sampai Hulogolik tidak sempat menghindar. Akhirnya, kepala suku Akeima itu pun tewas. Tubuhnya pun mengeras dan berwarna hitam. Karena tak seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa itu, jasad Hulogolik masih terapung-apung di tengah danau itu hingga berhari-hari.
 
Warga yang berada di perkampung pun mulai cemas karena kepala suku mereka tidak pulang-pulang. Istri Hulogolik pun mengerahkan seluruh warga untuk mencarinya ke Danau Walait. Melihat kedatangan orang-orang, ular naga segera membuat lubang besar di dasar danau dan bersembunyi di dalamnya. Ia takut keluar karena itu akan membahayakan dirinya. Sementara itu, para warga yang baru tiba di tempat itu dikejutkan oleh sesosok tubuh sedang terapung-apung di tengah danau.
  • “Hai lihat, bukankah itu jasad Hulogolik?” teriak salah seorang warga.
  • “Iya, sepertinya benar,” sahut istri Hulogolik.
Beberapa warga segera berenang ke tengah danau untuk mengambil jasad Hulogolik. Tak berapa lama kemudian, para warga itu kembali ke darat dengan membopong jasad kepala suku mereka. Mereka kemudian membawa pulang mayat itu ke perkampungan untuk disemayamkan di sebuah honay (rumah adat orang Papua). Sungguh ajaib, mayat Hulogolik itu benar-benar tidak pernah membusuk.
 
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/12/danau-keramat-walait.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline