Negeri atau desa Suli terletak di tepi pantai teluk Baguala yang terdapat di pulau Ambon. Negeri ini tidak begitu besar, namun sangat terkenal keindahan alam ditepi pantai negeri tersebut. Pantai Natsepa adalah satu tempat pemandangan di tepi laut yang sangat indah dengan pasir putihnya yang halus sangat ramai di kunjungi oleh orang terutama pada hari minggu dan hari-hari libur lainnya.
Bilamana kita datang ke pantai itu pada hari Minggu, di sana sudah banyak sekali orang, ada yang mandi-mandi, ada sebagian yang duduk saja sambil berceritera ada pula yang bermain bola di tepi pantai dan sebagainya. Pantai yang indah itu menjadi sasaran banyak oarang yang ingin melepaskan lelahnya di hari lihur dan itulah pantai "petuanan" (wilayah) negeri Suli.
Di lain pihak bila kita mempelajari dengan seksama akan sejarah negeri-negeri khususnya di daerah Kabupaten Maluku Tengah, akan jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya negeri-negeri yang ada sekarang adalah negeri yang baru. Negeri tua menurut istilah orang di Maluku Tengah berada di tempat lain. Negeri tua itu ada yang dekat tetapi ada pula yang jauh letaknya dari negeri yang sekarang di diami itu.
Keadaan yang sama dialami oleh masyarakat negeri Suli. Dahulu kala di Negeri Amansurit yaitu negeri tua dari negeri Suli sekarang terdapat 3 (tiga) soa. yaitu :
Soa Amarumatena
Soa Latuslamu
Soa Wai Musalaut.
Soa adalah kumpulan dari beberapa rumah tua menjadi satu yang aman (lena) yang dapat dianggap sebagai satu klan. Ini berarti negeri Suli terdiri dari tiga soa di mana masing-masing Soa waktu itu dipimpin oleh seorang Kapitan. Antara ketiga Soa ini terjadi pertentangan yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya situasi dalam negeri Amansurit tidak tenteram. Oleh karena itu ketiga Kapitan itu berkumpul untuk merundingkan cara yang tepat demi terciptanya keamanan dan ketenteraman dalam negeri atau desa mereka.
Perundingan tadi menghasilkan keputusan bahwa mereka harus mencari tempat baru untuk dapat dijadikan negeri baru yang dapat menjamin keamanan dan ketenteraman negeri. Hal ini disebabkan karena kedudukan soa-soa tadi kurang serasi untuk dapat menciptakan rasa kerukunan hidup dalam negeri. Timbul persoalan, yaitu tempat yang bagaimanakah yang harus mereka tentukan agar cocok dijadikan perkampungan baru bagi anak buah mereka, atau persyaratan apakah yang harus dipenuhi oleh tempat yang akan dicari itu agar cocok dijadikan negeri baru bagi mereka. Tetapi masalah ini tidak dipikirkan oleh ketiga Kapitan itu.
Dalam perundingan tersebut telah diputuskan bahwa untuk menentukan tempat yang baru bagi negeri mereka ialah Ketiga Kapitan itu harus pergi ke atas bukit yang terkenal dengan nama Bukit Amahuing. Dari sana masing-masing Kapitan akan melemparkan tombak mereka sejauh kemampuan masing-masing. Pada tempat di mana tombak yang terjauh pelemparannya tertancap diatas tanah, maka tanah di sekitar tombak itu tertancap akan dijadikan negeri atau perkampungan baru bagi mereka.
Selesai perundingan itu, maka berjalanlah ketiga Kapitan tadi menuju bukit Amahuing. Dari sana mereka seolah-olah berlomba melemparkan tombak, dan ternyata Kapitan Waimasalautlah yang menang karena lemparannya yang cukup terjauh. Sesudah itu ketiga Kapitan tadi kembali ke negeri Amansurit dan memerintahkan seluruh anak buah mereka beralih tempat membangun negeri baru pada tempat yang sudah ditentukan bersama oleh ketiga Kapitan mereka yaitu di atas tanah sekitar tertancapnya tombak Kapitan Waimusalaut. Ketika semua orang sudah menduduki tempat yang baru itu yang kini terkenal dengan nama negeri Suli.
Sekarang untuk menghormati Kapitan Waimusalaut maka pada tanah di mana tombak kapitan Waimusalaut tertancap dibangunkan Baeleu atau rumah adat dari negeri Suli sekarang dan diberi nama "Lea Musa." Pada mulanya kehidupan dalam negeri yang baru itu mendatangkan udara kerukunan dan kenteraman. Namun situasi yang aman dan tenteram tak dapat berlangsung lama karena kenyataannya di tempat itu tak ada sumber air. Keadaan ini menimbulkan kegelisahan baru bagi kehidupan masyarakat negeri Suli.
Muncullah kini bermacam-macam keluhan yang dilontarkan oleh anak-anak negeri pada ketiga kapitan mereka. Keluhan-keluhan itu lebih-lebih ditujukan kepada Kapitan Waimusalaut karena dialah yang telah menentukan tempat itu untuk dijadikan negeri baru sesuai petunjuk lemparan tombaknya. Melihat situasi yang mulai keruh aneka ragam persungutan yang dilontarkan oleh masyarakat negeri kepada Kapitan Waimusalaut, maka Permata istri Kapitan menjadi sangat prihatin. Dalam situasi prihatin ini timbullah tekad di dalam hatinya untuk berusaha mencari dan mendapatkan sumber air agar kericuhan dalam negeri dapat diatasi sekaligus nama baik suaminya dapat dikembalikan ke tengah-tengah mayarakat.
Pada suatu hari Permata dengan hanya berbekalan sirih pinang dan kapur, dia keluar dari rumahnya lalu berjalan mencari sumber air keliling negerinya. Permata berjalan mengelilingi negeri dengan penuh keprihatinan. Langkah demi langkah disertai perhatian yang serius dan tangan yang mencakar ke kiri dan ke kanan kalau-kalau ada sumber air di sana. Setelah beberapa jam lamanya ia menjalankan tugas ini maka Permata menjadi sangat lelah lagi lapar, ketika ia sudah berada ditengah-tengah negeri / desa. Untuk melepaskan lelah pergilah ia menuju sebuah karang yang terdapat di sana. Setibanya di sana, maka duduklah ia diatas sebuah batu karang tersebut untuk melepaskan lelah sambil makan pinang.
Ketika pinangnya sudah dikeluarkan dan pada saat pinangnya itu hendak dibelah, maka pinang itu terlepas jatuh dari tangannya terguling ke bawah. Tiba-tiba Permata menjadi sangat terkejut karena dari tengah-tengah batu karang tempat dimana ia sedang duduk itu keluarlah sebuah mata air dan mengalir mengikuti jalur di mana pinangnya jatuh terguling tadi. Oleh karena begitu gembiranya melihat sumber air tadi maka lenyaplah rasa lapar, lelah serta dahaganya lalu berlarilah Permata menyatakan kabar gembira ini kepada seluruh masyarakat negeri itu.
Mendengar berita Permata itu datanglah masyarakat untuk menyaksikan sekaligus mengambil air dari sana. Air tersebut lalu diberi nama "Wai Larihua" (Wai = air/sungai, Larihua = pinang terguling). Jadi WaiLarihua artinya air/ sungaimuncul karena mengikuti arah pinang terguling. Adanya sumber air Larihua tentu sdah sangat menyenangkan masyarakat negeri Suli. Namun dengan adanya hanya satu sumber yang menjadi sasaran seluruh masayarakat di sana tentu akan menimbulkan ketegangan-ketegangan kecil.
Untuk menghilangkan ketegangan kecil itu serta demi terciptanya suasana rukun bagi kehidupan masyarakat negeri Suli, maka ketiga kapitan tadi yakni Amarumatena, Latuslamu dan Wai Musalaut pergi ke satu empat yang kini disebut "Waiputi." Ketika mereka itu tiba, disana mereka mengadakan satu upacara adat. Selesai upacara tersebut maka mereka secara serempak menikamkan tombak mereka pada satu tempat dan terpancarlah sebuah air mata.
Dari mata air itu mengalirlah anak sungai dari Timur ke Barat membagi negeri Amansurit menjadi dua, dan sampai ditengah-tengah negeri bertemu dengan aliran Wai Lorihua selanjutnya menjadi satu dan mengalir terus ke pantai negeri Suli. Sampai saat ini Wai Lorihua senantiasa memancarkan airnya yang jernih, tidak pernah kering walaupun musim kering/kemarau berjalan agak panjang dan di sekitar batu karang dari mana sumber air itu berasal tidak ada pohon-pohon pelindung.
sumber: Cerita Rakyat Daerah Maluku oleh Depdikbud
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...