Marga Sungai Tenang tanahnya subur dengan hutan lebat terbentang sesayup-sayup mata memandang. Negeri ini di diami penduduk para petani yang ulet. Tanahnya berbukit-bukit rendah dengan lereng memanjang, dan di bawahnya sungai-sungai kecil berbatu-batu putih amat cocok untuk dijadikan daerah pertanian.
Sebagai sebuah marga, negeri yang elok ini diperintah seorang pemimpin yang disebut pemuncak. Bilangan negeri yang termasuk dalam daerah marga ini amat hormat dan patuh kepada pemimpin mereka itu. Masing-masing negeri dikuasai dan diperintah oleh ninik mamak yang terpilih di antara yang paling terpandang.
Begitulah kehidupan terus berlangsung jalan kedamaian yang seronok berkat kebijaksanaan pemimpin mereka Pemuncak Alam Negeri Sungai Tenang. Sebagai seorang pemuncak, beliau amat berhasil menjalankan tugasnya. Namun satu hal yang mengacau pikirannya ia sudah tua tetapi belum beranak seorang jua pun. Untunglah, dalam suasana yang demikian, tiba-tiba datang seorang perantau dari negeri Minangkabau, seorang lelaki muda yang gagah serta berbudi pula.
Lelaki tersebut datang ke sana dalam usahanya mendapatkan tanah yang subur untuk didiami. Pemuda itu diterima dengan hangat dan rasa suka cita oleh Pemuncak Marga Sungai Tenang. Dalam pikirannya, suatu saat pemuda itu akan diangkatnya sebagai anak. Dengan demikian kelangsungan tugasnya dapat diturunkan kepada anak muda itu.
Lama-lama berdiam di negeri Sungai Tenang, di rumah Pemuncak yang tak mempunyai anak itu, maka diangkatlah ia sebagai anak angkat Pemuncak itu. Ia kemudian diberi kekuasaan memerintah di Dusun Gedang, diberi pangkat sebagai Depati. Dan karena itu diberi gelar Depati Kerta Dewa. Diberikan juga pengetahuan oleh ayah angkatnya, bahwa negeri mereka berjenang ke Koto Buayo, dan braja kepada Baginda raja negeri Jambi yang bernama Sunan Ratu, seorang wanita yang amat bijaksana lagi sakti. Depati Kerta Dewa berjanji akan membedomani segala pesan ayahnya itu.
Pada saat itu Depati Kerta Dewa juga menerima sepucuk bedil yang bernama bedil sedegak dua degum, buatan anak negeri Jepun, bedil keramat serta sakti, anak mimeh pulang mandi. Bila bedil itu ditembakkan terdengar bunyi dua seiring, dan pelurunya akan berbalik sendiri ke dalam bedil itu akan berbunyi sendiri. Penduduk segera bersiaga dan berwaspada, mungkin gempa akan melanda negeri, atau wabah penyakit menular akan datang. Bedil keramat inilah yang diterima oleh Depati Kerta Dewa dari ayah angkatnya.
Depati Kerta Dewa pun mulai menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Untuk tempat kerapatan didirikannya tiga buah balai sidang. Balai Panduk, Balai Panjang, dan Balai Buntak. Bersendi Gading Koto X ditetapkan sebagai pusat kerapatan adat yang mempunayi Balai Pandak dan Balai Panjang, serta Balai Buntak Bersendi Gading ditempatkan di Dusun Gedang, tempat Depati Kerta Dewa sendiri, sebagai balai tertinggi. Bila timbul perkara-perkara yang tak dapat diputuskan dalam sidang Balai Pandak dan Balai Panjang, maka penyelesaian terakhir diserahkan dalam sidang di Balai Buntak Bersendi Gading.
Depati Kerta Dewa pun mulai menjalankan adat bagi penduduk yang diperintahnya. Sebagai seorang pemimpin ia menjadi suri teladan penduduk negeri yang dipimpinnya itu. Kerapatan-kerapatan adat segera dimulai. Dengan demikian diharapkan agar penduduk dapat menjalankan adat dalam kebiasaan hidup sehari-hari.
Sebagai seorang pemimpin, Depati Kerta Dewa amat berbahagia, namun selama hidupnya ia tak mendapat anak seorang pun. Keadaan itu selalu menjadi pemikirannya. Namun ia berdua dengan istrinya, anak perempuan negeri Sungai Tenang sendiri, tak pernah berputus asa. Semua kegiatan mereka sehari-hari tetap terlaksana dengan baik.
Dalam pada itu pada seorang penduduk Dusun Gedang pergi ke dalam rimba mencari damar. Tak disengajanya ia bertemu dengan dua orang anak manusia dalam lobang batung kayu, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh pencari damar itu, karena takutnya. segera diberitahukannya kepada Tuan Depati Kerta Dewa.
"Hamba bertemu dengan dua orang anak," katanya kepada depati itu. "Mereka ada di dalam rongga batang kayu. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Bagaimana menurut hemat Tuan Depati."
"Kalau benar demikian, bawalah kedua orang anak kecil itu kemari," Sabda Depati Kerta Dewa. Maka bergegaslah pencari damar itu kembali ke dalam hutan menjemput kedua orang anak yang dijumpainya tadi. Sekembalinya, anak itu pun diserahkannya kepada Depati Kerta Dewa.
Oleh Kerta Dewa, kedua orang anak itu dijadikan anak semangnya. Disuruh dan ditugaskan penyiduk air, menjemput yang jauh, menghimbau yang dekat. Disuruh memanjat pinang bersemut kerangga, berlumut bersekat. Diperlakukan sebagai budak yang tak berharga. Apabila diadakan kerapatan sidang di Balai Buntak Bersendi Gading, budak itu dipanggil dijadikan tangga para ninik mamak yang akan naik ke balai persidangan. Budak lelaki itu duduk menjongkok di pintu lorong masuk ke persidangan, dan bahunya dijadikan anak tangga alas kaki peserta sidang kerapatan yang akan naik ke atas balai sidang. Terutama bagi depati yang berenam.
Bertahun-tahun kemudian, saat kedua anak itu sudah dewasa, mereka pun dikawinkan. Kalau mereka dahulu ditemukan sepasang, maka sekarang mereka dipersatukan pula dalam satu ikatan tali perkawinan. Setelah melangsungkan perkawinan itu mereka diasingkan ke suatu tempat, namanya Dusun Tanjung Aur, seperempat kilometer jauhnya dari Dusun Gedang. Mereka dilarang bergaul dengan penduduk asli. Turun-temurun, sampai ke anak cucu, mereka tak berhak menduduki sesuatu jabatan apa saja di negeri kemargaan Sungai Tenang. Rumah mereka diatur sedemikian rupa, tidak boleh berhubungan. Ini untuk membedakannya dengan penduduk yang lain. Berpangkal dari pasangan itu, lambat laun mereka pun berkembang biak, sehingga dusun itu telah menjadi sebuah kampung.
Dusun itu tidak sunyi lagi. Pergantian generasi ke generasi berlangsung terus, orang pun makin bertambah banyak. Mereka dapat menjalin kehidupan dengan tenang, walaupun tersisih dan disisihkan. Namun malang yang akan tumbuh, terjadi suatu peristiwa yang memalukan. Sepasang adik kakak melakukan perzinahan.
Karena takut diketahui orang sang kakak, yang laki-laki melarikan diri. Tiga kilometer dari dusun itu bertemu dengan si Pahit Lidah, yang langsung menegurnya. Serta merta lelaki itu berubah menjadi batu. Si adik yang ditinggal begitu saja, setelah berada dalam kebingungan, mengambil keputusan untuk melarikan diri dari tempat mereka berbuat mesum tadi. Tapi baru saja seperempat kilometer dari sana ia pun bertemu dengan si Pahit Lidah, yang juga menyapanya dan langsunglah menjadi batu pula.
Tuhan berbuat sekehendaknya. Itulah dosa besar, dosa orang-orang yang telah berbuat zina antara saudara sekandung yang harus menebus segala kesalahan mereka, menjadi batu. Sampai kini batu itu dinamai Batu Larung.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja