Baginda seorang Raja yang amat terkenal. Nama Baginda Tan Telanai. Sebagai seorang raja, baginda memiliki kekeramatan yang luar biasa. Jarak yang jauh tak berarti sama sekali bagi baginda. Bila baginda ingin bepergian ke suatu tempat yang jauh, sebentar saja baginda sudah ada di tempat itu. Sungai-sungai, rimba belantara, lembah yang dalam, atau gunung yang tinggi, semuanya bukan merupakan sesuatu yang dapat menghalangi geraknya. Binatang buas seperti buaya, harimau, dan yang sejenis dengan itu tak berarti sama sekali bagi baginda. Baginda sungguh seorang raja yang hebat, yang mewarisi kehebatan serta kekeramatan para dewa di kayangan.
Suatu hari baginda berhajat hendak menangkap ikan di sungai Batang Hari. Di sungai yang jernih airnya itu banyak ikan besar hidup dengan tenteram. Kalau Tan Telanai sudah berkeinginan baginda tak berlama-lama mulai meninggalkan istananya berangkat seorang diri. Bila kakinya menjejak di tanah seketika itu juga tubuhnya sudah hilang lenyap bersatu dengan semaknya hutan lebat yang masih liar. Tiba-tiba baginda sudah sampai di daerah hulu, daerah itu sekarang bernama Napal Sisik, sebuah kampung di pinggir sungai Batang Hari, yang terdiri dari batu-batu napal ke perang-perangan. Di tempat itu baginda berhenti sejenak. Hatinya mulai tergoda melihat ikan besar-besar yang ramai hilir mudik menggeserkan badan di batu napal yang kesat. Melihat ikan-ikan tersebut Tan Telanai tersenyum gembira. Sebentar kemudian tubuhnya nampak berkelabat dan berhenti di dekat sebuah napal besar. Baginda jongkok menghadap arah ke hilir. Kakinya sebelah berpijak dalam air.
Kala itu musim kemarau. Pada saat ini air sungai menjadi dangkal. Airnya bening sebening-beningnya. Batu napal bersembulan dibeberapa tempat, di pinggir sungai. Mata Tan Telanai berkilat-kilat memandang ikan yang sedang lewat di tempat itu. Baginda masih menunggu beberapa saat, menanti kalau-kalau seekor ikan yang besar akan muncul. Benar saja, tak lama kemudian melintas seekor ikan besar bersisik lebar. Ikan itu bergerak dengan lambat di setentang kaki Tan Telanai yang tercacak dalam air. Sekali gerak saja kaki Tan Telanai terayun, ikan besar itu melambung ke udara dan dengan cepat ditangkap baginda. Hari itu Tan Telanai memperoleh seekor ikan besar tanpa bersusah-susah amat. Ikan yang berada dalam genggamannya itu dihempaskan baginda ke atas batu napal. Tanpa banyak tingkah ikan itu menyerah kalah karena nyawanya sendiri telah melayang.
"Maafkan aku ikan yang baik!" celotoh Tan Telanai seorang diri. "Aku akan memanggangmu di hulu, di Muara Tebo." Maka selesai berucap demikian beliau menghambur ke dalam semak- semak. Sebentar saja baginda telah sampai di Muara Tebo. Yang tinggal hanya sisik-sisik ikan, dengan bekasnya dapat dijumpai hingga dewasa ini. Dusun yang ada di tempat itu, di pinggir sungai sekarang bernama Napal Sisik. Di Muaro Tebo baginda membakar ikan yang ditangkap di hilir tadi. Ketika akan bersantap baginda teringat ulam daun putat belum ada. Daun putat ini merupakan ulam yang menjadi kesukaan baginda sehari-hari. Baginda segera bangkit, lalu menghilang arah ke hilir. Di hilir daun itu banyak terdapat, berjulaian dipinggir- pinggir sungai.
Setelah daun putat itu dirasa baginda mencukupi untuk lalapnya, bergegas baginda berbalik pula mudik ke Muaro Tebo. Bukankah panggang ikan baginda tertinggal di sana? Di tempat baginda menangkap ikan, baginda bertemu dengan seorang putri yang amat cantik paras wajahnya. Ternyata wanita itu adalah Puteri Selara Pinang Masak. Tan Telanai merasa tergugah hatinya untuk melamar puteri yang telah menawan segenap kalbunya. Pada saat itu juga Tan Telanai langsung melamar Puteri Selara Pinang Masak. Puteri yang cantik itu tertegun, hatinya amat cemas dan dadanya berdebar-debar kencang. Ia tidak berani menolak lamaran itu, tetapi juga tidak hendak menerimanya. Namun karena takut, Puteri Pinang Masak terpaksa mengiyakan juga dengan mengajukan sesuatu syarat yang harus dipenuhi oleh baginda raja Tan Telanai.
"Hamba bersedia menerima lamaran Tuanku," kata Puteri Selara Pinang Masak kepada Tan Telanai. "Tapi sebelum itu hamba akan mengajukan syarat-syarat yang harus Tuanku penuhi."
"Apa itu gerangan?" Jawab Tan Telanai tak sabar. "Demi cintaku kepadamu, wahai Puteri, segalanya akan kupenuhi" Puteri Selara Pinang Masak tak segera mengatakan apa gerangan yang harus dilakukan Tan Telanai. Hatinya terasa sangat bimbang. Tak sudi sedikit pun ia bersuamikan raja yang sudah tua itu. Lagi pula ia belum dapat menangkap apa artinya cinta. Di langit awan putih bergerak pelan. Seekor dua burung elang melayang-layang dan melemparkan suara kelik, seakan-akan ikut meramaikan pertemuan Tan Telanai dengan Puteri Pinang Masak.
Bunyi gemersik air sungai Batang Hari yang bergeseran dengan dinding batu napal terdengar lembut. Tan Telanai menunggu dengan sabar apa yang akan disampaikan wanita yang ada dihadapannya itu. Tan Telanai merasa sangat yakin bahwa apa saja yang dikehendaki puteri ini akan dapat dikerjakannya. Sementara itu Puteri Selara Pinang Masak menyumpah-nyumpah dalam hatinya kenapa ia harus bertemu dengan lelaki yang belum dikenalnya itu. Dan begitu saja telah berani melamarnya untuk dijadikan istrinya. Andainya ia seorang lelaki juga, tentulah akan dihadapinya dalam suatu pertarungan.
"Engkau sebutkanlah, Puteri!" seru Tan Telanai tidak sabar, "Tak baik seorang sepertimu yang cendekia ini tersangkut-sangkut dalam berunding."
"Wahai Tuanku!" jawab Puteri gemas. "Sekedar berkata takkan begitu menghabiskan waktu. Hamba terlena melihat elang sedang terbang."
"Ya, aku pun melihatnya!" tingkah Tan Telanai tak hendak ketinggalan. "Namun bagaimanapun engkau ceritakan, jugalah apa syarat yang harus aku laksanakan!"
"Benar," kata Puteri Selara Pinang Masak pula. "Kalau Tuanku benar-benar hendak mempersunting daku yang hina dina ini. Tuanku harus sanggup membendung air sungai ini. Hamba nanti dapat berperahu dengan tenang di atasnya."
"O, itu sesuatu yang gampang sekali!" seru Tan Telanai gembira.
"Ya, Tapi harus Tuanku selesaikan menjelang ayam berkokok subuhnya," kata Puteri Selara Pinang Masak.
"Bagus!" jawab Tan Telanai melonjak kegirangan. "Akan kubuktikan kepadamu Puteri bahwa kesanggupan amat luar biasa." Tan Telanai nampak amat puas. Hatinya riang gembira, karena baginda merasa yakin akan senggup menyelesaikan pekerjaan seperti yang dikehendaki Puteri Selara Pinang Masak.
Puteri Selara Pinang Masak telah pergi ke rumahnya. Tan Telanai tinggal seorang diri di tepi sungai dengan perasaan gembira. Baginda mulai mengumpulkan kekuatan untuk mulai mengerjakan tugas yang diterimanya malam nanti. Menjelang senja telah berdatangan para dewa serta penunggu sekalian rimba, gunung dan lembah, sungai dan laut. Batu-batu besar telah tersusun beronggok-onggok. Tanah liat menggunduk di sepanjang tepi sungai. Tan Telanai menunjuk-nunjukkan jarinya menandai bagian-bagian mana yang harus dibendung. Mata baginda memandangi bukit-bukit yang ada di sana. Dalam hatinya timbul pujian terhadap Puteri Selara Pinang Masak, yang menghendaki bendungan itu. Bagaimana pun daerah itu memang elok untuk dijadikan dan diubah sebagai daerah tamasya dengan sebuah danau buatan. Kalau air sudah naik maka akan tercipta suatu pemandangan yang seronok dengan air terjun di bagian Timur. Setelah air terkumpul dengan mudah aliran sungai akan dibelokkan ke bagian Selatan menuju air terjun yang jatuh menggemuruh. Tan Telanai mengitari daerah yang akan digarapnya. Hati baginda merasa puas dengan segala rencana yang memenuhi kepalanya.
Matahari telah terbenam, tandanya malam telah datang. Serentak dengan itu suara hiruk-pikuk orang banyak dan sekalian makhluk yang membantu Tan Telanai menggema menyeramkan. Dibawah remang-remang cahaya bulan mereka giat mengerjakan tugas yang mereka pikul. Suara Tan Telanai meraung-raung memberi perintah. Sebentar-sebentar rumah diangkatnya kemudian digulingkan baginda, Suaranya membahana memekakkan telinga.
Menjelang tengah malam bendungan itu hampir selesai. Air yang tertahan sudah hampir ke puncak bukit. Puteri Selara Pinang Masak yang sedari semula mengamati pekerjaan Tan Telanai amat terkejut. Ia bertemu dengan kenyataan betapa keramatnya Tan Telanai itu. Segala yang diduga Puteri Selara Pinang Masak, bahwa Tan Telanani tak akan sanggup membendung sungai Batang Hari yang besar itu sirna seketika. Ia nampak sangat cemas. Saat putus asa sedang melanda hatinya muncul tiba-tiba siasat baru dalam pikirannya. Ia bergegas menuju ke rumah. Dengan sigap dilemparnya ayam jagonya yang tertambat di dalam kandangnya. Ayam jago itu mengepak-ngepak sebentar lalu berkokok. Kokok ayam jago itu terdengar oleh ayam yang lain dan terus berkokok pula. Sebentar kemudian terdengar bunyi kokok ayam se kampung itu bersahut-sahutan.
Tak ketinggalan pula bunyi kokok ayam beroga yang menghuni rimba belantara di sekitar tempat bendungan itu. Orang banyak dan sekalian makhluk yang membantu Tan Telanai terkejut bukan main. Suara Tan Telanai terdengar menghardik pekerja yang sedang terbingung-bingung itu. Sekaligus nampak tubuh baginda yang besar tinggi bergerak cepat berlari ke atas bendungan yang hampir rampung itu. Bunyi gemuruh terdengar dengan lantang. Bendungan itu disepak Tan Telanai terpelanting kian kemari. Salah satu yang terbesar teruntal ke bagian tepi sungai. Batu inilah yang sekarang disebut napal congkok.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja