Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jambi Jambi
Cerita Si Lancang Bujang Gadung
- 27 Desember 2018

Di ujung Dusun Pinang Berlarik, bagian Dusun Suko Rami sekarang, tinggallah pada masa dahulu seorang wanita tua bersama seorang anak lelakinya. Tempat tinggalnya itu hanya sebuah pondok buruk. Suami wanita itu sudah lama meninggal dunia. Untunglah ia mempunyai seorang anak, yang dapat menghibur hatinya yang kosong. Ia tak mengerti apa sebabnya suaminya meninggal yang menjadi tali tempat bergantung. Kala itu, saat suaminya meninggal dunia, anaknya baru berumur setahun. Kini anak itu sudah besar, sudah berumur tiga tahun.

Pada usia tiga tahun, anak lelakinya itu sangat banyak makannya. Karena mudah diperoleh, maka makanan yang sering dimakan kedua orang itu ialah gadung. Bila sudah bersua dengan makanan gadung si anak nampaknya sangat bernafsu makannya. Si ibu tidak marah sama sekali, ia senang melihat anaknya berhal yang demikian. Bahkan si ibu memberi anak itu nama Bujang Gadung. Entah anak itu setuju dengan nama pemberian ibunya itu, entah tidak itu tidak perduli. Yang penting ibu itu nampaknya sudah puas anaknya mempunyai nama. Suaminya sendiri dulu belum sempat memberi nama telah meninggal dunia. Sekarang si ibu telah mempunyai sebutan untuk memanggil anaknya bila diperlukan.Tentu tak kalah dengan orang lain, yang masing-masing anaknya mempunyai nama sendiri-sendiri.

Untuk hidup anak beranak, ibu itu setiap harinya mengambil upahan, seperti merumput ladang orang, menumbukkan padi, dan banyak lainnya lagi. Kalau kebetulan upahan itu sedang tak ada, wanita janda itu pergi ke hutan meramu gadung. Gadung memang banyak dan mudah ditemukan di dalam rimba. Tumbuhan ini tak pula ditanam orang. Hanya tumbuh liar tanpa penjagaan. Binatang hutan, biasanya tak berani memakan gadung ini karena racunnya dapat mematikan. Oleh sebab itu tumbuhan ini mempunyai musuh atau hama apa pun. Wanita ini tentunya tahu sungguh bagaimana mengolah gadung sehingga kalau dimakan tidak memabukkan. Begitulah pekerjaan wanita itu setiap hari demi sesuap pagi sesuap petang.

Kini anak lelaki itu sudah besar. Ia sudah berumur sepuluh tahun. Kemana saja ibunya pergi, kesana pula ia turut serta. Ke ladang ibunya mengambil upahan merumput, ia telah pula ada disana. Ibunya mencari kayu api. Bujang Gadung tentulah ikut pula. Begitulah yang diperbuatnya setiap hari. Sampailah akhirnya Bujang Gadung berusia empat belas tahun. Mungkin karena sudah besar itu, timbul dalam pikirannya untuk pergi merantau ke negeri orang. Ia sudah tak puas dalam keadaan yang menjemukannya itu. Seolah-olah hidupnya tak berujung tak berkesudahan. Pikiran ini tentu biasa dijumpai dalam diri seorang anak seusianya. Pikirannya itu akhirnya disampaikannya juga kepada ibunya. Waktu itu kedua anak itu sudah selesai makan malam.

"Mak!" katanya kepada ibunya. "Kalau seperti ini terus menerus apalah ' kan jadinya nasib kita. Akan tetap seperti inilah nasib kita sampai akhir hayat."

"Apa maksudmu" Bujang Gadung lemah. "Dari pada seperti ini terus dan baiknya hamba mencoba-coba nasib dirantau orang. Hamba hendak mencoba-coba menanam numbang, untung-untung berbuah. Kalau menjadi sabut biar terapung. Tapi kalau batu biar tenggelam.

Mendengar cakap anak lelakinya tersebut, wanita itu sangat terkejut. Tak disangkanya pikiran anaknya akan sejauh itu besar. Ia mulai menangis, makin lama makin keras. Tersedu-sedu mengingat akan berpisah dengan anak yang dicintai. Dengan keadaan yang demikian dicarinya juga akal untuk menghalang-halangi maksud anaknya itu.

"Amboi, Nak, Bujang Gadung," kata ibunya kepada anaknya Bujang Gadung disela sedu sedangnya. "Kalau engkau pergi, dengan siapa pula ibu tinggal? Siapa kawan emak berbincang-bincang? Siapa yang akan mengurut kepala mak dikala terasa pening?

Mencari obat bila mak sakit? Engkau adalah anak emak satu-satunya. Engkau masih terlalu kecil, nak. Pekerjaan apa yang sanggup engkau kerjakan?"

Bujang Gadung nampaknya tak terpengaruh dengan ucapan emaknya itu. Hatinya sudah sangat keras untuk tetap melaksanakan niatnya pergi merantau. Maka dalam hal yang demikian dicobanya juga membujuk ibunya.

"Mak!" katanya kepada ibunya. "Kini beginilah..., Boleh oleh Mak hamba akan pergi, karena memang demikian yang hamba pinta. Tapi bila tak boleh oleh Mak, hamba akan pergi juga. Doakanlah semoga hamba selamat saja!.   

Melihat sikap anaknya yang demikian, terpaksalah wanita itu mengalah. Untuk melepas keberangkatan itu tak lupa ia memberikan nasihat yang penting-penting untuk bekal anaknya.

"Kalau demikian, baiklah," jawab ibu itu. "Tapi dengarkan pesan emak. Nanti, bila engkau sudah sampai dirantau orang, maka hendaklah berkata dibawah-bawah, mandi dihilir-hilir. Tirulah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Dan jika umur kita sama panjang. jelanglah emakmu ini!"

"Kalau hal yang demikian, percayalah Mak dengan hamba. Takkan hamba lupakan Emak sampai hayat hamba. Percayalah kepada hamba, Mak!" kata anaknya.

"Nah, jika engkau akan berangkat siapa yang akan menjadi temanmu di perjalanan?"

"Hamba akan pergi sendirian," jawab Bujang Gadung tegas. "Hamba hendak naik kapal. Biasanya ada kapal yang singgah di negeri kita ini."

Tiga hari kemudian, untung bagi Bujang Gadung, datang sebuah kapal dagang ke negerinya. Mendengar ada kapal yang datang cepat-cepat Bujang Gadung memberitahukannya kepada ibunya. Sambil memberitahukan kedatangan kapal itu, ia pun minta diri sekaligus. Bahkan ia sudah pula mengutarakan niat hatinya untuk mendapat pekerjaan di kapal itu. Untung baik baginya nakhoda kapal itu menerimanya dengan segala senang hati. Di atas kapal, Bujang Gadung mengemukakan kepada nakhoda agar ia dapat diterima sebagai pekerja baru. Sebenarnya tak ada lowongan sedikit jua pun diatas kapal itu bagi pencari kerja seperti Bujang Gadung. Tapi melihat kesungguhan anak itu timbul hiba dan kasihan dalam diri nakhoda kapal. Maka diterima jugalah Bujang Gadung sebagai pekerja baru, yakni sebagai pembantu tukang masak.

Rupanya kapal itu dalam kegiatan perdagangan selanjutnya tak lagi melakukan perdagangan ke negeri Bujang Gadung. Kapal itu telah mengalihkan kegiatannya ke tempat lain. Oleh sebab itulah Bujang Gadung tak pernah lagi bersua dengan ibunya. Selama Bujang Gadung bekerja di kapal itu nakhoda yang mempunyai kapal itu silih berganti mendapat untung. Kalau semula ia hanya mempunyai sebuah kapal, kini ia sudah mempunyai dua buah kapal. Terakhir kapalnya sudah tujuh buah. Tak terasa Bujang Gadung tumbuh menjadi sedewasa lagi pula gagah bukan main. Ia bekerja sangat rajin  dan menyenangkan hati sang nakhoda si empunya kapal itu. Tak mengherankan kalau ia kemudian diangkat sebagai anak. Nakhoda itu sendiri tak mempunyai anak, jadi tepat sekali apabila Bujang Gadung, pemuda yang telah tumbuh menjadi dewasa itu diakui dan diangkatnya sebagai anak. Mulai saat itu segala urusan dagang diserahkan kepada Bujang Gadung. "Bujang!" kata nakhoda itu suatu hari, kepada Bujang Gadung.

"Engkau telah menjadi anak kami sendiri. Kepada engkaulah  segala urusan kami serahkan. Aku sendiri sudah tua, dan tak merasa kuat lagi. Kendalikanlah ketujuh kapal kita. Lakukanlah perdagangan sebagaimana yang baik. Engkau menurut penglihatan kami sudah cukup mampu dalam mengendalikan perniagaan kita." katanya selanjutnya.

Semenjak itu Bujang Gadung, anak saudagar tersebut, mulailah berdagang kemana-mana. Ia bahkan jauh berniaga sampai ke negeri Cina. Hindustan, dan Johor. Dan banyak lagi negeri yang dijelajahinya dengan armada dagangnya. Setiap berlayar selalu ketujuh kapalanya dibawanya. Sebuah di antaranya dijadikannya sebagai induk, pusat kegiatan, seperti keadaan sekarang sebuah perkantoran terapung yang setiap saat bergerak bersama-sama armada niaganya. Tak mengherankan harta kekayaan Bujang Gadung sangat cepat membesar. Hidupnya sudah sangat mewah. Anak buahnya lebih dari cukup. Ia tinggal memerintah  saja, maka segala kegiatan terlaksana dengan lancar.

Bagaimana dengan ibunya? Tentang ibunya, tak usah dikirimi belanja, teringat pun tidak lagi oleh Bujang Gadung. Ibunya ini ternyata sudah tua renta. Bila ada orang yang lewat dan hiba hatinya, maka pada saat itu diberilah makanan. Kalau tak ada, maka laparlah yang dideritanya. Pendek kata hidupnya bergantung kepada belas kasihan orang sekampungnya. Ia mulai beragak-agak untuk pergi ke sana. Dalam pikirannya terlintas wajah ibunya,yang menurutnya kemungkinan hidup sangat tipis. Untuk itu ia bermaksud untuk berkunjung ke negeri kelahirannya itu. Maka berangkatlah Bujang Gadung naik kapal Lancang Gadung ke negerinya. Sudah tentu anak buahnya dibawanya serta.

Sesampai di dusunnya. Dusun Pinang Berlarik, singgahlah kapal itu tadi. Begitu kapal itu singgah, orang berkerumun di atas tebing ingin menyaksikannya. Berita tentang kedatangan kapal itu tersebar dengan cepat ke pelosok dusun. Orang makin ramai saja berdatangan ingin menyaksikan kapal itu. Berita kedatangan kapal ini tak luput dari pendengaran ibu Bujang Gadung yang sudah tua renta itu. Seseorang yang kebetulan lewat di depan pondoknya segera ditanyainya. Rupanya orang itu baru saja kembali dari pelabuhan melihat kapal yang datang itu.

"O, Anak yang sedang lewat!" katanya kepada orang itu."Mengapa gerangan ramai benar orang berlalu lalang di negeri kita ini?"

"Itu, Nek!" jawab orang itu. "Orang-orang tersebut hendak melihat sebuah kapal yang sedang berlabuh di tepian."

Entah mengapa, mendengar cakap orang tersebut, hati perempuan itu berdetak keras. Mungkinkah itu gerangan kapal anaknya? Anaknya yang telah merantau selama lima belas tahun? Dengan terbungkuk-bungkuk berjalanlah perempuan tua itu menuju tepian tempat kapal tersebut berlabuh. Sesampai di pinggir tebing sungai ia berpapasan dengan seorang awak kapal yang baru berlabuh itu. Maka diberanikannya dirinya bertanya kepada orang yang belum dikenalnya tersebut.

"O, Nak! Siapa Nak yang empunya kapal itu," tanya orang tua itu.

"Yang empunya kapal itu seorang saudagar muda bernama Tuan Bujang," jawab orang yang ditanyai. Mendengar jawab orang tersebut hati orang tua itu makin berdetak keras. Itu pasti anaknya, demikian menurut kata hatinya.

"Adakah engkau lihat bekas luka di Kepala Tuan Bujang itu?" tanya pula tak sabar.

"Ada!" jawab orang itu singkat." Ada pautan apa nenek dengan dengan bekas luka Tuan Bujang?" Bekas luka itu menandakan anakku." kata orang tua itu pula.

Anak kapal itu segera berlalu dari sana. Ia sedikit pun tak percaya akan omongan orang tua itu. Tuang Bujang sendiri tak pernah menyebut-nyebut bahwa ia mempunyai ibu. Lalu anak kapal itu tertawa dalam hatinya. Ia menilai wanita tua itu sudah tak waras lagi. Sesampai dikapal diceritakannyalah semua yang baru saja dialaminya. Sejenak Tuan Bujang termenung. Namun kemudian terdengar suaranya.

"Pergi jemput orang tersebut dan bawa ke mari!" perintah kepada anak buahnya itu. Anak kapal itu pun segeralah menjemput wanita tua yang dijumpainya tadi. Wanita tua tersebut dibawanya ke hadapan Tuan Bujang. Sesampai di hadapan Tuan Bujang wanita itu lama menatapnya. Dan sebentar kemudian ia berlari menubruk lelaki yang dipercayainya anaknya. Tetapi lelaki itu menghindar sehingga wanita tua itu jatuh tertelungkup. Lelaki itu merasa sangat malu terhadap teman-teman serta anak buahnya. Wanita setua dan seburuk itu tak pantas sebagai ibunya. Ia seorang kaya lagi gagah pula. Pakaiannya saja wanita itu compang-camping.

"Bawa wanita ini ke darat!" katanya kepada anak buahnya. "Berikan uang ini!" Anak buahnya segera mengambil uang itu, dan bersama-sama menggotong wanita itu memandang sejurus  kearah kapal lancang Gadung. Hatinya dirasanya tidak menaruh iba lagi. Bagaimana pun ia sudah pasrah menerima nasibnya yang amat malang.

"Anak tak memerlukan uang?" katanya kepada para anak kapal yang berdiri di dekatnya. "Aku hanya igin bersua dengan anakku. Tapi kalau dia tak hendak mengakui aku ini ibunya, aku tak  memaksanya. Biarlah," katanya.

Awak kapal telah kembali ke kapal. Nampak kapal itu mulai akan bergerak. Di darat si ibu menengadahkan tangannya menuntut keadilan Tuhan.

"Kalau benar orang itu anakku dan Engkaulah yang akan menghukumnya, maka hukumlah dengan hukuman yang berat!" doanya. Maka sebentar itu juga, kapal yang telah melaut itu segera tenggelam. Di tempat kapal itu tenggelam muncul batu napal menyerupai kapal. Menurut kepercayaan orang, kapal itu adalah Bujang Gadung yang dikutuki ibunya. Batu napal itu sampai saat sekarang bernama napal perahu Lancang Gadung. Sedangkan Bujang Gadung menurut cerita menjadi seekor ular naga penghuni teluk yang terdapat di bagian hulu napal tersebut.

 

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline