Dahulu kala, di nagari Koto Anau, memerintah seorang raja bernama Raja Aniayo. Sang Raja terkenal memiliki perangai buruk. Sang Raja juga terkenal gemar berjudi. Jangankan kepada rakyatnya, terhadap keluarga sendiri pun Raja Aniayo tega berlaku kejam. Raja Aniayo memiliki seorang istri bernama Puti Bungsu. Kebetulan Puti Bungsu memiliki enam saudara. Namun keenam saudara Puti bungsu telah lama merantau. Keenam saudara Puti Bungsu memiliki usaha cukup berhasil. Mengetahui keenam kakak Puti Bungsu memiliki harta banyak, Raja Aniayo berusaha menguasai harta mereka. Ia kemudian memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk meracuni keenam kakak istrinya sendiri. Tentunya hal ini tanpa sepengetahuan oleh Puti Bungsu. Setelah keenam kakak Puti Bungsu meninggal, seluruh hartanya diwariskan pada Puti Bungsu.
Sejak itu Raja Aniayo sering meminta harta pada istrinya. Harta tersebut ia gunakan untuk berjudi. Harta yang Ia minta selalu habis semua di meja judi. Raja Aniayo terus menerus meminta harta Puti Bungsu sampai suatu ketika harta milik Puti Bungsu telah habis. “Semua hartaku telah habis, semuanya telah kuberikan padamu.” kata Puti Bungsu.
Raja Aniayo sangat marah pada Puti Bungsu karena sudah tidak bisa memberikan harta. Merasa sudah tidak bisa memberikan manfaat, Raja Aniayo kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk membuang Puti Bungsu ke hutan.
Puti Bungsu merasa sedih dengan tingkah laku suaminya. Saat dibuang ke hutan, ia tengah mengandung. Di tengah hutan, Puti Bungsu hidup sendiri. Ia terpaksa memakan buah-buahan, umbi dan dedaunan yang ia dapatkan di hutan. Saat melahirkan, ia berjuang sendirian tanpa bantuan siapapun. Setelah melewati penderitaan, Puti Bungsu akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki . Anak laki-laki tersebut ia beri nama Bujang Paman.
Kehadiran Puti Bungsu beserta anaknya di hutan, mengundang perhatian hewan-hewan di hutan. Hewan-hewan tersebut sering mencarikan makanan bagi Puti Bungsu dan anaknya. Para binatang hutan menjadi sahabat Bujang Paman. Mereka mengajari Bujang cara-cara memanjat, memilih buah dan umbi yang bisa dimakan. Setelah Bujang beranjak remaja, ibunya kemudian menceritakan siapa mereka, juga siapa ayahnya. Mendengar cerita ibunya, Bujang Paman menyatakan keinginannya untuk merantau untuk mencari pengalaman hidup. Bujang juga mengatakan ia ingin mencari ayahnya.
Bujang Paman kemudian pergi keluar dari hutan untuk merantau sampai akhirnya ia tiba di sebuah pondok. Pemilik pondok tersebut bernama Mande Rubiah. Bujang kemudian menceritakan perihal diri dan ibunya. Mande Rubiah kemudian mempersilahkan Bujang beserta ibunya untuk tinggal di rumahnya. Selama tinggal bersama Mande Rubiah, Bujang bertugas menggembalakan sapi-sapi milik Mande Rubiah.
Setelah sekian lama tinggal bersama Mande Rubiah, Bujang merasa belum puas dengan pengalaman hidupnya. Ia ingin kembali merantau. Ia kemudian berpamitan pada ibunya juga Mande Rubiah untuk pergi ke desa. Ia kemudian pergi merantau mencari perkampungan ramai penduduk. Tibalah ia di suatu daerah bernama Muaro Paneh. Ia memutuskan untuk tinggal di daerah tersebut beberapa lama. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Bujang berdagang berkeliling dari kampung ke kampung.
Di Muaro Paneh, Bujang Paman berkenalan dengan seorang perempuan kaya raya bernama Puti Reno Ali. Puti Reno Ali mengagumi kejujuran Bujang Paman. Ia kemudian memberikan hartanya untuk digunakan sebagai modal berdagang Bujang Paman. Dengan modal dari Puti Reno Ali, Bujang Paman kemudian pergi ke Solok untuk membeli barang dagangan.
Sesampainya di Solok, Bujang kemudian berkeliling mencari barang dagangan untuk ia jual kembali di Muaro Paneh. Tapi belum sempat mencari barang dagangan, ia dicegat oleh Raja Aniayo yang merupakan ayahnya sendiri. Raja Aniayo memerintahkan prajuritnya untuk merampas semua harta uang emas bawaan Bujang Paman. Para prajurit Raja Aniayo juga memukuli Bujang hingga terluka, mengikat tangannya kemudian membuangnya ke hutan. Bujang Paman mengetahui bahwa Raja Aniayo adalah ayahnya.
Dalam keadaan tangan terikat dan terluka parah, Bujang berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar memberinya kemudahan. Tidak lama kemudian muncul seekor harimau menghampirinya. Bujang ketakutan setengah mati. Anehnya, harimau tersebut tidak menyerang Bujang, tapi justru menggigit tali pengikat tangannya hingga terlepas. Harimau itu juga menjilati luka-luka di tubuh Bujang. Keanehan terjadi, luka-luka di tubuhnya mendadak sembuh. Bujang juga merasa tubuhnya menjadi lebih kuat setelah dijilati oleh harimau.
Bujang Paman kemudian pulang ke Muaro Paneh menemui Puti Reno Ali. Bujang menceritakan kejadian yang menimpanya. Puti Reno Ali mempercayai kejujuran Bujang. Ia malah kembali memberikan modal berupa uang emas untuk digunakan Bujang berdagang. Setelah beristirahat satu dua hari, Bujang kemudian kembali ke Solok untuk membeli barang-barang dagangan.
Setibanya di Solok, kembali Raja Aniayo menghadangnya. Raja Aniayo merasa heran kenapa Bujang Paman bisa kembali ke Solok dalam kondisi sehat walafiat. Para prajurit Raja Aniayo merampas uang emas milik Bujang, memukulinya kemudian kemudian menjepit kedua kakinya menggunakan kayu. Mereka melemparkan Bujang ke tengah hutan. Dalam kondisi penuh luka, muncul kembali harimau yang pernah menolongnya. Si Harimau menggunakan cakarnya untuk membuka ikatan tali di tangan Bujang, membelah kayu yang menjepit kakinya dan menjilati luka-lukanya. Bujang merasa tubuhnya bertambah kuat setelah dijilati oleh harimau.
Setelah merasa kuat, Bujang segera bergegas pulang ke Muaro Paneh, ke rumah Puti Reno Ali. Setibanya di rumah Puti Reno, ia terkejut karena Raja Aniayo berserta prajuritnya berada di rumah Puti Reno Ali. Raja Aniayo pun merasa terkejut melihat kedatangan Bujang. Ia merasa heran bagaimana bisa Bujang masih sehat walafiat padahal baru saja dipukuli oleh para prajuritnya. Segera saja Raja Aniayo memerintahkan para prajuritnya untuk memancung Bujang Paman. Para prajuritnya segera menangkap Bujang untuk dipancung.
Saat itulah Bujang berkata bahwa ia adalah anak Raja Aniayo. “Wahai Tuanku, bagaimana mungkin Tuanku tega hendak membunuh hamba. Padahal hamba adalah darah daging tuan sendiri.” kata Bujang Paman.
“Apa? Jangan sembarangan kau mengaku-ngaku sebagai anakku.” teriak Raja Aniayo marah.
“Hamba adalah putra dari Puti Bungsu, istri paduka yang telah paduka buang di tengah hutan. Dan hamba tak akan melawan paduka karena paduka adalah ayah kandung hamba.” Bujang menjelaskan.
Raja Aniayo tetap tidak mengakui Bujang sebagai anaknya walaupun dalam hatinya ia tahu bahwa Bujang memang anaknya. Ia kemudian menghantamkan pedang besarnya ke arah tubuh Bujang. Namun sangat mengherankan, pedang Raja Aniayo langsung patah ketika mengenai tubuh Bujang. Raja Aniayo kemudian mengambil tongkat manau lantas memukulkan tongkat tersebut ke tubuh Bujang berkali-kali, namun tubuh Bujang sama sekali tidak terluka. Mengetahui hal ini Raja Aniayo makin marah. Ia kemudian mengambil pedang prajuritnya lalu menyerang Bujang secara membabi buta. Namun tubuh Bujang sama sekali tidak terluka.
Karena Rajo Aniayo terus-menerus menyerangnya, Bujang akhirnya melakukan serangan balasan. Bujang Paman menendang tubuh Raja Aniayo. Raja Aniayo terpental karena tendangan Bujang hingga pedangnya terlepas. Ternyata tendangan Bujang sangat keras sehingga mengakibatkan Raja Aniayo meninggal seketika. Para prajurit Raja Aniayo sangat terkejut melihat kematian raja mereka. Mereka segera bersujud di hadapan Bujang. Mereka memohon ampun agar Bujang tidak membunuh mereka. Bujang Paman pun memaafkan mereka.
Rakyat nagari Koto Anau menyambut gembira terbunuhnya Raja Aniayo yang kejam dan sewenang-wenang. Setelah menguburkan jenazah Raja Aniayo, segenap rakyat akhirnya sepakat untuk mengangkat Bujang Paman menjadi raja mereka menggantikan Rajo Aniayo. Mereka memberikan gelar untuk Bujang dengan gelar Rajo Mudo.
Setelah menjadi raja, Bujang pun menjemput ibunya beserta Mande rubiah untuk bersama-sama tinggal di istana. Tak lama kemudian, Rajo Mudo menikahi Puti Reno Ali yang selama ini telah banyak membantunya. Sejak saat itu, rakyat nagari Koto Anau hidup dalam damai karena diperintah oleh Rajo Mudo adil bijaksana.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja