|
|
|
|
![]() |
Cerita Nenek Puti Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Baginda seorang raja yang gagah berani, raja negeri Tujuh Koto, puteranya enam orang, yang semuanya laki-laki, benar-benar anak kesayangan yang selalu dibanggakan beliau. Keenam anaknya itu selalu dibawanya serta pergi perang. Baginda sendiri tidak lagi berapa sudah ia berlaga di medan perang melawan musuh-musuhnya, dan biasanya selalu menang. Dalam pemikirannya, mempunayi anak laki-laki itu memang suatu keberuntungan yang amat membanggakan. Sebabnya karena anak laki-laki dapat membantu memerangi musuh di medan perang. Mungkin karena kepercayaan yang demikian, baginda tidak menginginkan anak perempuan, bagaimana kalau terjadi hal yang sebaliknya bertentangan dengan keinginannya itu? Baginda bertekad akan membunuhnya. Tapi beruntunglah istrinya tak melahirkan seorang anak perempuan jua pun.
Namun suatu saat jalan hidup manusia akhirnya akan diwarnai juga oleh yang Maha Esa. Yang Maha Esa jugalah yang menguasai segala sesuatunya. Negeri Tujuh Koto belum juga usai dari peperangan. Musuh telah pula mengancam kedaulatan negeri itu. Maka berangkatlah baginda menuju medan laga menumpas musuh-musuhnya, seperti haknya pada waktu yang sudah-sudah, kali ini juga disertai oleh keenam anak laki-lakinya. Pada saat itu isterinya sedang hamil. Dilihat dari kandungannya maka tak lama lagi ia akan segera melahirkan. Sehari dua hari, atau paling lama seminggu lagi pasti akan melahirkan. Saat akan berangkat baginda berpadah kepada isterinya yang sedang hamil tua itu.
"Adinda," kata baginda kepada isterinya seraya memandang kepada perut isterinya yang besar itu."Aku tak ingin engkau melahirkan anak perempuan, Engkau tentu sudah dapat menerka apa yang kumaksudkan, bukan? Bila anak yang engkau lahirkan nanti seorang perempuan, maka bunuh segera.
Tapi bila laki-laki peliharalah baik-baik. Anak laki-laki aku perlakukan untuk memerangi musuh di medan perang." Mendengar kata-kata suaminya itu, permpuan itu tidak menyatakan sesuatupun. Raja sangat senang melihat sikap isterinya itu. Tandanya pesannya sudah dipahami isterinya benar. Dengan demikian lalu berangkatlah raja itu, diiringi pula oleh keenam anak laki-lakinya. Mereka berangkat lengkap membawa alat-alat perang seperti pedang, senapang, tombak, dan keris.
Sewaktu suaminya pergi perang, sang isteri di rumah melahirkan. Ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia tak tega sedikit pun membunuh darah dagingnya itu. Sudah menjadi fitrah perempuan bahwa sayang terhadap anak melebihi sayang kepada apa pun. Memang pada mulanya ia masih berpikir-pikir, namun kemudian hatinya menjadi tenang tak hendak berkorban terlalu besar, gara-gara suaminya yang gila perang itu. Maka dicarinya seekor kucing lalu dibunuhnya dan dikuburkannya. Dengan demikian selamatlah anak perempuannya itu.
Dalam pada itu ada seorang lelaki tua, yang tinggal di tepi dusun di sebelah ladangnya agak ke tengah rimba. Lelaki tua itu namanya Tuan patih. Ia seorang lelaki tua yang belum beristeri. Apa sebabnya pada umur setua itu ia tak juga beristeri, tak seorang pun yang tahu. Ia seorang lelaki yang terbiasa hidup menyendiri di ladangnya di tengah rimba. Kepada dia inilah isteri raja tadi menitipkan anak perempuan yang baru lahir itu untuk dipelihara. Nasib baik lelaki itu menerima dan mengabulkan kehendak perempuan isteri raja itu bersama Tuan Patih. Anak perempuan itu pun dibesarkannya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang luar biasa hingga besar.
Tujuh tahun sudah berlalu. Baginda Raja negeri Tujuh Koto pun kembali dari medan perang dengan suatu kemenangan besar yang menggembirakannya. Semua alat perang yang dibawanya dulu dibuangnya ke dalam sungai Batang Bungo, seperti pedang, senapang, keris dan tombak, yang sekarang batu napalnya, masih dapat disaksikan. Benda-benda tersebut tak dipergunakan dan tak ada gunanya lagi bagi baginda. Rakyat segera diberi tahu, bahwa helat besar akan diadakan, tanda rasa syukurnya atas kemenangannya dalam peperangan. Akan hal isterinya yang sudah melahirkan, dan sudah pula menguburkan anak itu tak begitu menjadi perhatiannya. Memang perang lebih berkuasa dan membuai-buai hatinya.
Helat diadakan dengan membantai kerbau tujuh ekor. Rakyat semuanya dijamu sepuas-puasnya. Biarkan mereka juga turut serta merasa kegembiraan yang dirasakan baginda. Tari-tarian pun dipertunjukkan mengiringi helat yang ramai itu. Gadis-gadis pilihan memperlihatkan kebolehannya dalam gerak dan laku yang seronok.
Di antara yang hadir waktu itu juga terdapat orang tua. Tuan Patih yang memelihara puteri Tuan Putih. Sebenarnya Tuan Patih merasa was-was membawa dirinya ke tengah helat itu, karena puteri Tuan Putih juga menyertainya. Orang tua itu takut kalau-kalau baginda raja mengetahui rahasia anak perempuan yang dibawanya itu. Kalau rahasia itu sudah diketahui raja tentu anak itu akan dibunuhnya. Tapi bukan demikian halnya raja tersebut, melihat anak perempuan itu beliau mulai tertarik. Anak perempuan itu dimintanya untuk menari. Setelah melihat anak itu menari, beliau langsung berkata kepada Tuang Patih.
"Aku, Tuk," katanya kepada Tuan Patih, "kalau aku mempunyai anak perempuan sebesar itu, akan senanglah hatiku." Datuk Tuang Patih bukannya gembira mendengar kata yang demikian. Takutnya tumbuh seketika. Menurut pikirannya baginda raja mulai memancing-mancing. Rupanya raja sudah mengetahui rahasianya. Untuk menghilangkan rasa takutnya berkata jualah orang tua yang dipanggil datuk itu.
"Tak baik Baginda berkata demikian," jawab Tuang Patih kecut. "Baginda barangkali mempemainkan hamba yang hina ini."
"Bukan! Aku tak pernah main-main! Aku berkata yang sebenarnya," jawab Raja.
"Tapi.... kata Tuan Patih tergagap-gagap. "Tapi dahulu tuan Baginda pernah berkata, bahwa kalau beranak perempuan akan dibunuh," kata Tuan Patih.
"Dengarkan!" jawab raja pula. "Itu dulu." Sekarang aku menginginkan seorang anak perempuan. Aku telah menang perang. Aku tak memerlukan anak laki-laki lagi. Perang sudah berakhir.
"Hei," kata Tuan Patih. "Kalau tuan benar-benar menginginkan anak perempuan dan mengasihinya, hamba akan memberikan anak perempuan itu."
"Benar?" kata raja bersemangat. "Tidakkah Datuk berseloroh denganku? Aku telah menang perang. Aku tak menghendaki anak laki-laki lagi. Anak laki-lakiku sudah enam orang. Itu sudah cukup bagiku. Datuk dengar? Datuk dengar? Aku sekarang sangat mendambakan anak permpuan."
Mendengar jawaban beruntun dari sang raja, barulah puas hati Tuan Patih. Barulah hilang rasa takutnya. Maka diceritakannyalah siapa sesungguhnya anak perempuan itu. Tentu saja baginda sangat gembira dan anak itu segera didekatinya dan lalu diangkat serta diciumnya. Menandakan kegembiraan hatinya, helat pun diperpanjang. Kerbau tujuh ekor disembelih pula. Helat pertama digandengkan dengan helat kedua. Rakyat berpesta pora semeriah-meriahnya.
Untuk membalas jasa Tuan Patih yang amat besar itu, maka ia dikawinkan dengan Tuan Puti itu sendiri. Setelah tujuh tahun lamanya, tuan Puti pun hamillah. Namun amatlah aneh, walaupun masa untuk melahirkan sudah sampai Tuan Puti belum juga melahirkan. Sudah pula tujuh hari tujuh malam wanita itu tergeletak dilantai rumah, namun anak belum juga lahir. Puas dengan hal yang demikian maka tuan Puti bermohon kepada kakaknya yang berenam agar perutnya dibedah dengan sembilu tebu hitam. Lalu dibedalah oleh kakak-kakaknya yang berenam itu. Alangkah terkejut mereka karena yang ditemui adalah dua ekor anak buaya.
Seekor hitam dan seekor lagi merah. Kedua ekor anak buaya itu segera dikeluarkan, dan ditaruh ke dalam panci. Adik tadi diangkat dan diletakkan ke tempat tidur dan diselimutkan dengan kain yang bersih. Setelah itu mereka lekaslah bermain dan memperhatikan kedua ekor anak buaya itu, sehingga lalai dengan adik perempuannya yang ada di tempat tidur. Ketika mereka sadar bahwa si adik sangat memerlukan perawatan, mereka buru-buru melihatnya. Tetapi apa yang terjadi? Si adik tak lagi dijumpai disana, yang ada hanya kain selimutnya. Tentu saja mereka amat susah. Hendak dicari mereka tak tahu ke mana gerangan perginya adik tadi.
Dalam pada itu kedua ekor anak buaya tadi telah dipindahkan ke dalam tempat yang lebih besar. Lama kelamaan, karena sudah semakin besar kedua ekor binatang itu pun dipindahkan ke kolam. Dan bila tak pula muat lagi di kolam maka diturunkanlah ke sungai Batang Hari. Seorang wanita tua yang dipercayakan untuk memelihara kedua ekor anak buaya itu bernama Jahtu. Semenjak itu nenek Jahtu diangkat sebagai saudara angkat anak buaya-buaya tersebut. Itulah sebabnya kedua anak buaya itu dipanggil orang sampai sekarang buaya nenek Jahtu.
Nasib, Tuan Puti, ibu kedua ekor anak buaya itu, nampaknya tak menjadi persoalan lagi. Berangsur-angsur orang mulai melupakannya. Tetapi tak lama kemudian orang menjadi sangat heran karena Tuan Puti berada di pulau Jur. Tuan Puti bahkan berkirim pesan agar saudara-saudaranya yang berenam suka datang ke pulau Jur.
Rupanya, benar Tuan Puti ada di pulau Jur. Beliau rupanya telah menjalani hidup ke dunia kembali, mengundu. Saudara-saudaranya meihatnya tak ubahnya seorang perempuan kecil berumur sepuluh tahun yang rupanya sama benar dengan rupa Tuan Puti pertama. Di Pulau Jur ini Tuan Puti bersuami pula, dan mendapat anak, yang diberi nama Siti Aminah. Setelah meninggal di Pulau Jur, Tuan Puti mengundu ke dunia di Kuamang. Di sini ia bersuami pula. Riwayat pernikahannya, kali ini sangat unik.
Pada waktu itu Tuan Puti naik rumah tempat orang sedang mengaji Al quran. Dihampirinya guru mengaji itu. "Pak guru" katanya kepada orang laki-laki yang menjadi guru mengaji di rumah itu, "kalau nanti salah seorang dari anak mengaji pak guru yang laki-laki duluan turun, maka dialah akan menjadi suami saya,"
Tentu saja pak guru itu sangat heran, Pertama anak-anak asuhannya masih kecil-kecil, berkisar antara umur lima sampai tujuh tahun. Kedua anak Tuan Puti itu sendiri umurnya dilihat dari pada rupa hampir sepuluh tahun. Pak guru tak mengambil pusing amat akan hal tersebut. Begitulah akhirnya Tuan Puti itu kawin juga dengan anak mengaji tadi. Dengan suaminya yang sekecil itulah ia membuat jamban pemandian di Kuamang. Sesudah di Kuamang, Tuan Puti tak hendak pergi-pergi lagi. Kuburannya dapat dijumpai sekarang ini. Perkawinannya di Kuamang ini mendapat anak yang cukup banyak.
Pada saat Puti tinggal di Kuamang, ia sempat berkirim pesan kepada anaknya Siti Aminah di Pulau Jur, menyuruhnya datang ke Kuamang. Siti Aminah waktu itu sudah tua, dan anaknya sudah banyak, serta cucunya sudah pula ada. Menerima pesan yang demikian, maka berangkatlah Siti Aminah dan anak-anaknya serta suaminya ke Kuamang. Sesampai disana Siti Aminah tentu tak percaya akan kata dan omongan Tuan Puti yang masih kecil itu. Dalam hati Aminah sungguh perjalanan tiga hari tiga malam untuk sampai di Kuamang, hanya perjalanan yang sia-sia saja. Ia dan suaminya sangat mendongkol jadinya.
"Mana mungkin engkau ibuku!" kata Siti Aminah membantah pengakuan Tuan Puti. "Engkau yang masih sekecil itu, sedangkan aku sendiri sudah beranak bercucu."
"Aminah!" bentak Tuan Puti sangat marah. "Tidakkah engkau hendak mengakuiku ibumu? Kalau demikian engkau aku sumpahi." Aminah mendengar kata sumpah itu merasa takut. Lalu ia mengakui Tuan Puti itu ibunya.
"Kalau engkau ingin buktinya, bahwa aku ini benar-benar ibumu, marilah kita kembali ke Pulau Jur. Di sana, di tangga jalan menuju ke tepian ada selendangku aku tinggalkan dulu. Dan jamban tempat aku mandi ada pula di sana." kata Tuan Puti.
Maka mudiklah orang tersebut ke Pulau Jur, kembali, ke tempat tinggal Siti Aminah dan keluarganya selama ini. Mereka menaiki perahu untuk sampai kesana. Setelah sampai di sana mereka pun merapat ke tepi di tempat yang ditunjukkan Tuan Puti, ibu Siti Aminah. Di tempat itu mereka melihat sepotong batang kayu yang terbenam separo. Dengan tangan kirinya Tuan Puti mencuil kayu tersebut. Maka serta merta timbullah jamban tempat mandi yang sangat besar. Lalu berkatalah lagi Tuan Puti, "Ha..... tidakkah engkau percaya Aminah? Ini jalan aku ke air. Ini jamban aku tempat mandi. Di tangga itu selendangku tertinggal. Aku lalu pergi ke Kuamang. Belum jugakah engkau percaya?"
Mereka pun terus naik. Di kepala tangga mereka melihat sakat tumbuh di sana. Setelah diambil ternyata itu selendang.
Aminah lalu memakainya ke kepalanya. Sungguh sangat megherankan wanita yang kelihatannya masih berumur sepuluh tahun itu, ibu seorang wanita yang telah mempunyai anak dan cucu.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |