Tersebutlah cerita ada seorang gadis mempunyai seorang kekasih pemuda tampan, mereka saling mencintai dan bermaksud akan segera melangsungkan pernikahan. Mereka merasa susah karena ibu si pemuda tidak menyetujui anaknya mengambil gadis itu menjadi istri. Berulang-ulang si pemuda mengajukan permohonan dan restu dari ibunya, namun ibunya tetap tidak menyetujuinya. Akhirnya si pemuda mengambil keputusan tetap mengambil gadis itu untuk menjadi istrinya walaupun ibunya tetap membenci gadis itu.
Mereka tetap tinggal satu rumah, ibunya sangat memusuhi menantunya. Sang menantu sangat sabar, dia tetap patuh kepada mertuanya, segala suruhan dan larangan dikerjakannya dan dijauhinya. Untunglah disamping ibu mertua yang membencinya, suaminya sangat menyayanginya dan adik perempuan suaminya merasa kasihan kepada kakak iparnya itu. Kalau si ibu sedang memarahi menantunya, anak perempuannya itu sering menyadarkan ibunya dan berkata, "Kasihan kakak bu, jangan selalu dimarahi." "Diam kamu, ku belah kepalamu dengan pedang ini." Jawab ibunya. Mendengar itu, anak gadisnya tidak berani lagi melarang ibunya kalau sedang memarahi kakak iparnya.
Ketika ibunya pulang dari kebun, segera disambut menantunya tetapi begitu ia dekat, mertuanya menumpahkan semua isi bakulnya yang berisi terung dan menyuruh si menantu memungut terung-terung itu. "Pungutlah terung-terung itu, jangan mau makan saja. Bekerja dulu sebelum makan," kata ibunya. Si menantu memungut terung-terung itu dengan sabar, walaupun hatinya sangat sedih memikirkan nasibnya yang malang. Baru saja selesai memungut terung-terung itu, ia disuruh membuat minyak kelapa, setelah menjadi minyak, ditumpahkan mertuanya minyak itu dan disuruhnya dia mengambil minyak itu kembali. Pekerjaan yang mustahil, memungut minyak yang tumpah ke tanah.
Pada suatu hari suaminya jatuh sakit, sudah dicoba mengobatinya dengan obat yang biasa dipakai di kampung, tetapi tidak berhasil. Kesempatan bagi si mertua untuk menyuruh menantunya mencarikan obat bagi suaminya. "Kalau kamu tidak mau suamimu meninggal, pergilah kamu mencari obat untuknya, yaitu hati binatang buas yang sedang mempunyai anak.
Pergilah si menantu mencari obat itu, masuk hutan keluar hutan sampai berhari-hari belum juga ditemuinya. Suatu hari kebetulan ada orang berburu dan mendapat binatang buruan dimintanyalah hati binatang itu dan diceritakannya untuk obat suaminya yang sedang sakit payah. Dengan senang hati, diberikan orang itu hati yang dimintanya, lalu pulanglah si menantu dengan tergesa-gesa karena khawatir akan keadaan suaminya dan takut kena marah mertuanya. Sesampainya di rumah, pintu rumahnya dikunci, dia lalu bernyanyi! Ibu ini aku ibu, membawa obat untuk anakmu. Hati musang yang sedang beranak" Tiga kali ia menyanyi demikian, baru dibukakan pintu untuknya. Dimasaklah hati musang itu dan langsung diberikan kepada si sakit. Karena belum sembuh, besoknya dia disuruh lagi mencari hati babi.
Pergilah dia masuk hutan kembali. Kebetulan ada pula orang yang berburu babi. Diceritakannyalah, kepada pemburu itu bahwa ia memerlukan hati babi itu untuk obat suaminya yang sedang sakit.
Diberikan orang itu hati babi yang baru didapat, dan langsung dibawa pulang oleh si menantu yang malang itu. Sesampai di rumah diberikannya hati babi itu kepada ibu mertuanya yang langsung memberikannya kepada si sakit. Setelah memakan obat itu, mulai berangsur sembuh sakitnya tetapi belum kuat bangun.
Ibunya kembali menyuruh si menantu pergi mencari obat yang sangat aneh, kali ini ia disuruh mencari Tiung pandai bebandung, selasih pandai ngulih, sekhai pandai ngalahai, kemangi pandai nyanyi (Terung yang pandai berpantun, selasih yang pandai bertanya, serta yang pandai tertawa dan kemangi yang pandai bernyanyi).
Rupanya ibu mertuanya sudah bermaksud jahat kepadanya, tujuannya adalah agar si menantu ini pergi dari rumah atau mati diterkam binatang buas. Si menantu pun menyadari ini, tetapi ia tetap setia kepada suaminya, dan merasa kasihan sebab semuanya sangat sayang kepadanya.
Pergilah dia kembali masuk hutan keluar hutan, tidak ditemuinya benda yang dicarinya itu, lalu dia sampai ke pinggir laut. Dia bermaksud pergi ke seberang, siapa tahu ada di sana yang dicarinya. Dibentengkannya selendangnya di air, dan jadilah perahu yang membawanya mengikuti arus air laut itu. Akhirnya sampailah ia ke seberang, lalu naiklah dia ke pantai. Di sana ditemuinya seorang gadis yang wajahnya serta tubuhnya mirip dengan dia.
Gadis itu bertanya, "Apakah maksud kedatanganmu, maka sampai menyeberangi laut yang luas itu? Dijawab oleh si menantu bahwa ia sedang mencari obat yang disuruhkan mertuanya kepadanya. Diceritakannyalah obat yang aneh itu dan dijawab oleh gadis itu. "Kebetulan yang kakak cari ada dalam kebun kami. Marilah ke rumah dulu."
Pergilah mereka berdua ke rumah gadis itu. Sampai dirumah dipersilakannya masuk dan duduk di dalam. Duduklah si menantu tadi dan si gadis pergi mengambil tikar. Sesudah itu ia kembali dan berkata kepada temannya, "Saya mempunyai abang biarlah abang makan dulu, engkau tinggal di sini dulu, ya? "Ya, bolehlah", jawab si menantu.
Setelah selesai menghidangkan makanan, gadis itu mempersilakan abangnya makan. Dia lalu pergi ke belakang rumah, sedangkan si menantu itu tetap duduk di ruang makan seolah-olah menunggu abang yang sedang makan. Si abang tidak menyangka itu orang lain, dikiranya adiknya, karena rupa mereka sama. Sehabis makan, ditanya oleh adiknya, siapa yang menemaninya makan tadi." Jawab abangnya, "Mana aku tahu, kukira engkau tadi", "Bukan", jawab adiknya, "Itu orang datang dari seberang mau mencari obat untuk suaminya yang sedang sakit. Kebetulan obat itu ada di kebun kita."
Si abang merasa tertarik kepada tamunya dan berkata kepada adiknya, "Mungkin dia bakal jodohku, tetapi dia sudah bersuami. Bagaimana caranya agar dia mau denganku? Mereka mencari akal, bagaimana caranya agar tamu mereka itu mau kembali lagi setelah ia mengantarkan obat untuk suaminya. Dikebun mereka selain obat yang dicari, juga ada Belalang Rusa semuanya tujuh ekor.
Sebelum tamu itu pulang, si Abang berkata, "Bawalah belalang ini bersama obat-obatan itu, dan ini menjadi utusan. Begitu engkau sampai di sana, lepaskanlah belalang ini seekor. Andainya belalang ini tidak pulang berarti engkau tidak mau datang lagi kesini, andainya dia datang berarti engkau mau datang lagi.
Jadi engkau meminta tujuh kali buka pintu, kemudian kembalilah kemari." Si menantu itu mengiakan saja apa yang diucapkan orang itu. Dalam hatinya ia sudah tahu bahwa orang itu menyenanginya dan rupanya dia juga sudah mulai menyenangi orang itu. Segeralah dia berangkat pulang setelah semuanya disiapkan.
Sesampainya dirumahnya, dia minta dibukakan pintu tetapi tidak dibuka oleh mertuanya. Mertuanya menyangka dia sudah mati, jadi begitu mendengar suaranya pulang dengan selamat, si mertua menjadi jengkel dan marah. Dia tidak membolehkan menantunya masuk. Si menantu lalu melepaskan belalang seekor.
Kedua kalinya si menantu memohon dibukakan pintu, namun tidak pula dibuka, maka dilepaskannya kembali belalang seekor lagi. Ketiga kali demikian pula, akhirnya sampai tujuh kali ia minta dibukakan pintu, tidak juga dibuka, maka dilepaskannya belalang yang ketujuh kemudian dia menyepakkan pintu dan terbukalah pintunya.
Obat untuk suaminya langsung diberikan dan suaminya langsung sembuh. Dia dan suaminya sangat gembira, tetapi mertunya kembali membencinya dan selalu memarahinya. Akhirnya si menantu tidak tahan lagi dan dia bermaksud akan pergi saja, walaupun ia sangat berat meninggalkan suami dan adik iparnya yang menyayanginya. Diutarakannya maksudnya akan pergi itu, kepada adik dan suaminya. Dia berpesan kepada adiknya, "Adik, engkau adikku, pesanku padamu Dik, dipematang jangan mengumpat-umpat, dilesung jangan menggunjing. Seperti saya pun jadilah engkau." Setelah itu pergilah dia menyeberangi lautan dengan selendangnya sebagai perahu.
Suami dan adik iparnya sangat bersedih ditinggalkan oleh istrinya itu. Si suami memanggil-manggil. "Istriku, istriku" sambil berlari-lari mengejar istrinya, lama kelamaan dia berubah menjadi burung sambil terbang kian kemari berteriak-teriak, "Istriku, istriku!". Demikian pula adiknya berteriak, "Kakak-kakak" Dan akhirnya dia menjadi burung gagak.
Si menantu yang pergi tadi sudah sampai ke tempat dia meminta obat dulu, dia disambut dengan gembira. Orang-orang memang sudah bersiap-siap untuk merayakan perkawinannya dengan pemuda yang ternyata adalah putera raja. Setelah selesai semua, dirayakanlah perkawinan putera raja yang kaya itu dengan perempuan yang sangat menderita tadi. Tentu saja mereka sama-sama berbahagia.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja