Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang taat beribadah dan taat peraturan pemerintah bernama Woiram. Woiram tinggal di sebuah kampung bernama Merem, Kecamatan Kemtuk Gresi. Dia mempunyai seorang istri bernama Bonadebu. Woiram berumah tangga bukan karena ingin memperoleh anak, tetapi hanya untuk menjaga harga dirinya sebagai laki-laki. Oleh karena itu, dia tidak tinggal serumah dengan istrinya meskipun satu kampung.
Perkawinan Woiram dengan Bonadebu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Mereka hidup tenteram dan bahagia. Akan tetapi, kebahagian yang mereka alami agak terganggu karena istrinya ingin mempunyai anak. Sebagai orang yang taat beribadah, dia pun memohon kepada penguasa alam. Raja tanah, dan semua binatang di langit, agar diberi anak.
Pada suatu hari timbul juga keinginan Woiram untuk mempunyai anak. Sebagai orang yang taat beribadah, diapun memohon kepada penguasa alam, raja tanah, dan semua binatang di langit, agar diberi anak. Pekerjaan Woiram setiap hari adalah berkebun dan berburu.
Pada suatu saat, ketika dia sedang membuat tali busur di kamar, tiba-tiba jari telunjuknya teriris pisau. Darah keluar cukup. Kemudian, darah itu disimpan dan disembunyikannya di sebuah tempayan.
Keesokan harinya Woiram pergi ke kebun bersama istrinya. Karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dia tidak pulang ke rumah. Dua hari kemudian, setelah pekerjaan selesai, dia baru pulang. Begitu sampai di rumah, dia langsung tidur karena capai. Menjelang tengah malam dia terbangun karena terdengar tangis seorang anak kecil, tetapi dia tidur kembali karena dikira mimpi.
Beberapa saat kemudian, suara tangis anak kecil itu terdengar lagi. Woiram terpaku mendengar suara tangus itu. Dia berdoa kepada dewa agar menunjukkan peristiwa ganjil itu. Seketika itu terlihat sinar dari tempayan, tempat dia menyimpan darah telunjuknya yang teriris.
Woiram berjalan mendekati sinar itu. Benarlah, di tempayan itu ada seorang bayi. Dengan perasaan amat gembira dia mengambil bayi itu. Dia mengucapkan terima kasih kepada dewa yang telah mengabulkan permintaannya.
Bayi laki-laki itu diberi nama Woiwallytmang. Menjelang fajar, Woiram membawa Woiwallytmang ke sebuah tempat yang jauh dari kampung. Dia takut istrinya menuduh dirinya tidak setia. Kemudian, Woiram membuat pondok di bawah pohon beringin berbuah coklat untuk Woiwallytmang. Disitulah Woiwallytmang dibesarkan dan dididik cara berkebun dan berburu. Dia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pemberani. Setiap hari Woiwallytmang pergi berburu. Hasil buruannya selalu diberikan kepada ayahnya.
Pada suatu hari, Woiwallytmang tidak beruntung karena sudah seharian berburu, tetapi dia tidak mendapatkan seekor binatang pun. Tiba-tiba ketika dia sedang beristirahat, seekor burung hinggap di sebuah pohon tidak jauh dari situ. Perlahan-lahan ia mengejar burung itu. Satu demi satu anak panah dilepaskan, tetapi tidak satu pun mengenai sasaran.
Woiwallytmang mengikuti arah anak panah yang dilepaskannya. Anak panah itu masuk ke sebuah kebun yang rapi dan tertancap di batang pisang. Ketika dia hendak mencabut anak panah yang tertancap itu, tiba-tiba dari balik pohon pisang muncul seorang perempuan berkata, "Hai anak muda yang tampan, siapa namamu dan apa pekerjaanmu?" Betapa terkejutnya Woiwallytmang sebab sejak kecil dia hanya mengenal ayahnya. Setelah perasaan takutnya hilang, dia ingat ajaran ayahnya. Selain ayahnya yang laki-laki, masih ada manusia lain, yaitu perempuan.
"Namaku Woiwallytmang, pekerjaanku berburu binatang dan berkebun," jawab woiwallytmang. Setelah mendengar jawaban itu, perempuan itu terkejut karena ia melihat sinar yang terpancar dari tubuh Woiwallytmang. Ternyata perempuan itu adalah Bonadebu, ibu Woiwallytmang sendiri.
"Dari mana asalmu dan siapa nama ayahmu?" tanya Bonadebu.
"Aku tidak tahu tempat tinggalku. Nama ayahku Woiram, "jawab Woiwallytmang.
Bonadebu terdiam mendengar jawaban Woiwallytmang. Dia benar-benar terkejut dan merasa dipermainkan Woiram, suaminya. Dia ingin menjerit karena merasa dibohongi suaminya. Akan tetapi, ketika melihat Woiwallytmang yang ketakutan, dia segera mengubah sikap. Katanya, "Baik Nak, mari ibu antar kamu pulang ke rumah ayahmu."
Bonadebu dan Woiwallytmang berjalan pulang. Namun, sebelum sampai di rumah, Bobadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk diberikan kepada Woiram.
Kemudian, mereka pergi menuju Sungai Wasi yang banyak udangnya.Ketika sedang asyik mencari udang, tidak sengaja Woiwallytmang masuk ke gua di dalam Sungai Wasi. Sebelum dia keluar dari gua, lubang gua itu tidak sengaja ditutup Bonadebu. Ketika Bonadebu sudah naik ke darat, ditunggunya Woiwallytmang. Akan tetapi, Woiwallytmang tidak muncul. Bonadebu segera pulang karena menganggap bahwa Woiwallytmang telah pulang lebih dulu.
Sementara itu, Woiram datang ke pondok Woiwallytmang. Berkali-kali dilihatnya Woiwallytmang tidak ada di pondok. Woiram cemas, tetapi dia tidak berani bertanya kepada istrinya, Bonadebu. Pada suatu hari, kepala adat bersama warga kampung Demontin sedang menyembelih binatang hasil buruan di Sungai Wasi. Tiba-tiba salah seorang warga menemukan seonggok udang. Udang itu diberikannya kepada kepala adat. Oleh kepala adat, udang itu dibawa pulang dan diserahkan kepada istrinya. Dia juga berpesan agar udang itu dimasak, tetapi tidak boleh dimakan siapa pun. Setelah itu, dia berangkat lagi ke tempat penyembelihan.
Kemudian, datanglah dua anak perempuan kepala adat ke ibu mereka, yaitu Mecy dan Mesam. Kedua anak itu menangis meminta udang. Karena merasa iba, istri kepala adat memberikan udang itu kepada Mecy dan Mesam. Tidak lama kemudian, kepala adat datang. Dia meminta istrinya untuk menyiapakan makan.
Istri kepala adat merasa bingung karena udang itu telah dimakan kedua anaknya. Kepala adat marah kepada istrinya, terjadilah pertengkaran hebat. Mecy dan Mesam melihat ibunya dipukul. Mereka sangat sedih dan berniat mencari udang untuk menggantikan udang yang telah mereka makan. Mereka berangkat menuju Sungai Wasi dan menyelam masuk ke dalam gua. Di dalam gua itu mereka menginjak benda empuk. Benda itu mereka tarik keluar. Setelah berada di luar, ternyata benda itu manusia. Manusia itu dibersihkan serta dihangatkan dengan panas dedaunan yang dibakar. Tidak lama kemudian manusia itu bergerak, pertanda ia masih hidup. Mecy dan Mesam sangat senang.
Woiwallytmang telah sadar. Dia mengucapkan terima kasih serta menanyakan nama dan tempat tinggal kedua perempuan itu. "Namaku Mecy dan ini adikku Mesam. Tempat tinggal kami tidak jauh dari sini, di kampung Demontin." jawab Mecy.
"Namaku Woiwallytmang. Mengapa kalian membangunkan aku?" kata Woiwallytmang. "Kami tidak membangunkan kamu, tetapi menolongmu dari ancaman bahaya mati. Kamu telah tergeletak di dalam gua," kata Mecy. "Baiklah, kalau demikian aku akan membalas kebaikan kalian. Setiap hari akan kucarikan udang untuk kalian dan akan kuantarkan ke rumah," sahut Woiwalllytmang.
Setiap hari Woiwallytmang mencari udang dan mengantarakannya ke rumah Mecy dan Mesam. Lama-kelamaan orang tua mereka curiga karena setiap hari selalu ada udang. Lalu, ayah mereka menanyakan asal-usul udang itu. Mecy dan Mesam tidak berani berterus terang. Akan tetapi, karena selalu ditanya dan dibujuk, akhirnya mereka pun memberi tahu ayah mereka bahwa udang itu pemberian teman mereka, Wowallytmang.
Pada suatu hari, Woiwallytmang menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia minta izin untuk menikah dengan Mecy. Ayah Mecy setuju. Pesta pernikahan Mecy dengan Woiwallytmang segera diadakan. Pada pesta pernikahan itu juga diadakan penobatan Woiwallytmang sebagai kepala adat.
Woiram datang menghadiri pesta pernikahan itu. Dia sungguh terkejut karena yang dinobatkan menjadi kepala aat adalah anaknya, Woiwallytmang. Dia merasa ditipu dan dihina masyarakat karena anaknya disembunyikan. Dia memanjatkan doa kepada dewa agar menghukum mereka. Seketika itu pula hujan turun dan semua makanan berubah menjadi batu.
Kampung Demontin dilanda banjir. Semua orang tenggelam dan hanyut terbawa oleh arus. Woiwallytmang, Mecy, dan Woiram tetap hidup kerena mereka memanjat pohon pinang ketika air meluap. Setelah air surut, Woiram menyampaikan pesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar selalu tekun berdo'a dan memperbanyak keturunan. Setelah itu, Woiram mengajak mereka ke sebuah sungai. Di sungai itu, di atas sebuah batu Woiram menghilang dengan meninggalkan bekas telapak kaki.
Kesimpulan :
Cerita ini tergolong jenis legenda. Sampai sekarang cerita ini masih dikenal masyarakat Irian Jaya dan banyak orang percaya bahwa penduduk Merem itu keturunan Woiram. Di samping itu, batu bekas telapak kaki Woiram sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh masyarakat. Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tekun beribadah dan mempunyai hubungan baik dengan sesama.
Sumber : Cerita Rakyat Dari Irian Jaya oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja