|
|
|
|
Cerita Legenda Datuk Tuan Budiam Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Dia berdiri tegak dan megah tampak di kejauhan, merendam setengah tubuh dalam air laut. Tugasnya menahan tamparan ombak Teluk Semangka, warnanya putih sudah agak kelabu karena tuannya. Tubuhnya sudah pecah-pecah dan makin mengurus karena kikisan ombak kata orang, dia adalah karang putih yang berbentuk kapal. Karang putih merupakan tanda bagi juru mudi kapal motor boat yang datang dari arah Kota Agung/Trlukbetung dan lain-lainnya. Apabila telah kelihatan memutih menjulang di dekat pantai, para juru mudi segera memperhatikan kompas dan mengerahkan haluan motornya ke titik putih itu, karena berarti di arah itulah Putih Doh Ibukota Kecamatan Cukuhbalak.
Karang Putih dan alam sekitarnya memiliki kisahnya sendiri. Dulunya Karang Putih itu adalah kapal dari luar negeri yang kandas di pantai Putih, lama kelamaan karena banyak ditempeli kerang, maka berubah menjadi batu karang yang berbentuk kapal yang disebut masyarakat batu kapal. Ada juga yang menceritakan, bahwa tatkala kapal itu lewat di Teluk Semangka. ditegur oleh si Pahit Lidah, karena tidak menjawab lalu disumpahnya menjadi batu, benar atau tidaknya hanya Allah sajalah yang tahu. Nama Karang Putih sebenarnya diberikan oleh orang pendatang (Melayu) yang berdagang ke daerah itu dan menggeser nama yang diberikan sendiri yaitu Karang Kelapa.
Zaman dahulu, diperkirakan setelah kekalahan Sultan Hasanuddin dari Makasar terhadap Belanda, tetapi banyak di antara tentaranya yang tak mau tunduk kepada Belanda. Mereka pergi meninggalkan Sulawesi berlayar sebagai Bajak Laut di pantai-pantai Jawa, Sumatera dan lain-lain. Di Teluk Lampung dan Teluk Semangka mereka berlabuh, sehingga merupakan salah satu gangguan bagi penduduk yang berada di perkampungan di tepi pantai. Sering terjadi peperangan antara mereka, seperti halnya di Pertiwi, Kelumbaian, Putih, Limau dan lain-lainnya. Tetapi kepandaian berperang Bajau lebih tinggi dari pada kepandaian penduduk setempat, maka penduduk biasanya mengalami kekalahan.
Bajau ini sering datang, baik siang maupun malam, belum lagi gangguan lain seperti binatang buas, gajah, harimau dan makhluk-makhluk halus. Penduduk Putih juga sering mendapat giliran gangguan dari Bajau atau binatang buas, dan makhluk-makhluk halus daerah pantai terutama syaitan-syaitan dari daerah Karang Putih yang terkenal ganas dan tak kenal ampun. Wabah yang dahsyat sering terjadi, para pawang dan dukun banyak yang sudah dikerahkan, namun sedikit dekali kemampuan mereka untuk mendamaikan antara syaitan-syaitan itu dengan penduduk. Bahkan banyak pawang dan dukun yang menyerah kalah terhadap keganasan para syaitan Karang Putih itu. Masyarakat pun melakukan tolak bala beramai-ramai dihalaman. Mereka dalam keadaan setengah telanjang, bagian atas terbuka tak berbaju, kalau perempuan tak berbaju tak berkutang, hanya memakai hekhok dan mengerudungkan plangi (nama kumbut) serta kain Cempaka. Mereka ratib bersama, memohon doa agar terhindar dari serangan. Ada lagi pawang yang berbau Hindu, membawa kemenyan dan bunga-bungaan menggunung onggokannya, namun tak juga terjadi kedamaian. Akibatnya masyarakat Putih menjadi gelisah. Karang Putih terkenal menjadi daerah angker dan berbahaya, tak heran kalau ketua-ketua kampung, para penyeimbang bathin jakhu suku memutar otak memikirkan jalan keluar dari kesulitan mereka.
Musyawarah dilakukan dan memutuskan, bahwa penyimbang kampung mengutus orang-orang tertentu untuk disebar ke mana-mana minta bantuan kepada orang yang pandai mengusir para syaitan yang mengganggu mereka dan sanggup melawan Bajau kalau datang menyerang. Disampaikan juga bahwa bagi orang itu dihadiahkan perkampungan di daerah Karang Putih dan kedudukannya akan diakui sebagai saudara, serta pangkat hulu balang diserahkan baginya.
Utusan telah disebar kemana-mana, mencari dengan cara menceritakan maksud penyimbangnya kepada siapa yang dimintai pertolongan, kalau orang itu dianggap tahu atau kepada penyimbang orang yang dituju. Berbulan-bulan utusan berjalan, tetapi orang yang dicari tak juga didapatkan. Selain itu silih berganti utusan yang pergi, hanya kelelahan dan kepayahan saja yang didapat, hingga menjadi cerita rakyat/cerira papanca. Karena sudah banyak tempat yang didatangi dan waktu sudah banyak pula yang dipakai, namun hasil belum ada, sedangkan Bajau sering juga datang, syaitan tetap mengamuk tak memberi ampun, masyarakat dan ketua-ketua kampung hampir putus asa, hampir mereka tak mau lagi tinggal di daerah Putih.
Di Way Ratai, cerita tentang kesulitan orang di Putih itu, sama halnya dengan di daerah lain, menjadi pembicaraan papanca. Secara kebetulan, waktu itu ada pendatang baru dari Tanah Unggak yang dipimpin oleh Datuk Tuan Budiam yang masih menumpang di Ray Ratai, karena tujuan mereka mencari perkampungan dan kehidupan ditempat yang baru belum bersua. Suatu malam, Datuk Tuan Budiam terlihat di alam pembicaraan papanca, ia mendengarkan dengan baik cerita kawan-kawannya dan ternyata ceriita itu menarik baginya, karena pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya itu memang sangat dibutuhkannya.
Datuk Tuan Budiam sebagai seorang keturunan Buay Hakhong, sangat tertarik terhadap cerita. Setelah dia pulang dan beberapa hari lamanya terbukalah hatinya untuk mencoba mengadu nasib di daerah yang belum dia ketahui tempat itu.
Demikianlah, pada hari dan tanggal yang dianggap baik, serta sebelumnya dia sudah bertanya-tanya kepada orang di Way Ratai arah yang harus dituju, berangkatlah rombongannya ke Putih dengan melalui jalan yang penuh bahaya dari binatang buas. Sedangkan dari Way Ratai ke bukit Tanggang ini tak ada jalan manusia, yang ada hanyalah jalan gajah yang biasa pergi mandi. Mengikuti jalan gajah inilah rombongan mereka menuju ke pantai. Di tengah perjalanan, mereka beristirahat beberapa lama, karena lelah. Dari Umbar mereka bermaksud untuk menyusur pantai arah ke barat sesuai dengan petunjuk yang diperoleh menuju daerah Putih, tetapi setelah mereka jalani, ternyata daerahnya sangat sulit, karena tebing yang terjal-terjal lagi tinggi dan berbahaya maka rombongan kembali dan meneruskan perjalanan melewati desa Sukaraja di daerah Pertiwi. Di sini rombongan mendapat penjelasan pula dari ketua-ketua kampung bahwa memang benar berita yang pernah Datuk Tuan Budiam terima itu.
Orang-orang Pertiwi memberi petunjuk jalan yang perlu mereka lalui. Di Sukaraja rombongan tak lama berisitirahat, mereka terus melangsungkan perjalanan ke daerah Bandakh Putih Unggak. Sampailah mereka ke kampung Sukapura. Di kampung ini rombongan disambut dengan baik pula dan mendapatkan pula penjelasan, bahwa Putih Yang mereka tuju itu sudah dekat. Dari ketua-ketua Bandakh Unggak diterima penjelasan bahwa masyarakat Putih benar-benar mencari orang yang sanggup memerangi Bajau dan keputusan musyawarah penyimbang Putih disampaikannya. Mendengar ini banggalah hati Datuk Tuan Budiam tak terkira. Sudah terbayang di pelupuk matanya, apa yang akan terjadi nantinya. Disamping bangga dia juga khawatir kalau tidak berhasil usahanya. Atas bantuan Bandakh Unggak pula berita tibanya rombongan Datu Tuan Budiam di Sukapura segera disampaikan ke Putih.
Di Sukapura, utusan penyimbang desa Putih sudah datang. Mereka mengharapkan agar rombongan jangan terlalu lama beristirahat di Sukapura, karena yang dituju belum sampai, sedangkan masyarakat Putih sudah lama menunggu datangnya orang yang diharapkan menolong. Di kampung Putih sendiri orang sudah merasa hidup kembali, setelah diliputi rasa takut, panik dan berserah diri. Kini kebenaranian rakyat dan penyimbang bangkit kembali, tidak lagi masa bodoh. Siang malam Datuk Tuan Budiam menjadi pembicaraan papanca, apalagi masyarakat telah tahu dari cerita orang yang pernah menemui Datuk Tuan Budiam, bahwa beliau memang berwibawa, tubuhnya segar , kekar, pandangan matanya tajam, tidak banyak bicara, mantap dan meyakinkan pendengarannya. Pokoknya tanda-tanda kepemimpinan ada padanya, masyarakat tambah yakin akan keberhasilan Datuk Tuan Budiam. Aman sentosa telah terbayang di mata masyarakat, bahkan ada masyarakat yang mengatakan bahwa walaupun dia belum mulai bekerja dan belum pernah melihatnya, tetapi perasaan mereka aman tak ada gangguan lagi.
Karena sudah dijemput oleh penyimbang desa Putih dan disarankan pula oleh Penyimbang Bandakh agar rombongan Datuk Tuang Budiam segera ke Putih, maka pada hari yang telah diperhitungkan baik, berangkatlah rombongan Datuk Tuan Budiam ke Putih. Di sepanjang jalan Kampung Putih, masyarakat menyambut rombongan Datuk Tuan Budiam. Hal ini belum pernah dialaminya. Melihat gelagat ini, tahu benarlah ia bahwa masyarakat sudah terlalu takut, dan dengan kedatangannya bagai penawar racun.
Setelah sampai dikampung Putih, para ketua sudah siap menunggu, rombongan disambut dengan sorak-sorai yang tak berkeputusan. Tak disengaja rakyat sudah melakukan pesta pora secara tiba-tiba, mereka berdatangan membawa makanan yang ada di rumah masing-masing untuk disajikan para tamu. Demikian juga tempat tidur dengan segala peralatannya siap dibawa ke rumah penyimbang, para perempuan di dapur sibuk menghidangkan makanan. Laki-laki saling gelak tertawa bertanya kabar. Sehingga hari tu dirasa sebagai hari kebangkitan kembali jiwa masyarakat Putih. Setelah selesai dan beristirahat, barulah Penyimbang Gedung mengulangi pembicaraannya seperti yang lalu, beliau berkata; "Datuk Tuan Budiam, kami memang sudah sangat lama menunggu rombongan ini datang kemari, syukurlah ini berkat pertolongan yang mau dan sudih datang kemari. Syukurlah Allah Swt, memberikan kekuatan iman kepada rombonganmu dalam perjalanan, dan kami di sini bagaikan hidup dari mati setelah mendengar engkau datang. Kami disini sudah kurus memikirkan nasib, karena harta hampir tiap bulan diambil Bajau. Berpuluh rakyat binasa bahkan ada yang mati dibunuh Bajau, belum lagi yang mati karena syaitan. Para pawang dan dukun di sini sudah tak mamu melawan syaitan. Inilah kegelisahan kami, rakyat sudah lemah tak berdaya seolah-olah siap atau pasrah menunggu giliran dirampok Bajau atau ajal datang diserang ta'un. Dua tahun yang lalu, kami bermusyawarah dan memutuskan untuk mencari orang yang mampu dan berilmu agar dapat mengusir atau menaklukkan syaitan-syaitan yang sering mengganggu mereka, serta mampu mematahkan serangan Bajau keparat yang selalu merampok. Utusan telah tersebar ke mana-mana, namun dua tahun yang lalu orang yang diharap belum juga tampak. Buat orang itu akan dihadiahi daerah jika berhasil. Selain itu jabatannya dalam penyimbangan ini sebagai panglima atau hulubalang penyimbangan Gedung Putih. Dan jika tidak berhasil, dia tetap kuanggap saudara, tetapi tidak akan kuberi jabatan dan daerah khusus untuknya.”
"Syukurlah," kata ketua kampung itu. Engkau sempat mendengar cerita-cerita yang dibawa oleh utusanku, sehingga engkau dan rombongan dengan susah payah dapat datang kemari, demi menyelamatkan anak cucu kami di Putih ini. Barangkali sudah suratan kita bersama, kehadiranmu semua kami anggap penawar racun bagi orang yang sudah sekarat karena racun, maka sambutan rakyatku disini seperti apa yang kau lihat sendiri, mereka sekarang seolah-olah menggantungkan nyawa mereka padamu.
Jika manusia seperti engkau tak dapat mengamankan sebagaimana yang diharapkan, mungkin Putih ini akan kosong, sebab kami sudah bermusyawarah akan meninggalkan Putih ini. Tidak ada gunanya kami menunggu negeri ini lebih lama. Demikian harapan kami padamu Datuk Tuan Budiam, janganlah engkau lemah menghadapi permintaan kami ini. Setelah selesai penyimbang gedung berkata, barulah Datuk Tuan Budiam menjawab, "Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada puniakan, seluruh Jakhu Suky Penyimbang serta hadirin sekalian, pertama kami menyampaikan terima kasih atas sambutan yang kami anggap sudah berkelebihan ini, sebab seumur saya, belum pernah terjadi seperti ini. Sebenarnya saya terperanjat, apa yang diharapkan masyarakat sekalian mungkin tak ada kemampuan bagi kami, kami adalah manusia biasa yang sama dengan saudara-saudara di sini. Tujuan kami datang ke mari menumpang sama-sama di Putih ini, hanya saja kalau Tuhan mengabulkan permintaan kita bersama, itu semua adalah berkat doa kita bersama. Jadi karena hal ini telah dibebankan kepada kami serombongan, kami terima dulu, besok tolong diantarkan, dimana tempatnya, kami akan coba menunaikan tugas itu semampu kami."
Waktu itu pembicaraan berakhir sampai di situ. Selanjutnya pada keesokan hari beberapa orang penduduk kampung Gedung Putih dan Datuk Tuang Budiam berangkat memeriksa daerah yang ditujukkan oleh Penyimbang Gedung. Sesampainya di sana, dipelajarinyalah tempat itu, dari pojok ke pojok, yang tinggi dan rendah, yang kering dan berair diperiksanya semua. Kesimpulan yang ada dalam hati Tuan Budiam memang daerah itu angker, banyak penunggunya sebangsa roh halus yang ganas-ganas. Namun demikian demi nama baik dan keinginan untuk bertempat tinggal yang layak, beliau akan mencoba untuk memerangi penghuni daerah itu. Dia tidak akan berputus asa, kalau kalah, biarlah tubuhnya dimakamkan di sini dari pada menyerah sebelum berusaha, rasa malunya akan dideritanya turun temurun.
Setelah selesai pemeriksaan pada siang harinya, malam harinya berangkatlah Datuk Tuan Budiam menghadap penyimbang Putih melaporkan hasil pemeriksaannya sekaligus akan menyampaikan kesanggupannya. Dalam laporannya dia mengatakan, "Puniakan beliauan, daerah Karang Putih telah kami periksa seluruhnya, dari sudut ke sudut, daerah yang rendah dan yang berupa pematang tempat yang kering dan berair, kami ambil kesimpulan bahwa daerah itu betul-betul angker, banyak penunggunya bangsa roh-roh halus yang jahat dan ganas, benarlah seperti apa yang puniakan pernah sampaikan pada kami. Jadi maksud kami menghadap akan menyatakan, bahwa kami ingin mencoba memerangi mereka. Hanya saja, jika kami yang kalah nanti, kuburkanlah diri saya di daerah itu dan rombongan yang lainnya.
Akuilah dan uruslah oleh puniakan sebagai anak buah sendiri. Besok malam kami akan memulai pekerjaan itu, kami akan bertapa di daerah itu, dan kami tidak akan kembali, mohon diperiksa kalau-kalau saya telah menjadi mayat disana. Mendengar itu, penyimbang Putih menjawab ; "Baiklah Datuk Tuan Budiam, apa yang engkau katakan tadi kuterima dan jika nanti kau kalah, semua permintaanmu akan kukabulkan, engkau akan ku urus seperti keluargaku sendiri dan jika engkau menang semua janjiku akan kupenuhi."
Benarlah, kesesokan harinya, kelihatan Datuk Tuan Budiam bersiap-siap melengkapi semua yang perlu dibawa, kemudian beliau pamitan pada keluarga dan rombongannya, seperti apa yang pernah beliau sampaikan kepada Penyimbang Gedung, disampaikan juga pada keluarga dan rombongannya. Setelah semuanya selesai, dan hari mulai memasuki maghrib, berangkatlah Datuk Tuan Budiam seorang diri ke Karang Putih, disana dicarinya tempat batu yang baik, tempatnya bertapa. Pada malam pertama dalam pertapaannya tak ada alamat yang datang padanya, panas, dingin, lapar, nyamuk menggigit, gatal dan lain-lain perasaan ditahannya. Dia sabar, memohon pada Tuhan, agar niatnya dapat dikabulkan-Nya.
Dua puluh lima hari berlalu, tak ada tanda-tanda atau alamat yang datang padanya. Baru pada hari yang ke dua puluh enam, ditengah malam gulita, ditempat pertapaan seorang diri itu Datuk Tuan Budiam kedatangan tamu yang pertama. Tubuhnya besar tinggi hitam, giginya sebesar kapak, mulutnya lebar dan matanya tajam sekali, Roman mukanya sangat bengis dan menakutkan, rambutnya tegak kasar-kasar seperti ijuk. Mula-mula dia datang dan terus menghardik, "Hai manusia, siapa engkau, kenapa kamu kemari, tahukah engkau wahai manusia, tak ada seorangpun yang berani tinggal di sini? Jika kami sudah bermaksud pada kamu selama ini, tak ada seorangpun yang lolos dari maut. Apakah kedatangan kamu ini sudah bosan hidup, maka engkau menyerahkan dirimu pada kami? Tahukah engkau, bahwa aku inilah algojo dari bangsa kami syaitan yang tinggal dan menguasai daerah ini. Hayo, coba engkau segera menjawab, jika tidak benar jawabanmu, ajalmu akan sampai malam ini juga."
Melihat gelagat dan mendengar suara tantangan dari syaitan itu, Datuk Tuang Budiam, tenang-tenang saja menjawabnya, dia tidak takut dan gentar sedikitpun juga. Ditantangnya pula dengan jawaban yang menyakitkan hati syaitan itu. Dia berkata; "Aku Tuan Budiam, memang sengaja tinggal di sini, ingin menjumpai rajamu. raja syaitan yang menguasai daerah ini dan aku tidak mau berunding atau berkelahi dengan yang tengik ini, kamu bukan lawanku. Sekarang kamu kembali, bawa rajamu kemari. Jika dalam perkelahian nanti, aku kalah dengan rajamu baru boleh engkau memenggal leherku. Jika tidak, jangan coba mendekatiku nanti kamu remuk. Aku tak takut dengan gertak sambal di tengik ini, tahu!" Sudah pasti mendengar tantangan yang begitu kasar, syaitan ini naik pitam. Dia ketawa lebar-lebar, sehingga daerah Karang Putih menjadi seram kedengarannya, karena kerasnya suara itu. Orang-orang di Putih banyak yang mendengarnya dari tempat tidur mereka masing-masing. Habis ketawa, syaitan ini berkata kembali.
"Hai Datuk Tuan Budiam, sudahkan engkau pikirkan benar-benar apa yang engkau katakan itu, tidak menyesalkah engkau bila ajalmu tiba? Apakah engkau berani lawan kami, jangan dulu engkau melawan raja kami, lawanlah aku ini dulu, bila engkau memang pemberani, sekarang tunggu seranganku!"Demikianlah marahnya syaitan itu, tanpa menunggu jawaban dari Datuk Tuan Budiam. Manusia ini, diam saja tak bergerak sedikitpun juga. Melihat gelagat yang terjadi, dikerahkannya ilmu anginnya, sehingga sepak dan terjang maut syaitan hitam itu tak mengenainya. Tubuh syaitan itu berputar-putar diatas kakinya sendiri, dan kemudian karena tak dapat menguasai kekuatannya, dia jatuh terjerembab. Betapa malunya syaitan ini. Karena itu dicobanya penyerangan kedua, yang terjadi demikian juga. Penyerangan yang membabi buta dilakukan syaitan yang mengaku algojo itu. Datuk Tuan Budiam lebih tenang lagi, tak bergerak, bahkan tak mengedipkan mata sedikitpun. Namun serangan inipun menambah kecewa syaitan itu saja. Dia berulang kali jatuh terjerembab dan terpelanting, sehingga dia merasakan betapa sakit rasa tubuhnya waktu itu, ditambah pula betapa malu ia kepada Datuk Tuan Budiam.
Setelah Datuk Tuan Budiam melihat syaitan itu lemas dan tak mampu lagi menyerangnya, baru beliau berkata; "Kukatakan tadi, engkau bukan lawanku, engkau tengik dan anak-anak, belum lagi aku bergerak, engkau sudah terpelanting menari-nari tak menentu, menurut engkau mungkin tarianmu itu, bagus untuk menghibur, tapi jeleknya bukan kepalang. Aku tidak merasa terhibur oleh tarianmu. Coba belajarlah lagi menari, hai syaitan hitam!"
Bagai disayat sembilu kemudian diberi cabe rawit, pedih hati syaitan itu, mendengar olok-olok Datuk Tuan Budiam padanya. Tapi apa daya, menyerang dia tak mampu lagi, hanya dia menjawab; "Hai Datuk Tuang Budiam, kekalahanku malam ini akan kutebus besok malam dan seterusnya, sebelum rajaku berperang, aku dulu mati melawanmu."
Malam itu pertandingan dimenangkan oleh Datuk Tuan Budiam. Hatinya lega, puas karena menang dengan syaitan yang mengaku algojo, tetapi ia merasa was-was, apakah masih ada yang lebih gagah dari bedebah itu. Karena hari segera siang, maka tak ada kejadian yang menganggu lagi di siang hari itu. Namun malam berikutnya, si syaitan hitam itu, setelah kembali ke perkampungan mereka, dia segera mengumpulkan anak buahnya dan dikemukakan rencana selanjutnya. Dia mengajak kawan-kawannya untuk menyerang secara beramai-ramai malam itu juga, sebab katanya, "Jika manusia itu tidak enyah, pasti kita akan dijajahnya dan akan jadi jongosnya, apakah kawan-kawan setuju jadi begitu?". Serentak kawan-kawannya menjawab. "Tidak". "Nah, sekarang yang berangkat akan kutunjuk. Kau si Buncul, kau si Mata Tunggal, kau Khung Patoh, kau si Juit, kau si Mata Suluh, kau si Kumis Tegi, kau si Wewang Pakhangkai dan kamu-kamu semuanya, sehingga berjumlah 40 bangsa syaitan. Jika kita semua ini sudah kalah, baru kita melapor pada raja kita di Hulu Jadi. Sekarang baiklah kita berangkat, masing-masing bawa obor untuk menakut-nakuti dia."
Tak lama sehabis perundingan itu, berangkatlah rombongan syaitan itu dipimpin oleh si Hakhong Pakhangkai, yaitu algojo dari syaitan-syaitan itu. Tak lama kemudian, sampailah mereka ke tempat yang dituju. Dari jauh Tuan Budiam melihat obor yang banyak sekali, sehingga terang benderang sekitar yang dilaluinya, lagi pula hiruk-pikuk suara mereka, namun tak dapat dimengerti bahasa yang mereka pergunakan. Melihat gelagat itu, Datuk Tuan Budiam sudah mengerti bahwa rombongan syaitan yang akan menyerangnya telah tiba. Dia mulai bersiap-siap diri, segala ilmu batin yang ada padanya untuk melindungi diri, usai di baca dan dia berkeyakinan, bahwa pasti menang kerana ilmu putaran naga yang ada padanya. Itulah sebabnya dia tenang saja. Sesampainya rombongan syaitan itu di dekat pertapaan Datuk Tuan Budiam, tanpa sepatah katapun, mereka tiba-tiba menyerang serentak. Seperti biasa ilmu dalam Datuk Tuan Budiam bekerja, semua obor mati dan para penyerangnya terpelanting kemana-mana, sehingga kekuatan hantaman yang mereka pergunakan untuk Datuk Tuan Budiam, malah menghantam kawan-kawan mereka sendiri, sehingga mereka lebih penasaran.
Pertama-tama penyerangan secara membabi buta dilancarkan namun tidak mengenai sasarannya. Dari rombongan syaitan-syaitan itu sendiri sudah bengkak-bengkak kena tinju kawannya sendiri. ada yang sudah patah tulangnya, karena terpelanting, ada yang kehabisan tenaga, karena terus menyerang namun tak berhasil. Si Hakhong Pakhangkai sendiri sudah terengah-engah sementara kawan-kawannya menggerutu padanya, sehingga menjadi cemas dan panik serta takut. Datuk Tuan Budiam masih diam saja, belum bergerak, beliau hanya tersenyum melihat kelakuan para syaitan itu. Setelah tampak di wajah mereka menunjukkan iba hati dari Datuk Tuan Budiam, barulah beliau bangun dan mendekati si Hakhong Pakhangkai sebagai ketua rombongan. Dipegang perutnya oleh Datuk Tuan Budiam sambil berkata, "Sekarang mau apa lagi kamu terhadapku, kau sombong telah kukatakan sebelumnya, aku bukan lawanmu tapi engkau masih penasaran. Sekarang buktinya apa, menyerah atau tidak?" Karena sudah tidak berdaya lagi, dan jelas Datuk Tuan Budiam bukan tandingannya, maka dia menyerah dan minta ampun. Dia dan anak buahnya mengakui Datuk Tuan Budiam sebagai pemimpinnya. "Sekarang," kata Datuk Tuan Budiam, "Aku belum mau mengampuni dan menerima penyerahanmu, kecuali bila kamu dapat menghadapkan raja kalian pada saya." Serentak syaitan-syaitan itu menjawab, "Sanggup Datuk Tuan Budiam kami menghadapkan raja kami, izinkanlah kami pulang untuk menyampaikan laporan semua peristiwa ini, karena sebenarnya beliau belum tahu akan kejadian ini." Sekarang berangkatlah pulang, aku tetap menunggu di sini, aku tak mau pergi dari sini, sebelum rajamu datang. Dan jika kutunggu tidak datang, aku akan menemui kalian dan menghancurkannya," kata Datuk Tuan Budiam.
Semua apa yang dijanjikan oleh syaitan-syaitan terhadap Datuk Tuan Budiam dan segala kejadian diceritakan mereka, tak sekelumitpun terlupa. Semuanya diceritakan kepada raja mereka sewaktu memberi laporan kepadanya. Dan terakhir dari laporan itu si Hakhong Pakhangkai mempengaruhi rajanya dengan berkata, "Tuan raja, menurut hemat saya tak ada lagi bangsa syaitan kita ini yang mampu melawan orang itu, dari pada kita dimusnakahkannya, lebih baik kita berunding saja." Mendengar laporan ini, terasa tergugah hati raja Hulujadi dan dengan berkata, "Hai algojoku, sejak tadi aku termenung mendengarkan laporanmu, karena belum pernah kudengar dimana-mana bahwa ada manusia yang berani melawan bangsa kita syaitan, sejak nenek moyang mereka dulu Adam dan Hawa, kalah dengan kita syaitan, apalagi sudah cucunya yang bertebaran sekarang ini. Namun setelah engkau berpendapat demikian, mau apa lagi, sebab kekuatanku sebenarnya ada pada kalian, jika kalian sudah menyerah, baiklah malam nanti kita berangkat, berdamai dengan orang itu.
Siang hari itu, di Karang Putih sama-sama sepi, tak ada pertarungan, bangsa syaitan berunding dan beristirahat di perkampungannya, Datuk Tuan Budiam diam tenang sambil berdoa di pertapaannya, masyarakat Putih menunggu-nunggu kapan lagi si petapa itu kembali dan bagaimana hasilnya. Hanya bangsa satwa yang seperti biasa saja perbuatannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, mereka tidak terlibat langsung atau tidak langsung dengan kejadian itu. Ombak di pantai biasa saja berdebur, melaksanakan fitrah yang telah diwariskan padanya. Malam pun tibalah, hari sudah maghrib, awan cerah, bulan terang samar-samar di atas langit. Dalam keadaan yang demikian itu, Datuk Tuan Budiam mendengar suara dari kejauhan ramai sekali datang mendekatinya, sebagaimana biasanya, dia bersiap-siap, kalau-kalau terjadi hal yang tidak diingini, namun dari firasatnya segera dia tahun bahwa mereka yang datang ini adalah bangsa syaitan yang akan berbuat baik padanya. Tak lama kemudian dilihatnya keluar dari balik semak-semak berduyun-duyun syaitan-syaitan itu dengan mengiringkan rajanya yang berpakaian serba indah. Setelah dekat mereka semuanya memberi hormat kepada Datuk Tuan Budiam dan duduk bersimpuh di depannya.
Datuk Tuan Budiam makin diam saja, belum mau menegur mereka, sebelum si Hakhong Pakhangkai berkata terlebih dahulu. Setelah syaitan-syaitan itu duduk semuanya, barulah si Hakhong Pakhangakai berkata; "Datuk Tuan Budiam, kami ini datang semuanya memenuhi janji kami dan ini (sambil dia menunjuk) adalah raja kami yang Datuk Tuan Budiam minta. Jadi kedatangan kami ini ingin berunding, bagaimana baiknya kami ini, kalau dapat jangan kami diusir dari daerah ini." Mendengar sembahan dari syaitan ini, barulah Datuk Tuan Budiam berkata; “Hai raja syaitan, kamu memang sengaja kusuruh datang kemari, aku ingin tahu dengan kalian, karena kalian sudah puas mengganggu bangsaku, bangsa, manusia. Sekarang aku ingin tahu dengan kekuatan kalian dan ternyata sekarang kalian menyerah. kalau demikian apakah kalian mau damai?". Serantak syaitan-syaitan menjawab, "mau." "Baiklah perudingannya begini (Datuk Tuan Budiam mendiktekan saja kehendaknya)
Kalian tidak tak boleh lagi mengganggu manusia-manusia, semua keluargaku yang ada di Putih ini.
Daerah Karang Putih ini menjadi daerah keturunannku.
Kalian menjadi sahabatku yang baik, tanpa ku minta, jika aku sedang dalam kesusahan kalian membantu aku.
Karang Putih dan pantainya ini milik kita bersama, kalian boleh menunggunya dan jika cucu-cucu berkeliaran disini jangan kalian ganggu. Tandanya mereka akan menyebut namaku Nah, jika kalian setuju, akan apa yang aku katakan tadi, kita damai namun jika tidak, apa hendak kalian sekarang laksanakanlah."
Pepatah mengatakan, bagai kerbau ditarik hidungnya, demikaianlah pengakuan bangsa syaitan dengan perjanjian itu." Serentak mereka menjawab, "Baiklah kami terima semuanya, Datuk Tuan Budiam." Selesai perundingan itu, barulah syaitan-syaitan itu pergi kembali dan merasa aman, walaupun banyak hak mereka sudah hilang. Malam itu juga Datuk Tuan Budiam pulang ke Putih. Esok paginya, dia menyampaikan halnya kepada Penyimbang Gedung akan semua yang telah terjadi, tak ada yang ketinggalan. Mendengar laporan Datuk Tuan Budiam demikian itu, sudah pasti Penyimbang Gedung berterima kasih, dan seluruh rakyatnya diberi tahu malam itu juga, bahwa mereka telah berhasil mengalahkan syaita-syaitan yang mengganggu daerah mereka. Dan demikian pula Penyimbang Gedung tidak mau mengingkari janjinya. Semingu setelah peristiwa itu terjadi seluruh rakyat Gedung dikerahkannya untuk membuat perkampungan di Karang Putih untuk anak buah Datuk Tuan Budiam.
Mereka semuanya bekerja dengan gembira dan tulus ikhlas. Dari pagi sampai mereka bekerja tak ada seorang pun yang mengeluh. Selama bekerja itu telah terjadi beberapa keanehan yang sempat membingungkan masyarakat yang bergotong royong itu, karena setiap sore hari mereka berhenti ada saja pekerjaan yang belum beres benar. Tapi pada keesokan harinya, pekerjaan yang belum beres itu telah beres, seolah-olah ada yang bekerja pada malam harinya. Semula hal ini belum menarik perhatian masyarakat Gedung yang bergotong royong tapi lama kelamaan menimbulkan keheranan pada diri mereka. Pada suatu hari, ramailah mereka memperbincangkan hal ini dan segera mereka memberi tahu pada Datuk Tuan Budiam. Mendengar ini Datuk Tuan Budiam memberikan jawaban akan menyelidiki apa yang terjadi.
Malam itu juga Datuk Tuan Budiam pergi seorang diri ke tempat perkampungan itu. Setelah tengah malam, tampaklah olehnya obor-obor berdatangan yang banyak sekali, sebentar kemudian obor-obor itu berhenti di perkampungan itu, sehingga membuat perkampungan itu terang benderang. Untung Datuk Tuan Budiam sempat bersembunyi dibalik batang yang besar, sehingga beliau tak tampak oleh pembawa obor itu. Pekerjaan mereka diintai oleh Datuk Tuan Budiam dari persembunyiannya. Mereka itu bekerja membanting tulang membereskan pekerjaan-pekerjaan yang belum terselesaikan siang harinya. Mereka bekerja tanpa komando, siapa yang sudah selesai terus pergi, begitu juga siapa yang baru sampai terus bekerja tanpa bicara sepatah katapun. Dari hasil pengintaian ini, tahulah sekarang Datuk Tuan Budiam, bahwa mereka yang bekerja pada malam hari itu adalah anak buah syaitan-syaitan Hulujadi. Mereka rupanya ikut membantu secara diam-diam sesuai dengan sumpah perjanjian semula.
Hampir fajar bangsa syaitan itu tak ada lagi yang bekerja, semuanya sudah pulang ,Datuk Tuan Budiam pulang. Keesokan harinya, masyarakat Gedung sebagaimana biasa bergotong royong terus selama perkampungan belum jadi, Begitu juga mereka masih menemukan cara-cara seperti yang sudah terjadi. Mereka mencari Datuk Tuan Budiam, tak sabar mereka akan mendengar apa sebenarnya telah terjadi menurut hasil pengintaiannya. Tak lama kemudian tampaklah oleh mereka Datuk Tuan Budiam datang agak kesiangan pagi itu. Belum lagi dia sampai di tempat mereka bekerja, masyarakat yang bergotong royong telah dikumpulkan seperti dikomandokan di tempat peristirahatan untuk menyambut Datuk Tuan Budiam.
Setelah dia sampai dan beristirahat sebentar, barulah dia bicara. "Rupanya saudara-saudaraku ini tak sabar lagi mendengar hasilku semalam. Nah baiklah sekarang kuceritakan. Malam tadi aku telah mengintai dari balik batang kayu, (sambil tangannnya menunjuk batang kayu tempat ia menintai semalam). Apa yang kulihat memang benar ada mahluk yang bekerja malam, mereka bekerja tanpa komando, mana yang sampai terus bekerja, siapa yang selesai terus pergi. Mereka itu adalah anak buah syaitan Hulujadi yang menunggu daerah ini. Itulah kulihat semalam." Datuk Tuan Budiam menutup ceritanya. Yang mendengarkannya ada yang mengangguk keheranan, ada yang membaca pertobatan tanda heran.
Salah seorang dari suku Penyimbang Gedung, menyambung bicara Datuk Tuan Buidiam. "Kalau begitu kejadiannya, benar-benarlah syaitan ini sudah bersahabat dengan kita." Oleh sebab itu nanti dalam peresmian kampung ini, kita akan mengundang mereka pula, kita akan menyediakan makanan untuk mereka, supaya mereka ikut berpesta pora, sebagai hadiah kita karena mereka telah menolong kita bekerja." Rakyat yang lain serentak menjawab; "setuju sekali." Selesai dari itu, mulilah mereka bekerja kembali tanpa henti-hentinya. Demikianlah pekerjaan mereka makin lama makin mendekati penyelesaian. Lebih kurang satu setengah bulan bergotong royong, perkampungan dengan kubu-kubu perumahan telah jadi, tinggal lagi menghitung hari baik dari tanggal baik untuk pelatikan Datuk Tuan Budiam diangkat sebagai Hulubalang Penyimbang Gedung. Setelah diperhitungkan oleh orang tua-tua desa, disimpulkanlah bulan purnama bulan itu, untuk pelantikan dan perkampungan itu akan mulai diisi oleh penduduk. Selama menunggu bulan purnama tiba, masyarakat diperintahkan oleh Penyimbang untuk membuat kue-kue seperlunya dan memberi undangan kepada kepala Penyimbang yang lainnya di Kebandaran Putih dan jangan lupa mengunang Hulujadi dan anak buahnya.
Bulan purnama yang dinantikan dua malam lagi tiba, kebetulan pula jatuh pada malam Jum'at, mulailah para panitia sibuk, kerbau mulai ditangkap dan disembelih, masakan mulai disiapkan, undangan yang dari jauh sudah mulai berdatangan. Suara gong dan talu serentak keromongannya bertalu-talu, segala lagu di lagukan, bujang gadis sibuk dengan kesenian dan tarinya. Wanita-wanita sibuk dengan pekerjaan masing-masing dalam peralatan itu. Kampung Gedung sepi, semuanya berada di Karang Putih, seratus ekor kerbau telah dipotong, belum lagi yang diberikan untuk anak buah Hulujadi. Malam Jum'at yang terang benderang karena sinar rembulan itu, alangkah ramainya di Karang Putih, seperti kota kecil layaknya ketika itu. Setelah doa selamat dibacakan, arak-arakan dilakukan, setelah itu mulailah Penyimbang Gedung melantik dan mengumumkan kepada para undangan, bahwa Datuk Tuan Budiam diangkat sebagai Hulubalang Penyimbang Gedung dengan daerahnya Karang Putih.
Malam itu di Karang Putih benar-benar ramai, sehabis pelantikan bujang gadis bersenang-senang dengan segala tarian dan nyanyian. Setelah tengah malam mereka berhenti menurut usul dari anak buah Hulujadi, mereka akan menampilkan keseniannya pula. Penampilan kesenian tengah malam ini lebih menarik lagi, karena dari mana-mana bermunculanlah para syaitan itu dengan pakaian beraneka warna dan bentuknya yang bercorak ragam pula menari-nari seenak mereka. Nyanyian mereka sangat menarik dan menggelikan, mereka beramai-ramai menyanyikan syair.
Wit-wit-wit-wit wiiiiiit
Dung-dung-dung duuuuuuung!
Nyak-nyak-didi bekhak duit
Pasokne bebai ngandung
ha- ha ha aaaaaaaaa
Mereka menari dan menyanyi sampai pagi, penontonnya pun senang sekali dengan nyanyian dan tarian mereka. Peristiwa pelantikan ini sungguh menarik dan bersejarah bagi keturunan Datuk tuan Budiam. Masa berlalu, waktu berjalan terus, desa Putih sudah aman. Karang Putih tetap dengan deburan ombaknya di pantai, hanya kini telah ada perkampungan di pantainya. Anak-anak sudah semakin besar. Dua tahun telah berlalu. Tiba-tiba pada malam bulan purnama bulan Maulud, kedengaran gong dari pantai Putih. Gong ini memberi tanda, bahwa ada bahaya datang. Masyarakat mulai kacau. Ada yang mengumpulkan anak istri dan hartanya, sedang bagi lelaki yang kuat dan memiliki ilmu perang, bersiap siaga menunggu kedatangan musuh.
Dengan sekejap mata, pantai telah penuh dengan tokoh-tokoh perang Karang Putih, dipimpin oleh Hulubalang baru Datuk Tuan Budiam. Jelas terlihat dari kejauhan, bayangan hitam di laut yang banyak sekali bergerak dengan lancarnya menuju pantai Putih, mereka segera tahu bahwa bajau datang Datuk Tuan Budiam segera membagi anak buahnya. Pasukannya dibagi tiga, dua bagian menyerang dan sebagian pasukan pembantu yang bertugas membantu rombongan yang menyerang jika kelihatannya hampir kalah. Tak lama kemudian perahu-perahu itu mendekat, belum lagi turun dari perahunya Bajau yang datang telah mendapat serangan dari pasukan Datuk Tuan Budiam, sehingga pasukan Bajau menjadi porak poranda, mereka banyak yang mati terbunuh dan juga yang tertangkap.
Melihat gelagat ini, sisa pasukan yang belakangan masuk tak berani mendarat. Mereka lari ke arah Tenggokh. Di sana mereka berlabuh, maksud mereka akan menyerang Putih dari Tenggokh, tapi tujuan ini diketahui pula oleh Datuk Tuan Budiam, segera beliau memerintahkan pasukannya menghadang di Karang Putih, jika Bajau datang, di sanalah mereka bertarung habis-habisan.
Malam itu penduduk tak ada yang tidur, apalagi pasukan Tuan Budiam yang menghadang di Karang Putih, mengedipkan mata pun tak sempat. Tapi setelah pagi tiba, Bajau tak muncul. Karena kesalnya Datuk Tuan Budiam dan pasukannya menyongsong masuk ke Tenggokh, belum lagi mereka sampai ke Tenggokh, di jalan mereka menemukan Bajau bergelimpangan mati terbunuh. Melihat bekasnya, mereka mati kena cekik dilehernya masing-masing, ada pula yang setengah mati dan sekarat. Datuk Tuan Budiam keheranan dan segera dia menghampiri seorang bajau yang kelihatannya masih lebih sehat dari yang lain dan dia menangis minta tolong. Dari dia diperoleh cerita bahwa mereka mendapat serangan dari orang-orang yang tak bersenjata, tapi terjun dari atas kayu serta sangat pandai menerkam leher mereka, tenaganya kuat-kuat, orangnya ada yang hitam dan ane-aneh bentuknya. Segera Datuk Tuan Budiam tahu bahwa mereka pasukan Hulujadi ikut memberikan bantuan menyerang Bajau.
Dengan kejadian ini, Bajau yang masih hidup bersumpah dan berjanji tidak mau lagi mengadakan pengacauan di daerah Putih, mereka berjanji bersaudara, sedangkan yang mati segera dikuburkan. Sehari penuh masyarakat Putih menguburkan mayat Bajau yang berjumlah hampir seratus orang.
Peristiwa penyerangan ini merupakan hal yang luar biasa bagi masyarakat Putih dan menambah ketenaran Datuk Tuan Budiam. Dimana-mana namanya menjadi harum, walaupun banyak orang yang belum tahu dengan beliau. Hal ini merupakan kebanggaan pula bagi penyimbangnya sendiri. Setelah itu tak ada penyerangan lagi baik oleh Bajau atau oleh syaitan di desa Putih, sehingga masyarakat aman dan tenteram.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legenda) Daerah Lampung. Depdikbud
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |